Anjing

Minggu, 16 Agustus 2015 - 08:58 WIB
Anjing
Anjing
A A A
Teman-teman saya berjalan- jalan pagi bermacammacam. Di antaranya adalah para penggemar anjing. Mereka ini senang membawa anjingnya berjalan-jalan.

Beberapa malah ngajak anjingnya berlari. Kebanyakan satu orang membawa seekor anjing, tetapi ada juga yang membawa dua atau tiga ekor anjing. Semua anjing itu diikat dengan tali ke lehernya agar sang majikan bisa senantiasa mengendalikan kelakuan si anjing (sehingga tidak menyerang anjing lain atau menggigit orang). Namun, sang majikan belum tentu si pemilik anjing itu sendiri.

Dilihat dari penampilannya, ada juga yang berstatus asisten rumah tangga (ART) atau pawang profesional. Tetapi, penggemar anjing yang saya mau ceritakan ini jelas pemilik dan pencinta anjing. Dia seorang wanita, cantik, berpakaian sportif (celana pendek, atasan tanpa lengan, dan bersepatu olahraga), umur sulit ditebak, apalagi statusnya (zaman sekarang sulit membedakan nona atau nyonya, gadis atau janda, bahkan tua atau muda).

Jadi, saya namakan saja wanita itu ”Bunga”, yang selalu mengajak jalan (bukan berlari) anjingnya (anjing ras, tetapi saya tidak tahu jenis apa), yang berbulu hitam, sehingga saya namakan saja ”Blacky”. Pada suatu hari si Blacky ini pup di jalan yang beraspal. Apa yang kemudian dilakukan oleh Nona cukup mencengangkan saya.

Dia ambil tisu dari kantong celananya, dia jongkok, memungut pup itu (sambil tangan yang lain tetap memegangi tali anjing), dan membuangnya di pot bunga yang kebetulan ada di kaki lima. Tetapi, tidak hanya sampai di situ. Nona juga mengambil sejumput tanah dari tepi jalan, dan menaburkannya di atas bekas pup yang masih tersisa.

Dengan demikian, tidak akan ada orang yang tanpa sengaja menginjak pup anjing dan sampai di rumah sibuk menyuruh istrinya mencari bau pup anjing yang tidak jelas sumbernya. Namun, ada juga penggemar anjing yang tidak suka olahraga jalan-jalan pagi. Dia ini, saya namakan Mr X, memelihara anjing- anjingnya di rumah, dan setiap saya melewati depan rumahnya, selalu anjing-anjing itu menggonggong beramai-ramai. Tetapi, saya tidak takut karena anjing-anjing itu kan di balik pagar yang terkunci.

Inilah yang namanya ”anjing menggonggong kafilah tetap berlalu”. Sampai pada suatu hari, dari celah yang sempit di bawah pintu pagar, bisa lolos seekor anak anjing, hitam, ceking, dan berusaha mengejar saya sambil terus menyalak. Tampaknya komunitas anjing di dalam rumah itu telah melahirkan generasi kedua, dan salah satunya (yang paling kreatif) bisa lolos dari celah di bawah pintu.

Saya lumayan kaget. Untung, anak anjing itu (dalam bahasa Jawa disebut ”kirik”) hanya menyalak-nyalak saja, tidak lebih dari itu. Tetapi, akibatnya, saya putuskan untuk beberapa bulan ke depan menghindari jalan yang ada anjingnya itu, sambil menunggu sampai anak anjing makin besar, dan tidak bisa lagi melewati celah di bawah pintu pagar.

*** Saya sering mendengar istilah ”perikebinatangan”, yaitu ketika ada orang yang menyayangi atau melindungi binatang atau ketika ada binatang yang kelakuannya seperti menyayangi hewan lain atau manusia.

Di Belanda misalnya ada undang- undang yang melindungi hak-hak asasi anjing (kalau kedapatan orang menyakiti anjing bisa ditangkap polisi). Orangorang Belanda yang menaati undang-undang disebut berperikemanusiaan, bukan berperikebinatangan. Begitu juga jika ada lumbalumba yang melindungi seorang penyelam dari ancaman seekor hiu sampai hiu itu pergi, tidak boleh disebut berperikemanusiaan karena perikemanusiaan hanya berlaku buat manusia.

Perikemanusian berasal dari kata ”perilaku” dan ”manusia”, maksudnya adalah perilaku yang manusiawi, yaitu perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri, yang memperhatikan kepentingan atau hak makhluk hidup dan alam di sekitarnya, tidak sewenang-wenang dan seterusnya. Perilaku seperti ini hanya bisa dilakukan oleh manusia, yaitu makhluk yang mampu membuat pilihan-pilihan.

Kalau yang melakukan hewan, seperti lumba-lumba, itu merupakan bagian dari naluri hewaniahnya, bukan karena lumbalumba itu telah mengambil keputusan tertentu. Atau, anjing yang menolong tim SAR (search and rescue) untuk menemukan orang yang tertimbun tanah pascatanah longsor. Itu pun bukan perikemanusiaan atau perikebinatangan, melainkan merupakan hasil latihan dari para pawangnya.

Mari kita bandingkan sekarang kelakuan Bunga dan Mr X, bukan dalam hal hobi atau malas olahraga jalan paginya, tetapi dalam sikap perikemanusiaannya. Perilaku Bunga bisa disebut berperikemanusiaan. Pertama, dia memikirkan Blacky yang tentu saja butuh gerak badan dan butuh pup dan pipis. Tetapi, bukan itu saja. Bunga juga memikirkan bagaimana agar pup-nya Blacky tidak mengganggu orang lain walaupun orang lain ini sangat boleh jadi tidak dia kenal atau bahkan tidak ada sama sekali.

Sebaliknya, perilaku Mr X lebih tidak berperikemanusiaan karena dia tidak mau tahu bagaimana jadinya kalau seorang profesor digigit oleh seekor kirik ireng elek (anak anjing hitam jelek). Sayangnya, sekarang makin banyak manusia yang tidak berperikemanusiaan lagi. Korupsi adalah contohnya. Begitu juga membunuh selingkuhan sendiri untuk merampok mobilnya, atau juga membuang sampah atau puntung rokok sembarangan, atau meminjam duit, tetapi tidak mengembalikan, bukanlah perilaku-perilaku yang berperikemanusiaan.

Bukan itu saja. Seorang mahasiswa saya (perempuan, berjilbab) bahkan menolak ketika ditugaskan untuk berpraktik di salah satu Panti Wredha (sebagai bagian dari tugas praktiknya sebagai calon psikolog) dengan alasan bahwa Panti Wredha itu dikelola oleh sebuah yayasan yang nonmuslim.

Bunga jelas lebih berperikemanusiaan ketimbang mahasiswa saya yang calon psikolog, tetapi sektarian dan diskriminatif itu.

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4985 seconds (0.1#10.140)