Kita dan Daging Sapi

Kamis, 13 Agustus 2015 - 09:09 WIB
Kita dan Daging Sapi
Kita dan Daging Sapi
A A A
Biasanya, setiap menjelang Lebaran, kita selalu dihadapkan pada fenomena kenaikan harga. Tak terkecuali harga daging sapi. Pada Lebaran 2015, misalnya, harganya naik dari Rp90.000/kg menjadi Rp120.000-an.

Sehabis Lebaran biasanya turun kembali. Tapi, mengapa tahun ini tidak? Sebaliknya, harganya terus bergerak naik. Beberapa minggu setelah Lebaran bahkan sudah menembus Rp150.000/kg. Fenomena ini tentu mengejutkan. Ada apa? Menurut saya, setidak-tidaknya ada empat penyebab.

Pertama, ada spekulasi terhadap kebijakan pemerintah untuk memangkas impor sapi dari 200.000 ekor tahun ini menjadi 50.000 ekor. Pengurangan hingga 150.000 ekor jelas bukan jumlah yang sedikit. Untuk Anda ketahui, selama tahun 2015 ini pemerintah memperkirakan kebutuhan sapi mencapai 4 juta ekor. Dari jumlah itu biasanya sekitar 20% atau 750.000 dipasok lewat impor. Maka pengurangan impor sapi sebanyak itu pasti berdampak.

Pasokannya berkurang. Ini menyebabkan harga sapi bergerak naik. Kedua, sekitar lima minggu lagi masyarakat kita bakal memasuki Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Jadi permintaan sapi bakal meningkat lagi. Sementara peternak kecil jelas menahan sampai Hari Raya Kurban tiba karena di sanalah mereka akan mendapatkan harga terbaik. Ingat, ya, saat itu mereka bisa jual ternaknya secara utuh. Ini berbeda dengan menjual daging yang ada ongkos untuk tukang jagalnya.

Minimal kepala, ekor, dan jeroan sudah ada hak masingmasing yang harus diikhlaskan peternak. Kondisi inilah yang menyebabkan para peternak dan pedagang sapi menahan penjualan sapi-sapinya. Lagipula pasokan sapi berkurang sehingga tak mengherankan bila harga- harga kembali bergerak naik. Ketiga, tentu saja kita tak bisa menutupi kenyataan, ada yang menginginkan kuota baru untuk mengimpor dalam jumlah besar.

Keempat, kalau kita mau secara serius membangun kemandirian, sebenarnya potensi peternakan sapi kita lumayan besar. Banyak pulau terpencil kita yang punya kemampuan menjadi sentra pembiakan dan penggemukan sapi. Meski tidak besar, Rumah Perubahan saja, sebagai social enterprise, punya 200-an ekor sapi yang dikelola masyarakat di Pulau Buru.

Masalahnya, ongkos bongkar muat di pelabuhannya amat mahal, belum lagi biaya transportasinya. Cari kapalnya saja minta ampun. Lebih mudah cari kapal di Australia untuk mendatangkan ribuan ekor sapi ketimbang mengangkut sapi antarpulau. Keempat kondisi itu mestinya bisa diketahui jauh-jauh hari. Kini tinggallah kita menyaksikan potret kemarahan pedagang daging. Ini juga agak janggal.

Katanya mogok karena tak ada pasokan daging yang harganya terjangkau. Tapi begitu digelontorkan, mereka enggan menjualnya. Argumentasi mereka, kalau harganya mahal, tak ada pembeli. Pembelinya mungkin tenang- tenang saja karena masih ada daging ayam atau mungkin juga lebih baik makan ikan.

Dua Potret

Namun saya kira kurang bijak bila kita menganggap sepele masalah mahalnya harga daging sapi ini. Terlepas ada yang memainkannya atau tidak. Anda tahu salah satu konsumen daging sapi adalah para pedagang bakso yang jumlahnya diperkirakan 2,5 juta orang.

Menurut Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso (Apmiso) Indonesia, omzet total dari seluruh pedagang bakso per hari mencapai lebih dari Rp1 triliun. Kalau mereka kesulitan memperoleh daging, omzet mereka tentu juga berkurang. Atau mereka bakal memilih menaikkan harga. Anda rela membayar semangkuk bakso seharga Rp20.000?

Maaf, ini dari penjual bakso kelas bawah, bukan yang ada di bandara atau mal. Kalau Anda penggemar rendang, pasti juga akan merasakan dampak dari lonjakan harga daging sapi. Entah dalam bentuk potongan daging rendang yang semakin kecil atau harganya yang naik.

Bicara soal daging sapi, saya akan ajak Anda menengok sedikit cerita dari sebuah keluarga yang di Indonesia pasti jumlahnya banyak sekali. Begini ceritanya. Ada seorang ibu yang setiap hari memasak untuk keluarganya. Ia biasanya berbelanja dari pedagang sayur keliling. Ketika melihat seonggok daging di gerobak si pedagang, hatinya tergelitik.

Sesekali ia ingin menyenangkan keluarganya. Ia tahu anak-anak, suami, dan ibu mertua yang tinggal bersamanya tentu bosan kalau berbulan- bulan terus disuguhi lauk nabati. Otaknya beku. Kalau yang memakannya saja bosan, apalagi dia yang membuatnya. Maka, ketika melihat seonggok daging sapi, hatinya tergoda. Bertanyalah dia ke sang pedagang.

”Berapa harga dagingnya, Bang?” Jawab sang pedagang, ”Sekilo Rp150.000.” Mulut sang ibu tiba-tiba kelu. Anggaran belanjanya per hari hanya Rp25.000. Kalau membeli sekilo daging, itu berarti enam hari ke depan keluarganya mesti puasa. Jelas tidak mungkin. Tapi, dorongan kuat untuk menyenangkan perasaan keluarganya membuat sang ibu gelap mata.

Akhirnya ia memutuskan untuk membeli setengah kilogram daging sapi. Soal belanja untuk besok, itu dipikir nanti sajalah. Itu potret satu keluarga dan daging sapi. Saya yakin potret semacam ini banyak kita jumpai di Indonesia. Mari kita lihat potret lainnya.

Skandal Kuota Impor

Beberapa tahun lalu kita dengan antusias mengikuti berita tentang sebuah partai besar yang para pimpinannya ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat skandal kuota impor daging sapi. Di pengadilan kita mendengar oknum politisi partai tersebut, bersama direktur utama sebuah perusahaan, mengatur jatah kuota impor daging sapi.

Kebetulan menteri yang mengurus kuota impor daging sapi tersebut adalah kader dari partai tersebut. Jadi, sang presiden partai merasa memiliki akses agar menterinya bisa menetapkan kuota impor daging sapi. Untuk perannya sebagai pelobi menteri, sang politisi dijanjikan memperoleh bayaran Rp40 miliar. Namun, baru menerima uang Rp1 miliar, ia telanjur ditangkap KPK.

Cerita pengaturan kuota impor daging sapi kemudian berkembang dengan sangat seru, dramatis, dan ... ah, sudahlah. Kini, para pelaku dalam skandal tersebut sudah masuk bui. Mahkamah Agung bahkan menambah lama hukuman politisi itu dari 16 tahun menjadi 18 tahun. Itulah tiga potret kontras di masyarakat kita yang samasama terkait dengan urusan daging sapi impor.

Ada para pedagang bakso yang tengah habishabisan memutar otak agar penjualannya jangan terlalu anjlok dan ada yang sedang mengutak-atik kesempatan. Selain itu ada ibu rumah tangga yang tengah pusing bagaimana mengatur uang belanjanya tiga hari ke depan. Jadi, siapa bilang urusan daging sapi seenak rasanya?

Rhenald Kasali
Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.2989 seconds (0.1#10.140)