Menteri Baru Harus Dorong Investasi
A
A
A
JAKARTA - Menteri-menteri baru akan menghadapi pekerjaan rumah yang belum diselesaikan pejabat sebelumnya. Salah satunya memulihkan perekonomian Indonesia.
Seperti diberitakan, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II/2015 mengecewakan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan hanya 4,67% atau melambat dibandingkan kuartal I/2015 yang 4,71%. Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2014 mencapai 5,12%. Bahkan, pada Rabu (12/8), rupiah semakin terjerembab.
Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan nilai tukar mata uang tanah air Rp13.758 per dolar AS. CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) dan ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, Indonesia tidak bisa banyak berharap pada perekonomian global.
Harga komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia untuk ekspor mengalami penurunan yang signifikan. Meski rupiah melemah, hal tersebut tidak membantu peningkatan nilai ekspor. Sebab penurunan harga komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, karet jauh lebih dalam. ”Begitu juga produk manufaktur, saat ini sulit karena banyak bahan baku dipenuhi dari impor. Tidak bisa kita melawan arus global,” ungkap Lana Soelistianingsih di Jakarta kemarin.
Saat ini, menurut Lana, Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain menggenjot perekonomian dalam negeri. Masalahnya, tidak banyak yang bisa diharapkan di tahun 2015. ”Belanja modal pemerintah serapan rendah, apa bisa terserap dalam bulan-bulan tersisa?” ujarnya.
Seperti diketahui, serapan belanja modal pemerintah hingga semester pertama tahun ini hanya sebesar 11% atau senilai Rp30,2 triliun dari pagu sebesar Rp275,8 triliun. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya bisa merealisasi segera program-program yang telah dicanangkan. Lana pesimistis terhadap perubahan pada tahun 2015. ”Tidak banyak yang bisa diharapkan di tahun 2015, yang bisa dilakukan saat ini adalah persiapkan 2016 dari sekarang,” tandasnya.
Sementara itu, HT mengatakan, untuk mendorong perekonomian nasional, pemerintah harus fokus membangun ekonomi dari dalam dan mendorong investasi dalam bentuk apa pun. Baik dalam bentuk pasar modal, investasi di sektor riil, atau investasi lain. Indonesia, lanjut HT, membutuhkan investasi secepat- cepatnya dan sebanyakbanyaknya agar dunia usaha bisa berjalan.
Dengan begitu, lapangan pekerjaan bisa tercipta. ”Prioritas utama, bagaimana membangun perekonomian dalam negeri dengan kekuatan dari dalam,” ungkapnya. Karena itu, pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif. Regulasi dan perizinan dipermudah dan perencanaan ekonomi yang baik. Sebab saat ini Indonesia tidak bisa berharap banyak dari ekonomi global yang juga tengah melambat.
Hitungan Lana, seharusnya iklim investasi Indonesia banyak terbantu dengan kebijakan perizinan terpadu satu pintu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun, masalahnya, investasi banyak terkendala di lapangan. Terutama dari pemerintahan daerah. ”Di daerah ada kendala untuk berinvestasi,” kata Lana. Kendala yang dimaksud di antaranya soal perizinan.
Sektor Produktif
Kebijakan-kebijakan juga harus mendorong sektor produktif. Misalnya perbankan harus didorong untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif, bukan konsumtif, agar dunia usaha di Tanah Air bisa meningkat. Bila tidak ada batasanbatasan arah penyaluran kredit, perbankan lebih condong ke pembiayaan konsumtif.
HT mengatakan, sektor seperti UMKM harus didorong dengan akses yang mudah dan modal yang murah. Sebab selama ini bunga yang dikenakan kepada UMKM lebih tinggi dibandingkan kredit perbankan ke korporasi besar. Padahal, dengan lebih banyak penggerak ekonomi, ekonomi Indonesia bisa jauh lebih melesat.
Tantangan ekonomi Indonesia saat ini memang tidak lagi mudah. Sebab Indonesia tidak lagi memiliki penopang perekonomian yang kuat. Indonesia tidak lagi menjadi pengekspor minyak seperti tahun 1970-an. Indonesia tidak lagi seperti tahun 1980- an sampai 1990-an yang mendapatkan investasi deras di bidang manufaktur.
Kini, Indonesia juga tidak bisa lagi mengandalkan komoditas seperti era tahun 2000-an hingga dua tahun terakhir karena harga merosot tajam.
Nugroho
Seperti diberitakan, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II/2015 mengecewakan. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan hanya 4,67% atau melambat dibandingkan kuartal I/2015 yang 4,71%. Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2014 mencapai 5,12%. Bahkan, pada Rabu (12/8), rupiah semakin terjerembab.
Kurs tengah Bank Indonesia (BI) menunjukkan nilai tukar mata uang tanah air Rp13.758 per dolar AS. CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) dan ekonom Universitas Indonesia Lana Soelistianingsih mengatakan, Indonesia tidak bisa banyak berharap pada perekonomian global.
Harga komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia untuk ekspor mengalami penurunan yang signifikan. Meski rupiah melemah, hal tersebut tidak membantu peningkatan nilai ekspor. Sebab penurunan harga komoditas seperti batu bara, kelapa sawit, karet jauh lebih dalam. ”Begitu juga produk manufaktur, saat ini sulit karena banyak bahan baku dipenuhi dari impor. Tidak bisa kita melawan arus global,” ungkap Lana Soelistianingsih di Jakarta kemarin.
Saat ini, menurut Lana, Indonesia tidak memiliki pilihan lain selain menggenjot perekonomian dalam negeri. Masalahnya, tidak banyak yang bisa diharapkan di tahun 2015. ”Belanja modal pemerintah serapan rendah, apa bisa terserap dalam bulan-bulan tersisa?” ujarnya.
Seperti diketahui, serapan belanja modal pemerintah hingga semester pertama tahun ini hanya sebesar 11% atau senilai Rp30,2 triliun dari pagu sebesar Rp275,8 triliun. Dia mengatakan, pemerintah seharusnya bisa merealisasi segera program-program yang telah dicanangkan. Lana pesimistis terhadap perubahan pada tahun 2015. ”Tidak banyak yang bisa diharapkan di tahun 2015, yang bisa dilakukan saat ini adalah persiapkan 2016 dari sekarang,” tandasnya.
Sementara itu, HT mengatakan, untuk mendorong perekonomian nasional, pemerintah harus fokus membangun ekonomi dari dalam dan mendorong investasi dalam bentuk apa pun. Baik dalam bentuk pasar modal, investasi di sektor riil, atau investasi lain. Indonesia, lanjut HT, membutuhkan investasi secepat- cepatnya dan sebanyakbanyaknya agar dunia usaha bisa berjalan.
Dengan begitu, lapangan pekerjaan bisa tercipta. ”Prioritas utama, bagaimana membangun perekonomian dalam negeri dengan kekuatan dari dalam,” ungkapnya. Karena itu, pemerintah harus menciptakan iklim investasi yang kondusif. Regulasi dan perizinan dipermudah dan perencanaan ekonomi yang baik. Sebab saat ini Indonesia tidak bisa berharap banyak dari ekonomi global yang juga tengah melambat.
Hitungan Lana, seharusnya iklim investasi Indonesia banyak terbantu dengan kebijakan perizinan terpadu satu pintu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun, masalahnya, investasi banyak terkendala di lapangan. Terutama dari pemerintahan daerah. ”Di daerah ada kendala untuk berinvestasi,” kata Lana. Kendala yang dimaksud di antaranya soal perizinan.
Sektor Produktif
Kebijakan-kebijakan juga harus mendorong sektor produktif. Misalnya perbankan harus didorong untuk menyalurkan kredit ke sektor produktif, bukan konsumtif, agar dunia usaha di Tanah Air bisa meningkat. Bila tidak ada batasanbatasan arah penyaluran kredit, perbankan lebih condong ke pembiayaan konsumtif.
HT mengatakan, sektor seperti UMKM harus didorong dengan akses yang mudah dan modal yang murah. Sebab selama ini bunga yang dikenakan kepada UMKM lebih tinggi dibandingkan kredit perbankan ke korporasi besar. Padahal, dengan lebih banyak penggerak ekonomi, ekonomi Indonesia bisa jauh lebih melesat.
Tantangan ekonomi Indonesia saat ini memang tidak lagi mudah. Sebab Indonesia tidak lagi memiliki penopang perekonomian yang kuat. Indonesia tidak lagi menjadi pengekspor minyak seperti tahun 1970-an. Indonesia tidak lagi seperti tahun 1980- an sampai 1990-an yang mendapatkan investasi deras di bidang manufaktur.
Kini, Indonesia juga tidak bisa lagi mengandalkan komoditas seperti era tahun 2000-an hingga dua tahun terakhir karena harga merosot tajam.
Nugroho
(bbg)