Tren Korupsi Bergeser ke Suami-Istri

Selasa, 25 Agustus 2015 - 10:31 WIB
Tren Korupsi Bergeser...
Tren Korupsi Bergeser ke Suami-Istri
A A A
JAKARTA - Tren korupsi yang dilakukan pejabat publik mulai bergeser. Dulu, korupsi hanya melibatkan sang pejabat dengan rekan kerja. Namun kini tren korupsi di lingkungan pejabat mulai melibatkan keluarga, terutama istri.

Hal ini menunjukkan adanya tren baru dalam tindak pidana korupsi. Pakar hukum UIN Syarif Hidayatullah Andi Syafrani mengatakan, selama 2015 ini banyak pelaku tindak pidana korupsi yang diringkus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melibatkan istri pejabat.

Menurut dia, keterlibatan istri atau suami kepala daerah dalam tindak pidana korupsi merupakan bentuk upaya melindungi diri sang pejabat tersebut dari pihak luar atau aparat hukum. ”Bila melibatkan keluarga, modus operandi atas kebijakan yang mereka lakukan itu sulit terdeteksi oleh publik. Apalagi ada upaya pengkhianatan,” ungkap Andi di Jakarta kemarin.

Jika melibatkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD), bisa saja pejabat SKPD lalai atau ”bernyanyi” atas perbuatan atasan atau pimpinannya. Kalau dulu, lanjut Andi, modus operandi korupsi itu menggunakan tekanan terhadap bawahan dalam hal ini SKPD. Namun pola itu kerap mudah terbongkar. Sebab belum tentu SKPD benar-benar loyal kepada atasannya. ”Kalau istri, tidak mungkin dia akan menjerumuskan suaminya,” paparnya.

Keterlibatan istri dalam kasus korupsi yang menjerat kepala daerah, menurutnya, merupakan bentuk akses komunikasi yang dibangun kepala daerah dalam mengambil sebuah kebijakan.

Mereka melakukan operasi tertutup untuk menghindari kecurigaan dan kebocoran dari pihak luar. Maka pihak luar yang berkepentingan dengan kepala daerah tersebut mencoba membuat akses melalui orang terdekat dari kepala daerah, yakni istri atau suami. ”Kalau sudah bisa menembus istri kepala daerah, rencana dari pihak berkepentingan itu akan kesampaian,” ungkapnya.

Menurut dia, tren korupsi yang melibatkan keluarga ini membuktikan biaya politik sangat tinggi. Untuk mengembalikan biaya tersebut, mereka harus melakukan tindakan yang ekstrem tanpa melibatkan orang lain.

Diketahui, sejumlah kepala daerah terjerat kasus dugaan korupsi. Ironisnya, istri-istri mereka harus ikut berurusan dengan aparat penegak hukum. Di antara pejabat daerah yang terlibat kasus korupsi bersama istrinya adalah Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah; Bupati Empat Lawang Budi Antoni Aljufri bersama Suzana; Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya, Evi Susanti. Terakhir yang baru dijadikan tersangka adalah Bupati Musi Banyuasin Pahri Azhari dan istrinya, Lucianty.

Pakar hukum Universitas Sebelas Maret Solo Jamal Wiwoho menilai bergesernya tren korupsi dengan melibatkan keluarga tidak terlepas dari munculnya politik dinasti. Setelah era Reformasi, menurutnya, sistem pemerintahan daerah di Indonesia berubah dari sentralistik menjadi desentralistik.

Kran otonomi daerah memunculkan kran baru bagi kelompok orang untuk ikut berkuasa di daerah. Pemilihan kepala daerah pun dilakukan secara langsung. Menurut dia, pilkada langsung melahirkan hukum ekonomi pasar. Karena itu, setiap pemilihan dipastikan menggunakan modal besar. Modal ini membuat kepala daerah terpilih harus mengembalikan ongkos yang mereka keluarkan itu.

”Ada return of investment (ROI) yang harus dikembalikan oleh kepala daerah selama berkuasa. Periode pertama mereka menancapkan pengaruh dan kekuasaan dan periode kedua mengembalikan modal,” ungkapnya.

Fakta seperti itu membuat partai politik sebesar apa pun tidak bisa bertarung dalam pesta demokrasi secara jujur. Meski memiliki kader terbaik pun tidak bisa dipertarungkan jika tidak memiliki kesanggupan finansial yang cukup. Kondisi ini mengundang para pemilik modal berperan dalam pilkada.

Pola mereka adalah memilih kader yang tidak memiliki uang untuk maju dalam pemilihan, kemudian mendanainya dalam pemilihan. ”Akibatnya lahirlah kepala daerah boneka. Mereka harus mengembalikan modal penyandang dana. Caranya dengan mempermudah izin untuk investasi atau membuat kebijakan yang menguntungkan investor yang notabene penyandang dana mereka,” paparnya.

Calon yang telah mengeluarkan dana besar ketika terpilih akan memanfaatkan kekuasaan untuk mengembalikan modal. Bagi yang didanai pihak lain selama proses pemilihan, mereka akan memberikan fasilitas untuk mempermudah mengeruk hasil alam daerah yang sedang dipimpinnya.

Ilham safutra
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1341 seconds (0.1#10.140)