Kecil Peluang Calon Bertambah
A
A
A
JAKARTA - Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah, namun peluang bertambahnya pasangan calon untuk mendaftar di tujuh daerah yang memiliki pasangan calon tunggal tergolong kecil.
Waktu yang singkat yakni hanya tiga hari (9-11 Agustus) dinilai mempersulit parpol untuk membangun koalisi. Bahkan, Partai Golkar memastikan kemungkinan hanya akan membuka pendaftaran di satu daerah. Pengurus DPP Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, dari tujuh daerah yang pasangan calonnya masih tunggal, kemungkinan hanya akan mengusung pasangan calon di Mataram.
”Setahu saya yang sudah jelas itu Mataram kan, belum tahu kalau yang lain. Tapi itu sudah baguslah,” kata Rambe di Jakarta. Sementara itu, di Pilkada Surabaya, peluang munculnya calon lain untuk menandingi petahana Tri Rismaharini juga tergolong kecil. Koalisi Majapahit yang dinilai berpeluang mengusung calon diperkirakan kembali mengurungkan niatnya.
Bahkan, kemarin, koalisi ini justru berencana menggugat KPU Pusat ke Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) terkait terbitnya surat perintah perpanjangan masa pendaftaran tiga hari. Koalisi yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, Partai Golkar, PKS, PKB dan PPP ini menilai ada yang salah dengan landasan yang digunakan KPU untuk membuat keputusan membuka lagi masa pendaftaran pasangan calon.
”Soal gugatan ini, Koalisi Majapahit merasa kecewa dengan keputusan KPU untuk melakukan perpanjangan pendaftaran bakal calon. Padahal sudah ada aturan di PKPU Nomor 12 Tahun 2015,” ujar Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit, AH Thony kemarin. Sementara itu, pemerintah dituntut segera memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan calon tunggal kepala daerah.
Apalagi, harapan agar masalah calon tunggal bisa selesai dengan memperpanjang pendaftaran selama tiga hari dinilai tidak akan memberikan solusi. Belum lagi, fakta terbaru jumlah calon tunggal ini bertambah setelah salah satu pasangan calon kepala daerah di Pilkada Denpasar, Bali, menyatakan mengundurkan diri pada Jumat (7/8).
Praktis, jumlah daerah yang memiliki calon tunggal kini menjadi delapan. Anggota Komisi II DPR RI Arwani Thomafi mengatakan, untuk mengatasi masalah ini pilihannya hanya ada dua, pertama diputuskan untuk melakukan penundaan pilkada di daerah tersebut sampai nanti ada dua pasangan calon. Kedua , melakukan terobosan regulasi agar ada kepastian untuk mengakhiri ketidakjelasan masalah ini.
”Tidak ada cara lain karena regulasinya cuma sampai situ. Saya kira revisi terhadap UU Pilkada harus dilakukan sehingga ada kepastian bagi masyarakat,” ucapnya kemarin. Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang meminta agar permasalahan calon tunggal dalam pilkada serentak diselesaikan dengan musyawarah atau duduk bersama antara partai politik (parpol) pengusung dan penyelenggara pilkada. Sebab, menurut dia, kasus munculnya satu pasangan calon di daerah diyakini bukan karena tidak adanya calon kepala daerah.
”Menurut saya bukan karena tidak ada calon kepala daerah, tetapi calon-calon yang ada tidak mendaftar padahal sudah diusung oleh parpol. Oleh sebab itu, parpol pengusung yang calonnya tidak mendaftar dan penyelenggara pilkada harus duduk bersama membicarakan itu,” ujar dia pada diskusi Polemik Trijaya FM bertema ” Retaknya Pilkada Serentak ” di Jakarta kemarin.
Seandainya hal itu tidak membuahkan hasil, lanjut Bastian, DPR dan pemerintah harus menjadikannya catatan penting untuk merevisi UU Pilkada. Sebastian menyebutkan, ada beberapa motif yang membuat pilkada hanya satu calon, antara lain calon petahana menskenariokan semua parpol mendukungnya dengan memborong partai dan hanya menyisakan satu atau dua parpol sehingga menyulitkan calon lain untuk maju.
”Pada daerah lain ada calon, tapi mereka enggak mau mendaftar karena incumbent kuat dan mereka menunggu selesai masa jabatannya baru mau maju,” katanya. Adanya parpol yang bersikap demikian, menurut Sebastian, sebaiknya diberikan sanksi karena dengan sadar menghambat pelaksanaan pilkada dan tidak baik bagi perkembangan demokrasi.
”Kalau ada calon yang sengaja membuat pilkada tidak ada saingannya perlu diberikan sanksi dan diskualifikasi. Namun wacana pemberian sanksi bagi parpol ini ditolak keras Wakil Ketua DPP Partai Gerindra Fadli Zon. Menurutnya, hak dan strategi masingmasing partai untuk mencalonkan atau tidak di pilkada.
”Partai bisa tidak mengusung calon, abstain atau mendukung calon tidak ada ketentuan soal itu (sanksi). Jadi cara berpikir itu adalah cara berpikir yang mengganggu intelektualitas kita,” ujarnya.
Sucipto/ ant
Waktu yang singkat yakni hanya tiga hari (9-11 Agustus) dinilai mempersulit parpol untuk membangun koalisi. Bahkan, Partai Golkar memastikan kemungkinan hanya akan membuka pendaftaran di satu daerah. Pengurus DPP Partai Golkar Rambe Kamarul Zaman menjelaskan, dari tujuh daerah yang pasangan calonnya masih tunggal, kemungkinan hanya akan mengusung pasangan calon di Mataram.
”Setahu saya yang sudah jelas itu Mataram kan, belum tahu kalau yang lain. Tapi itu sudah baguslah,” kata Rambe di Jakarta. Sementara itu, di Pilkada Surabaya, peluang munculnya calon lain untuk menandingi petahana Tri Rismaharini juga tergolong kecil. Koalisi Majapahit yang dinilai berpeluang mengusung calon diperkirakan kembali mengurungkan niatnya.
Bahkan, kemarin, koalisi ini justru berencana menggugat KPU Pusat ke Pengadilan Negeri Tata Usaha (PTUN) terkait terbitnya surat perintah perpanjangan masa pendaftaran tiga hari. Koalisi yang terdiri atas Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, Partai Golkar, PKS, PKB dan PPP ini menilai ada yang salah dengan landasan yang digunakan KPU untuk membuat keputusan membuka lagi masa pendaftaran pasangan calon.
”Soal gugatan ini, Koalisi Majapahit merasa kecewa dengan keputusan KPU untuk melakukan perpanjangan pendaftaran bakal calon. Padahal sudah ada aturan di PKPU Nomor 12 Tahun 2015,” ujar Ketua Tim Kerja Koalisi Majapahit, AH Thony kemarin. Sementara itu, pemerintah dituntut segera memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan calon tunggal kepala daerah.
Apalagi, harapan agar masalah calon tunggal bisa selesai dengan memperpanjang pendaftaran selama tiga hari dinilai tidak akan memberikan solusi. Belum lagi, fakta terbaru jumlah calon tunggal ini bertambah setelah salah satu pasangan calon kepala daerah di Pilkada Denpasar, Bali, menyatakan mengundurkan diri pada Jumat (7/8).
Praktis, jumlah daerah yang memiliki calon tunggal kini menjadi delapan. Anggota Komisi II DPR RI Arwani Thomafi mengatakan, untuk mengatasi masalah ini pilihannya hanya ada dua, pertama diputuskan untuk melakukan penundaan pilkada di daerah tersebut sampai nanti ada dua pasangan calon. Kedua , melakukan terobosan regulasi agar ada kepastian untuk mengakhiri ketidakjelasan masalah ini.
”Tidak ada cara lain karena regulasinya cuma sampai situ. Saya kira revisi terhadap UU Pilkada harus dilakukan sehingga ada kepastian bagi masyarakat,” ucapnya kemarin. Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang meminta agar permasalahan calon tunggal dalam pilkada serentak diselesaikan dengan musyawarah atau duduk bersama antara partai politik (parpol) pengusung dan penyelenggara pilkada. Sebab, menurut dia, kasus munculnya satu pasangan calon di daerah diyakini bukan karena tidak adanya calon kepala daerah.
”Menurut saya bukan karena tidak ada calon kepala daerah, tetapi calon-calon yang ada tidak mendaftar padahal sudah diusung oleh parpol. Oleh sebab itu, parpol pengusung yang calonnya tidak mendaftar dan penyelenggara pilkada harus duduk bersama membicarakan itu,” ujar dia pada diskusi Polemik Trijaya FM bertema ” Retaknya Pilkada Serentak ” di Jakarta kemarin.
Seandainya hal itu tidak membuahkan hasil, lanjut Bastian, DPR dan pemerintah harus menjadikannya catatan penting untuk merevisi UU Pilkada. Sebastian menyebutkan, ada beberapa motif yang membuat pilkada hanya satu calon, antara lain calon petahana menskenariokan semua parpol mendukungnya dengan memborong partai dan hanya menyisakan satu atau dua parpol sehingga menyulitkan calon lain untuk maju.
”Pada daerah lain ada calon, tapi mereka enggak mau mendaftar karena incumbent kuat dan mereka menunggu selesai masa jabatannya baru mau maju,” katanya. Adanya parpol yang bersikap demikian, menurut Sebastian, sebaiknya diberikan sanksi karena dengan sadar menghambat pelaksanaan pilkada dan tidak baik bagi perkembangan demokrasi.
”Kalau ada calon yang sengaja membuat pilkada tidak ada saingannya perlu diberikan sanksi dan diskualifikasi. Namun wacana pemberian sanksi bagi parpol ini ditolak keras Wakil Ketua DPP Partai Gerindra Fadli Zon. Menurutnya, hak dan strategi masingmasing partai untuk mencalonkan atau tidak di pilkada.
”Partai bisa tidak mengusung calon, abstain atau mendukung calon tidak ada ketentuan soal itu (sanksi). Jadi cara berpikir itu adalah cara berpikir yang mengganggu intelektualitas kita,” ujarnya.
Sucipto/ ant
(ars)