Perhatikan Dampak Impor Daging
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah harus berhati-hati dalam menentukan kebijakan impor daging sapi, terutama memperhatikan dampak impor tersebut pada daging sapi lokal.
Pendapat ini disampaikan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) terkait langkah pemerintah menstabilkan hargadagingsapiyangbelakangan ini melonjak. ”Harus dikelola supaya imbangsehinggabisaterjangkau bagi masyarakat dan pedagang atau pengusaha sapi lokal pun tetap bisa untung,” kata HT usai memberi arahan kepada DPW dan DPD Partai Perindo di Bangka Belitung, kemarin.
Menurut HT, kebijakan impor tergantung dari kemampuan produksi dalam negeri. Bila produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, hal itu bisa dipenuhi dari impor. Namun dia menegaskan, bila sapi lokal cukup untuk memenuhi kebutuhan, impor tidak perlu dilakukan. Sebelumnya pemerintah dalam rapat koordinasi akhirnya memutuskan memberikan izin Bulog mengimpor 50.000 ekor sapi untuk mengatasi naiknya harga daging sapi yang kini ratarata mencapai Rp12.000/ kg, terutama di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat.
Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) menilai langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyerahkan izin impor sapi ke Perum Bulog hanya untuk menutupi malu lantaran membatasi izin impor sapi sebelumnya. Ketua Aspidi Thomas Sembiring mengaku keberatan dengan keputusan Kemendag menyerahkan izin impor sapi ke Bulog.
Meski pemerintah akhirnya membuka kembali keran impor sapi, tetapi para importir tidak mendapatkannya lantaran seluruhnya diserahkan ke Bulog. ”Itu kan (impor sapi) yang dikasih ke Bulog. Bukan ke mereka. Artinya mereka enggak dapat. Yang impor kan Bulog. Sebenarnya itu kan juga alasan saja untuk menutupi malu. Makanya kenapa mesti dibatasi (impor sapi) kemarin,” katanya di Jakarta kemarin.
Thomas membantah dibatasinya impor sapi lantaran para peternak sapi lokal mengeluh rugi akibat sapi impor yang merajai pasar. Padahal, menurutnya, sapi lokal memiliki pasar besar didaerah seperti Kalimantan dan Sumatera. ”Kenapa merugi? Apanya yang merugi? Kemarin itu (sapi) yang masuk ke Jabodetabek umumnya sapi impor.
Kenapa? Karena dari Jateng, Jatim, larinya ke Kalimantan dan Sumatera. Bukan enggak ada pasarnya. Lebih mahal dia bisa jual ke Kalimantan. Makanya jangan pakai duga-duga. Bicara faktalah,” ujar dia. Dia pun menandaskan stok sapi lokal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahkan, angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, populasinya sejak 2011 hingga 2013 susut sekitar 2 juta ekor. ”Sekarang faktanya berapa sapi kita, masih ada 12 juta enggak? Itu bisa berdebat lagi. Angka BPS 2011- 2013, populasinya turun 2 juta. Sekarang sudah 2015. Berapa betina produktif yang dipotong tiap hari, pernah dicatat enggak? Dia juga enggak punya data. Jadi semua berasumsi, susahlah enggak ada penyelesaian,” tandasnya.
Momentum Benahi Tata Niaga
Pemerintah jangan hanya berhenti pada impor sapi untuk menyelesaikan gejolak harga daging sapi hingga memicu aksi mogok para pedagang. Kondisi ini harus menjadi momentum pembenahan jangka panjang, yakni membenahi tata niaga daging sapi. Pentingnya pembenahan tata niaga disampaikan Koalisi Sapi Indonesia dan Wakil Ketua KomisiIV DPRHermanKhaeron dan Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat pentingnya langkah tersebut karena selama ini pola yang berlaku saat ini menyebabkan munculnya persaingan tidak sehat. ”Kami mendorong pemerintah untuk menjalankan tata niaga sapi agar pemerintah bisa mengendalikan distribusi daging sapi yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Ini momentum yang tepat untuk membenahi sektor persapian di Tanah Air,” ujar Ketua Koalisi Sapi Indonesia Ch Aminuddin dalam siaran persnya di Jakarta kemarin. Menurut Aminuddin, saat ini tata niaga sapi dikuasai segelintir pedagang sapi besar. Para raja sapi ini menguasai distribusi berikut permainan harganya. Dengan pembenahan tata niaga, distribusi daging jangan lagi dilepaskan penuh ke swasta, tetapi pemerintah harus bisa mengontrol.
Herman Khaeron mendesak Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan membenahi tata niaga daging sapi berikut manajemen stok dan distribusi. ”Berkaitan dengan tata niaga, segera tetapkan tata cara penyelenggaraan tata niaga komoditas pertanian yang berpihak kepada petani yang berskala kecil. Amburadulnya tata niaga komoditas pertanian juga menyebabkan kita kesulitan mencapai swasembada dan menyejahterakan petani,” ungkapnya.
Edhy Prabowo juga mendorong pemerintah turun tangan mengelola tata niaga daging sapi. Menurut dia, pemerintah harus fokus memberdayakan sapirakyat untukmemenuhidalam negeri. Baru jika sapi lokal tidakmencukupi, keranimporboleh dibuka. ”Jangan apa-apa impor. Sapi lokal diserap dulu, didata ada berapa sapi kita, kekurangannya baru cari impor di luar.
Pemerintah perlu sistem distribusinya,” ujarnya. Sementara itu, KPPU melihat gejolak harga komoditas, termasuk daging sapi, dipicu keinginan pemerintah menaikkan harga komoditas agar petani/peternak mendapat keuntungan memadai. Langkah ini diambil melalui kebijakan tata negara dengan membatasi pasokan pada tingkat sama dengan permintaan.
Menurut KPPU, terbatasnya pasokan hanya sebesar permintaan sesungguhnya merupakan sinyal bagi pelaku usaha bahwa pasokan kini terbatas dan semuanya ada di tangan mereka yang berada di jalur distribusi saat ini. Di sisi lain, pembatasan pasokan ini juga menutup munculnya pelaku usaha baru. Akibat pola ini, pelaku usaha yang berada di jejaring distribusi memiliki kekuatan pasar yang besar mengingat pasokan produk hanya ada pada mereka.
Hal inilah yang sangat mudah disalahgunakan pelaku usaha melalui kenaikan harga yang signifikan. ”Dengan besarnya kekuatan pasar yang dimiliki para distributor dan pedagang besar itu, fenomena fluktuasi harga dan kelangkaan pasokan bukannya berkurang malah meningkat,” demikian KPPU dalam rilisnya. Menurut KPPU, masalah tersebut bisa diatasi dengan intervensi pemerintah.
Caranya, pemerintah harus konsisten dengan melakukan tata niaga secara utuh. Apabila sisi hulu diintervensi dengan pembatasan pasokan, di sisi hilir pemerintah juga harus melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengaku masih memikirkan secara komprehensif solusi jangka panjang. Namun dia menjamin permasalahan ini akan rampung akhir tahun. ”Sehingga tahun depan perlu diberi kebijakan lain. Misalnya menyensus berapa sih sapi dalam negeri, menilai kebijakan selama ini. Perlu kebijakan lebih komprehensif,” tandas dia.
Mula akmal/ sindonews.com
Pendapat ini disampaikan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) terkait langkah pemerintah menstabilkan hargadagingsapiyangbelakangan ini melonjak. ”Harus dikelola supaya imbangsehinggabisaterjangkau bagi masyarakat dan pedagang atau pengusaha sapi lokal pun tetap bisa untung,” kata HT usai memberi arahan kepada DPW dan DPD Partai Perindo di Bangka Belitung, kemarin.
Menurut HT, kebijakan impor tergantung dari kemampuan produksi dalam negeri. Bila produksi dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan, hal itu bisa dipenuhi dari impor. Namun dia menegaskan, bila sapi lokal cukup untuk memenuhi kebutuhan, impor tidak perlu dilakukan. Sebelumnya pemerintah dalam rapat koordinasi akhirnya memutuskan memberikan izin Bulog mengimpor 50.000 ekor sapi untuk mengatasi naiknya harga daging sapi yang kini ratarata mencapai Rp12.000/ kg, terutama di wilayah Jabodetabek dan Jawa Barat.
Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) menilai langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyerahkan izin impor sapi ke Perum Bulog hanya untuk menutupi malu lantaran membatasi izin impor sapi sebelumnya. Ketua Aspidi Thomas Sembiring mengaku keberatan dengan keputusan Kemendag menyerahkan izin impor sapi ke Bulog.
Meski pemerintah akhirnya membuka kembali keran impor sapi, tetapi para importir tidak mendapatkannya lantaran seluruhnya diserahkan ke Bulog. ”Itu kan (impor sapi) yang dikasih ke Bulog. Bukan ke mereka. Artinya mereka enggak dapat. Yang impor kan Bulog. Sebenarnya itu kan juga alasan saja untuk menutupi malu. Makanya kenapa mesti dibatasi (impor sapi) kemarin,” katanya di Jakarta kemarin.
Thomas membantah dibatasinya impor sapi lantaran para peternak sapi lokal mengeluh rugi akibat sapi impor yang merajai pasar. Padahal, menurutnya, sapi lokal memiliki pasar besar didaerah seperti Kalimantan dan Sumatera. ”Kenapa merugi? Apanya yang merugi? Kemarin itu (sapi) yang masuk ke Jabodetabek umumnya sapi impor.
Kenapa? Karena dari Jateng, Jatim, larinya ke Kalimantan dan Sumatera. Bukan enggak ada pasarnya. Lebih mahal dia bisa jual ke Kalimantan. Makanya jangan pakai duga-duga. Bicara faktalah,” ujar dia. Dia pun menandaskan stok sapi lokal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Bahkan, angka dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, populasinya sejak 2011 hingga 2013 susut sekitar 2 juta ekor. ”Sekarang faktanya berapa sapi kita, masih ada 12 juta enggak? Itu bisa berdebat lagi. Angka BPS 2011- 2013, populasinya turun 2 juta. Sekarang sudah 2015. Berapa betina produktif yang dipotong tiap hari, pernah dicatat enggak? Dia juga enggak punya data. Jadi semua berasumsi, susahlah enggak ada penyelesaian,” tandasnya.
Momentum Benahi Tata Niaga
Pemerintah jangan hanya berhenti pada impor sapi untuk menyelesaikan gejolak harga daging sapi hingga memicu aksi mogok para pedagang. Kondisi ini harus menjadi momentum pembenahan jangka panjang, yakni membenahi tata niaga daging sapi. Pentingnya pembenahan tata niaga disampaikan Koalisi Sapi Indonesia dan Wakil Ketua KomisiIV DPRHermanKhaeron dan Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) melihat pentingnya langkah tersebut karena selama ini pola yang berlaku saat ini menyebabkan munculnya persaingan tidak sehat. ”Kami mendorong pemerintah untuk menjalankan tata niaga sapi agar pemerintah bisa mengendalikan distribusi daging sapi yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia.
Ini momentum yang tepat untuk membenahi sektor persapian di Tanah Air,” ujar Ketua Koalisi Sapi Indonesia Ch Aminuddin dalam siaran persnya di Jakarta kemarin. Menurut Aminuddin, saat ini tata niaga sapi dikuasai segelintir pedagang sapi besar. Para raja sapi ini menguasai distribusi berikut permainan harganya. Dengan pembenahan tata niaga, distribusi daging jangan lagi dilepaskan penuh ke swasta, tetapi pemerintah harus bisa mengontrol.
Herman Khaeron mendesak Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan membenahi tata niaga daging sapi berikut manajemen stok dan distribusi. ”Berkaitan dengan tata niaga, segera tetapkan tata cara penyelenggaraan tata niaga komoditas pertanian yang berpihak kepada petani yang berskala kecil. Amburadulnya tata niaga komoditas pertanian juga menyebabkan kita kesulitan mencapai swasembada dan menyejahterakan petani,” ungkapnya.
Edhy Prabowo juga mendorong pemerintah turun tangan mengelola tata niaga daging sapi. Menurut dia, pemerintah harus fokus memberdayakan sapirakyat untukmemenuhidalam negeri. Baru jika sapi lokal tidakmencukupi, keranimporboleh dibuka. ”Jangan apa-apa impor. Sapi lokal diserap dulu, didata ada berapa sapi kita, kekurangannya baru cari impor di luar.
Pemerintah perlu sistem distribusinya,” ujarnya. Sementara itu, KPPU melihat gejolak harga komoditas, termasuk daging sapi, dipicu keinginan pemerintah menaikkan harga komoditas agar petani/peternak mendapat keuntungan memadai. Langkah ini diambil melalui kebijakan tata negara dengan membatasi pasokan pada tingkat sama dengan permintaan.
Menurut KPPU, terbatasnya pasokan hanya sebesar permintaan sesungguhnya merupakan sinyal bagi pelaku usaha bahwa pasokan kini terbatas dan semuanya ada di tangan mereka yang berada di jalur distribusi saat ini. Di sisi lain, pembatasan pasokan ini juga menutup munculnya pelaku usaha baru. Akibat pola ini, pelaku usaha yang berada di jejaring distribusi memiliki kekuatan pasar yang besar mengingat pasokan produk hanya ada pada mereka.
Hal inilah yang sangat mudah disalahgunakan pelaku usaha melalui kenaikan harga yang signifikan. ”Dengan besarnya kekuatan pasar yang dimiliki para distributor dan pedagang besar itu, fenomena fluktuasi harga dan kelangkaan pasokan bukannya berkurang malah meningkat,” demikian KPPU dalam rilisnya. Menurut KPPU, masalah tersebut bisa diatasi dengan intervensi pemerintah.
Caranya, pemerintah harus konsisten dengan melakukan tata niaga secara utuh. Apabila sisi hulu diintervensi dengan pembatasan pasokan, di sisi hilir pemerintah juga harus melakukan intervensi antara lain melalui penetapan harga di tangan konsumen serta kewajiban menjaga ketersediaan produk di pasar.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Sofyan Djalil mengaku masih memikirkan secara komprehensif solusi jangka panjang. Namun dia menjamin permasalahan ini akan rampung akhir tahun. ”Sehingga tahun depan perlu diberi kebijakan lain. Misalnya menyensus berapa sih sapi dalam negeri, menilai kebijakan selama ini. Perlu kebijakan lebih komprehensif,” tandas dia.
Mula akmal/ sindonews.com
(bbg)