Muktamar Usai, Mari Lihat Masa Depan

Selasa, 11 Agustus 2015 - 09:43 WIB
Muktamar Usai, Mari...
Muktamar Usai, Mari Lihat Masa Depan
A A A
KH Said Aqil Siradj kembali terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) masa khidmat 2015–2020.Sejumlah tantangan menyangkut kebangsaan dan keumatan menanti pemimpin NU yang terpilih di Muktamar ke-33 Jombang ini. Berikut ini petikan wawancara KORAN SINDOdengan KH Said Aqil Siradj di Kantor PBNU, Jakarta, kemarin.

Apa agenda prioritas NU lima tahun ke depan?

Beberapa amanat Muktamar Makassar banyak yang belum tuntas. Di samping keberhasilan, juga ada yang belum berhasil, antara lain kita akan lanjutkan pembangunan Universitas Nahdlatul Ulama, kita tambah lagi 24 universitas yang sudah ada. Rencana saya minimal 50 universitas sampai lima tahun nanti. Kedua, aset-aset PBNU yang hilang, yang pindah tangan sudah ada yang berhasil (dikembalikan) tapi masih banyak yang belum berhasil.

Kemudian, kesehatan. Beberapa rumah sakit yang hilang bisa kita tarik kembali, RS Surabaya Bungur Asih, RS Demak, dan yang kita bangun RS Jombang itu, yang baru. Sedangkan SMK 62, sekolah ini nanti kita usahakan tambah lagi. Lompatan besar menurut saya universitas itu. Masa mendatang, insya allah lulusan sekolah menengah atasnya NU sudah punya universitas sendiri.

Kenapa di pendidikan sangat penting, karena kita ingin mempertahankan Islam Nusantara itu. Islam yang ramah, Islam yang melebur dengan budaya, Islam yang mengedepankan akhlak, moral. Bukan Islam yang diskriminatif, bukan Islam yang menggunakan paksaan, atau doktrin, tidak. Tapi Islam yang kita warisi dari Wali Songo, Islam yang pendekatannya dengan akhlak yang mulia.

Bagaimana mengimplementasikan Islam Nusantara ini?

Sebenarnya sudah berjalan selama ini. Itulah Islam yang menjadi dakwahnya para kiai. Ada teroris atau tidak, ada ekstremis atau tidak, ada kelompok radikal atau tidak, kiaikiai NU, kiai-kiai pesantren mengajarkan pada santri dan masyarakatnya Islam yang ramah, menghormati perbedaan. Dari dulu NU tidak pernah adakonflikdenganSyiah, Ahmadiyah.

Kita tahu Ahmadiyah berbeda jauh dengan NU, tapi kita tidak menggunakan kekerasan. Ahmadiyahsejaktahun1925datang, enggak pernah ada konflik fisik. Oleh karena itu, fenomena radikalisme ini asing bagi kita. Jelas itu merupakan impor. Kalau sudah menolak Islam Nusantara, nanti akan menolak Pancasila.

Pancasila itu merupakan pengejawantahan dari pola pikir Islam Nusantara ini. Dalam hadis dikatakan, Wala udwana illa ala dzalimin. Tidak boleh ada permusuhan kecuali terhadap yang zalim, melanggar peraturan. Selama tidak melanggar undang-undang tidak boleh kita anggap musuh siapa pun. Tidak ada alasan menganggap musuh karena perbedaan agama dan suku.

Hanya satu yang boleh kita anggap musuh, yang melanggar hukum dan UU. Tapi di Timur Tengah sekarang enggak, sudah hilang itu. Di kita, alhamdulillah masih kita pertahankan. Itulah Islam Nusantara. Ketika memasuki era globalisasi kalau kita kehilangan jati diri, habis. Dengan mempertahankan Islam Nusantara, umat Islam Indonesia bisa memasuki era globalisasi dengan jati dirinya yang khas, tipologinya yang khas dan syukur- syukur bisa mewarnai orang lain.

Bagaimana NU menjaga kemajemukan dan toleransi antarumat?

Saya tidak bosan-bosannya, tidak henti-hentinya memberikan pencerahan kepada santrisantri bahwa toleransi merupakan prinsip Islam. Di Madinah ada orang paganis masuk Islam, namanya Al Hassin, punya dua anak sudah masuk Kristen. Begitu dia masuk Islam, dia mengajak anaknya agar masuk Islam, tapi tidak mau.

Diancam kalau tidak mau saya bunuh, langsung turun ayat suci Alquran La Iqraha Fiddin tidak boleh ada kekerasan dalam agama. Ini bapak terhadap anaknya loh, apalagi orang tidak ada kaitan darah dan keluarga. Bapak saja tidak boleh melakukan intimidasi kepada anak dalam hal agama. Luar biasa Islam itu sebenarnya.

Kalau ayat-ayat pluralis di Alquran banyak, QS Yunus ayat 99. Begitu pula ayat-ayat lain banyak sekali. Jadi kembali lagi, Islam Nusantara itu bukan mazhab, bukan aliran tapi tipologi, ciri khas dari Islam yang dibawa oleh Wali Songo yang dilestarikan dan dipelihara oleh NU, Islam yang melebur dengan budaya selama budaya itu tidak jelas-jelas bertentangan dengan Islam. Misalkan minum-minuman, khamar, pergaulan bebas, jelas kita tolak.

Tapi kalau sekadar acara tujuh bulanan, nyekar kuburan, halalbihalal, semua budaya kita. NU sejak tahun 1936 sebelum merdeka sembilan tahun, menghendaki negara darussalam, negara damai, bukan negara agama, negara suku tapi negara damai. Itu kan bahasanya kiai darussalam, kalau bahasa sekarang nation state.

Kedua, ketika Munas Situbondo tahun 1984 KH Siddik dan Gus Dur menyatakan bahwa negara kesatuan, berdasarkan Pancasila, sudah ditetapkan. Jadi kalau sudah masalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan, Bhineka Tunggal Ika, NU di depan, tidak mungkin ditawar- tawar lagi.

Sebelum muktamar, isu BPJS Kesehatan menyedot perhatian. Bagaimana menurut NU?

Iya, sudah. Akhirnya bagi NU hukumnya halal, boleh. Karena kita mendahulukan kepentingan orang banyak. Kita mengkaji dulu, ditimbang-timbang dulu, tidak gampang haram. Semua itu halal kecuali yang diharamkan oleh syariat.

Soal ketentuan BPJS yang dinilai tidak sesuai syar’i?

Nanti kita carikan supaya bisa menjadi syar’i, supaya tidak bertentangan, bukan berarti harus syariat Islam, tapi tidak bertentangan. Misalkan, setelah uang terkumpul investasinya ke pabrik khamar (minuman keras), ya itu jelas haram.

Hampir satu tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjalan, bagaimana NU melihatnya?

Ada indikasi keberhasilan, seperti gebrakannya Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti), itu kita acungi jempol betul. Tapi di muktamar kemarin dibahas hukumnya membakar kapal, itu hukumnya tidak boleh, haram. Lebih baik kapalnya diberikan kepada nelayan. Itu kanbarang, harta itu ada harganya. Tidak boleh dimusnahkan, mubazir. Pencurinya tangkap, tapi ini kapalnya atau alat tangkapnya, manfaatkan untuk nelayan, jangan dihancurkan begitu.

Soal independensi NU dengan partai politik, terutama dengan PKB?

Sebenarnya secara organisatoris tidak ada kaitannya. Hanya secara emosional, benang merahnya secara back ground, historisnya PKB lahir dari NU. Memang yang mempersiapkan lahirnya PKB, ya NU semua. Baik tim lima, deklarator lima, tim asisten sembilan, jadi tidak bisa dipisahkan. Walaupun secara organisatoris bukan di bawah NU.Kemarin pun pengurus PBNU macam-macam, ada Slamet Effendi dari Golkar, ada Nasirul Fallah dari PDIP, ada Abidin dari Gerindra, juga ada PPP.

Ada kelompok yang belum puas dengan hasil muktamar, bagaimana menyikapinya?

Pasti saya rangkul, itu pasti. Enggakapa-apa itu dinamika muktamar. NU itu besar maka pasti ada dinamika. Coba, peserta muktamarnya 3.500 lebih, masa suruh diam semua. Di MPR cuma 500 sekian saja kaya gitu, apalagi 3.500. Saya sangat hormat dengan Gus Sholah (KH Salahuddin Wahid), tidak pernah satu kata pun saya mencaci maki atau meremehkan Gus Sholah.

Itu cucunya Mbah Hasyim Asyari, adiknya Gus Dur. Saya enggak pernah sedikit pun merendahkan Gus Sholah, selalu hormat. Bahkan, dengan KH Hasyim Muzadi pun saya enggak pernah. Saya dengar katanya Pak Hasyim suka mengkritik saya habis-habisan, tapi apa saya pernah meng-counter? Enggak.

Pesan kiai buat NU, warga nahdliyin?

Saya berpesan kepada seluruh warga nahdliyin, terutama pengurus-pengurusnya, muktamar telah selesai dan dihadiri oleh para kiai-kiai sepuh, kiaikiai pemangku pesantren. Mari kita hormati hasil muktamar itu. Ke depan ada tantangan yang lebih berat, tantangan yang lebih serius, tantangan ekstrem kanan, ekstrem kiri, tantangan ke dalam juga.

Bagaimana kita menyiapkan kader-kader NU yang akan datang, itu PR yang besar. Mari kita rapatkan barisan, kita solid. Muktamar sudah selesai. Dalam Alquran juga dikatakan wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad, setiap orang harus menatap masa yang akan datang. Itu Quran, jangan lagi melihat masa yang lalu.

Bakti munir/ sucipto
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6421 seconds (0.1#10.140)