Karateka
A
A
A
Semasa mahasiswa, saya adalah karateka. Tidak lama, hanya semasa aksi-aksi mahasiswa angkatan 1966, ketika saya sebagai aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) UI ikut berbagai kegiatan, termasuk olahraga bela diri ini.
Karena tidak lama, saya hanya sampai ke ban hijau (Kyu 6) dan sesudah itu aksiaksi mahasiswa selesai, saya pun kembali menyelesaikan kuliah saya dan berhenti berlatih karate. Di sisi lain, sejak SMP saya bermain musik. Saya bergabung dengan sebuah Orkes Melayu (bocah) Bulan Buana, yang ketika itu sering diundang untuk meramaikan pesta sunatan, bahkan perkawinan, di kampungkampung di kota Tegal dan sekitarnya (tempat saya tinggal di masa anakanak).
Ketika itu saya bermain gitar yang kadang dipetik sebagai melodi, kadang di-kencrung sebagai pengiring, suka-suka saya saja. Buat yang di tahun 1960-an sudah berstatus ABG, mungkin masih ingat lagu-lagu top Melayu zaman itu: Burung Nuri, Kudaku Lari , dan lainnya. Di SMA, sebagai remaja, saya bergabung dengan grup tari Melayu di Bogor (waktu itu saya mengikuti orang tua yang dipindahkerjakan ke Bogor).
Setelah menjadi profesor, saya bergabung lagi dengan profesor-profesor UI lainnya dalam grup The Professor Band. Dalam olahraga, selain karate, semasa mahasiswa saya bermain basket dan bola voli, walaupun tidak pernah masuk tim fakultas sekalipun; dan ketika dewasa, saya memilih main tenis. Semuanya olahraga kompetitif, yang bertujuan akhir memenangkan pertandingan dan mengalahkan lawan atau win-lose competition .
Baru belakangan ini saya berolahraga jalan kaki santai yang tidak bertujuan win-lose , bahkan juga tidak win-win karena saya melakukannya sendirian, suka-suka saya saja, pokoknya rutin gerak badan seminggu minimal lima kali, sampai keluar keringat (keringat ini tidak bisa dibeli di supermarket, melainkan harus diperoleh melalui kerja keras).
*** Dari pengalaman hidup di atas, saya bisa merasakan bagaimana sebagai karateka dan pelaku olahraga kompetitif, saya harus memusatkan semua perhatian dan usaha, baik sendirian, maupun sebagai anggota tim untuk mengalahkan lawan. Terkadang kita curang sedikit, yang penting lawan kalah (ingat the invisible hand -nya Maradonna?).
Lain sekali dengan gerak badan mandiri, saya hanya melihat arloji, sudah berapa lama saya melangkahkan kaki, dan terkadang bertegur sapa dengan para pelaku olahraga pagi yang lain (jalan santai, bersepeda, lari-lari anjing, atau lari-lari sambil mengajak anjing), bahkan dengan pedagang gorengan yang pagi-pagi sudah bekerja untuk melayani orang-orang yang mau ke kantor tetapi belum sempat sarapan di rumah.
Demikian pula dengan bermusik dan menari. Kompetisi sama sekali bukan tujuan. Yang penting adalah harmoni. Baik harmoni nada dalam musik, maupun harmoni gerak dalam tari. Nafsu-nafsu dan ambisi pribadi harus ditekan habis (walaupun kami semua profesor, yang kalau di kelas ditakuti mahasiswa). Kalau tidak, musik akan berubah menjadi kumpulan bunyi bising yang memekakkan telinga, dan gerak massal yang cepat tetapi serempak dalam Tari Saman, misalnya, akan menjadi saling benturan tubuh yang mengacaukan seluruh tari.
Saya kebetulan bukan pemain tai chi. Tetapi dari apa yang saya ketahui, tai chi adalah olahraga yang tidak mementingkan kekuatan, apalagi kompetitif. Tujuan tai chi bukan menjatuhkan lawan, tetapi melatih harmoni antara gerak anggota tubuh, napas, peredaran darah, emosi dan akal, serta kondisi di alam sekitar.
Seperti juga seni olah tubuh yang lain seperti yoga, dan jalan kaki santai yang saya lakukan yang sangat mirip dengan bermain musik (saya memainkan saksofon di The Professor Band), di mana saya harus mengatur napas saya untuk kapan saya harus meniup keras, atau lembut, bermain stakato atau legato, cepat atau lambat, dan yang terpenting menaati arahan dari music director.
Dalam ilmu psikologi, juga dikenal pembagian dikotomis seperti itu. Dalam Psikoanalisis manusia dikatakan mempunyai dua naluri, yaitu naluri seks untuk penyambung hidup dan berketurunan (disebut: libido) dan naluri untuk mati atau membunuh, yaitu naluri agresi, (tanatos). Dalam teori belajar ada reward dan punishment , dalam teori kepribadian ada emosi dan rasio, dalam psikologi sosial ada kompromi dan kompetisi, masyarakat individualistis dan masyarakat kolektivistik dan seterusnya.
Adalah keharusan kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjaga keseimbangan antara pasangan-pasangan dikotomis itu. Secara populer sering dikatakan bahwa harus ada keseimbangan antara otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi). Untuk mencapainya, kita perlu melakukan olahraga-olahraga yang santai dan nonkompetitif seperti berjalan kaki santai, yoga dan tai chi, di samping berhobi seni (musik, tari, teater, seni rupa dan lain-lain) yang bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
Jika saja semua orang, kelompok, masyarakat, bangsa dan pemerintah bisa menerapkan prinsip harmoni dalam dikotomi itu, maka bisa dipastikan bahwa umat manusia akan sangat bisa mengurangi perang, tawuran, kriminal, korupsi, pelanggaran hukum, kemiskinan, penyerobotan, perebutan lahan parkir dan seterusnya.
Tentu saja gagasan ini masih utopia, khususnya buat Indonesia, tetapi menurut penelitian Universitas George Washington, AS sudah ada contoh negara-negara di dunia yang berhasil merealisasikannya, yaitu negara-negara yang sejahtera, bebas kemiskinan, tidak ada kesenjangan sosial, apalagi kecemburuan sosial, bebas konflik dan lain-lain (istilah peneliti: negara-negara yang islami), seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, Inggris Raya, Selandia Baru, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.
Tentu saja tidak semua orang di negara-negara itu berolahraga tai chi atau yoga atau berjalan kaki santai atau berhobi seni, dan juga tidak berarti olahraga kompetisi dilarang, tetapi yang jelas masyarakatnya bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Karena tidak lama, saya hanya sampai ke ban hijau (Kyu 6) dan sesudah itu aksiaksi mahasiswa selesai, saya pun kembali menyelesaikan kuliah saya dan berhenti berlatih karate. Di sisi lain, sejak SMP saya bermain musik. Saya bergabung dengan sebuah Orkes Melayu (bocah) Bulan Buana, yang ketika itu sering diundang untuk meramaikan pesta sunatan, bahkan perkawinan, di kampungkampung di kota Tegal dan sekitarnya (tempat saya tinggal di masa anakanak).
Ketika itu saya bermain gitar yang kadang dipetik sebagai melodi, kadang di-kencrung sebagai pengiring, suka-suka saya saja. Buat yang di tahun 1960-an sudah berstatus ABG, mungkin masih ingat lagu-lagu top Melayu zaman itu: Burung Nuri, Kudaku Lari , dan lainnya. Di SMA, sebagai remaja, saya bergabung dengan grup tari Melayu di Bogor (waktu itu saya mengikuti orang tua yang dipindahkerjakan ke Bogor).
Setelah menjadi profesor, saya bergabung lagi dengan profesor-profesor UI lainnya dalam grup The Professor Band. Dalam olahraga, selain karate, semasa mahasiswa saya bermain basket dan bola voli, walaupun tidak pernah masuk tim fakultas sekalipun; dan ketika dewasa, saya memilih main tenis. Semuanya olahraga kompetitif, yang bertujuan akhir memenangkan pertandingan dan mengalahkan lawan atau win-lose competition .
Baru belakangan ini saya berolahraga jalan kaki santai yang tidak bertujuan win-lose , bahkan juga tidak win-win karena saya melakukannya sendirian, suka-suka saya saja, pokoknya rutin gerak badan seminggu minimal lima kali, sampai keluar keringat (keringat ini tidak bisa dibeli di supermarket, melainkan harus diperoleh melalui kerja keras).
*** Dari pengalaman hidup di atas, saya bisa merasakan bagaimana sebagai karateka dan pelaku olahraga kompetitif, saya harus memusatkan semua perhatian dan usaha, baik sendirian, maupun sebagai anggota tim untuk mengalahkan lawan. Terkadang kita curang sedikit, yang penting lawan kalah (ingat the invisible hand -nya Maradonna?).
Lain sekali dengan gerak badan mandiri, saya hanya melihat arloji, sudah berapa lama saya melangkahkan kaki, dan terkadang bertegur sapa dengan para pelaku olahraga pagi yang lain (jalan santai, bersepeda, lari-lari anjing, atau lari-lari sambil mengajak anjing), bahkan dengan pedagang gorengan yang pagi-pagi sudah bekerja untuk melayani orang-orang yang mau ke kantor tetapi belum sempat sarapan di rumah.
Demikian pula dengan bermusik dan menari. Kompetisi sama sekali bukan tujuan. Yang penting adalah harmoni. Baik harmoni nada dalam musik, maupun harmoni gerak dalam tari. Nafsu-nafsu dan ambisi pribadi harus ditekan habis (walaupun kami semua profesor, yang kalau di kelas ditakuti mahasiswa). Kalau tidak, musik akan berubah menjadi kumpulan bunyi bising yang memekakkan telinga, dan gerak massal yang cepat tetapi serempak dalam Tari Saman, misalnya, akan menjadi saling benturan tubuh yang mengacaukan seluruh tari.
Saya kebetulan bukan pemain tai chi. Tetapi dari apa yang saya ketahui, tai chi adalah olahraga yang tidak mementingkan kekuatan, apalagi kompetitif. Tujuan tai chi bukan menjatuhkan lawan, tetapi melatih harmoni antara gerak anggota tubuh, napas, peredaran darah, emosi dan akal, serta kondisi di alam sekitar.
Seperti juga seni olah tubuh yang lain seperti yoga, dan jalan kaki santai yang saya lakukan yang sangat mirip dengan bermain musik (saya memainkan saksofon di The Professor Band), di mana saya harus mengatur napas saya untuk kapan saya harus meniup keras, atau lembut, bermain stakato atau legato, cepat atau lambat, dan yang terpenting menaati arahan dari music director.
Dalam ilmu psikologi, juga dikenal pembagian dikotomis seperti itu. Dalam Psikoanalisis manusia dikatakan mempunyai dua naluri, yaitu naluri seks untuk penyambung hidup dan berketurunan (disebut: libido) dan naluri untuk mati atau membunuh, yaitu naluri agresi, (tanatos). Dalam teori belajar ada reward dan punishment , dalam teori kepribadian ada emosi dan rasio, dalam psikologi sosial ada kompromi dan kompetisi, masyarakat individualistis dan masyarakat kolektivistik dan seterusnya.
Adalah keharusan kita sebagai manusia yang berbudaya untuk menjaga keseimbangan antara pasangan-pasangan dikotomis itu. Secara populer sering dikatakan bahwa harus ada keseimbangan antara otak kiri (pusat rasio) dan otak kanan (pusat emosi). Untuk mencapainya, kita perlu melakukan olahraga-olahraga yang santai dan nonkompetitif seperti berjalan kaki santai, yoga dan tai chi, di samping berhobi seni (musik, tari, teater, seni rupa dan lain-lain) yang bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
Jika saja semua orang, kelompok, masyarakat, bangsa dan pemerintah bisa menerapkan prinsip harmoni dalam dikotomi itu, maka bisa dipastikan bahwa umat manusia akan sangat bisa mengurangi perang, tawuran, kriminal, korupsi, pelanggaran hukum, kemiskinan, penyerobotan, perebutan lahan parkir dan seterusnya.
Tentu saja gagasan ini masih utopia, khususnya buat Indonesia, tetapi menurut penelitian Universitas George Washington, AS sudah ada contoh negara-negara di dunia yang berhasil merealisasikannya, yaitu negara-negara yang sejahtera, bebas kemiskinan, tidak ada kesenjangan sosial, apalagi kecemburuan sosial, bebas konflik dan lain-lain (istilah peneliti: negara-negara yang islami), seperti Irlandia, Denmark, Luksemburg, Swedia, Inggris Raya, Selandia Baru, Singapura, Finlandia, Norwegia, dan Belgia.
Tentu saja tidak semua orang di negara-negara itu berolahraga tai chi atau yoga atau berjalan kaki santai atau berhobi seni, dan juga tidak berarti olahraga kompetisi dilarang, tetapi yang jelas masyarakatnya bertujuan harmoni, bukan kompetisi.
Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)