Polisi Bidik Sindikat Kartel Sapi

Selasa, 25 Agustus 2015 - 10:24 WIB
Polisi Bidik Sindikat Kartel Sapi
Polisi Bidik Sindikat Kartel Sapi
A A A
JAKARTA - Polda Metro Jaya bersama Pemprov DKI Jakarta dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melakukan joint investigation untuk mengungkap sindikat kartel sapi.

Upaya ini untuk menindaklanjuti kelangkaan dan kenaikan harga daging sapi beberapa waktu lalu. Kemarin polisi memeriksa 11 saksi dari tujuh perusahaan feedlotter, yaitu pemilik, manajer akunting, dan manajer operasional perusahaan. Ada juga dua saksi ahli yang turut dimintai pendapatnya oleh penyidik.

”Sampai detik ini kami masih melakukan penyelidikan. Saksi dari tujuh perusahaan feedlotter yang disidak tempatnya. Saat kami sidak ada banyak sapi yang sudah siap potong, tapi masih di situ,” ujar Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Pol Mujiyono kemarin.

Jika para importir terbukti melakukan pelanggaran atas distribusi daging sapi, mereka akan diberi efek jera dengan dikenakan pasal tentang perdagangan, tindak pidana ekonomi, tindak pidana pemberantasan korupsi, TPPU, serta undang-undang pangan. Kepala Dinas Kelautan, Pertanian, dan Ketahanan Pangan Pemprov DKI Jakarta Darjamuni mengungkapkan, pasokan daging sapi di Ibu Kota saat ini dalam kondisi aman, tidak seperti beberapa waktu lalu yang mengalami kelangkaan.

Namun, dia menyayangkan masih tingginya harga sapi di pasaran. Dari hasil pantauan, harga daging sapi per kilogramnya masih berkisar Rp120.000- 135.000. ”Kami harap harganya bisa di bawah Rp100.000. Seharusnya setelah Lebaran harga turun, kok ini malah naik,” ucapnya. Direktur Penindakan KPPU Gopprera Panggabean menemukan adanya indikasi kartel sapi di balik kelangkaan dan melonjaknya harga daging.

Pihaknya sudah mencurigai permainan harga antarsesama importir daging sejak dua tahun lalu. ”Untuk kasus daging ini sudah kami monitor sejak 2013, dan kami telah sampaikan ke komisioner. Ketika cukup alat bukti, komisioner memutuskan untuk diadakan pemeriksaan,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, pemerintah dengan tegas mengatur dalam Pasal 11 UU No 5 Tahun 1999 bahwa para pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pesaingnya yang bermaksud memengaruhi harga, guna mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Jika terbukti melanggar, si pelaku usaha dalam hal ini para importir daging sapi akan diberi sanksi denda sebesar Rp1 miliar hingga Rp25 miliar. ”September akan kami mulai proses pemeriksaan terhadap para importir yang diduga kuat terlibat kartel. Kami melihat pelaku usaha menanam pasokan daging mereka dalam rangka menaikkan harga. Ini sebenarnya pernah terjadi pada 2013,” ujar Gopprera.

Selama 2013 sampai kemarin, KPPU terus mengumpulkan alat bukti yang menguatkan tuduhan adanya kartel tersebut. Di Jakarta terdapat hampir 40 feedlotter yang tergabung dalam asosiasi importir daging sapi yang mendistribusikan pasokan daging ke Jabodetabek. Salah satu dari importir sudah mengakui terjadi kesepakatan terkait harga sapi dalam asosiasi.

”Penimbunan dilakukan karena ada koordinasi antarsesama pengimpor. Pelaku usaha ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Salah satu feedlotter pernah bilang kalau mau menentukan harga harus dibicarakan dengan asosiasi,” katanya. Sebelumnya, Polda Metro Jaya mendalami apakah PT Widodo Makmur Perkasa (WMP) melakukan penimbunan sapi atau tidak setelah dilakukan pengecekan pada Kamis (13/8).

Saat itu, di PT WMP yang berlokasi di Cileungsi, Bogor, ditemukan ada 2.500 sapi siap potong. Penimbunan saat kelangkaan barang di pasar diatur dalam Undang-Undang Pangan. Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Tito Karnavian mengatakan, upaya pengecekan yang dilakukan tim Subdit Industri dan Perdagangan Ditreskrimsus Polda Metro Jaya di feedlotter milik PT WMP merupakan upaya kepolisian untuk mengetahui apakah terjadi tindak pidana atau tidak terkait kelangkaan daging sapi.

”Di Undang- Undang Pangan ada ancaman hukumannya itu, penimbunan barang di saat kelangkaan,” ujarnya. Menurut dia, pihaknya mempunyai kepentingan untuk mengantisipasi dengan cara mengecek siapa importirnya, berapa banyak impornya, kemudian apakah sudah mengikuti aturan berlaku. ”Misalnya 120 hari penggemukan sudah dilepas ke pasar atau tidak. Jika 120 hari tidak dilepas bisa dikenakan penimbunan,” kata mantan kapolda Papua itu.

Helmi syarif
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5242 seconds (0.1#10.140)