Uber dan Grab Taxi Harus Penuhi 7 Syarat
A
A
A
JAKARTA - Pemprov DKI Jakarta mengizinkan layanan angkutan umum berbasis aplikasi beroperasi. Namun, Taksi Uber, Grab Taxi, Go-Jek, maupun Grab Bike, harus mengikuti syarat resmi operasional angkutan umum.
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, saat ini teknologi aplikasi Android telah memasuki layanan angkutan umum. Kontroversi pun bermunculan dan bahkan ada konflik sosial dalam perjalanannya.
Sebagai perangkat kerja daerah yang membidangi transportasi, Dishubtrans terus berkoordinasi dengan kepolisian lalu lintas, pakar transportasi, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), serta stakeholder terkait lainnya.
Dari hasil koordinasi yang dilakukan kemarin di Kantor Dishubtrans DKI Jakarta, Andri menuturkan, operasional angkutan umum berbasis aplikasi tersebut harus tetap mengacu kepada UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Untuk itu, pemilik Go-Jek maupun Grab Bike diminta mengajukan revisi UU No 22/2009 apabila tetap ingin beroperasi.
Bagaimanapun, kendaraan roda dua tidak bisa menjadi angkutan umum apabila UU tersebut belum direvisi. ”Kami tidak bisa meminta Go-Jek atau Grab Bike berhenti beroperasi karena masyarakat masih membutuhkan. Kami akan tertibkan apabila mereka melanggar lalu lintas. Kami minta pemilik aplikasi mengajukan revisi UU No 22/2009 itu ke DPR,” katanya di kantor Dishubtrans DKI Jakarta kemarin.
Adapun terhadap Taksi Uber dan Grab Taxi, Andri meminta pemilik memenuhi tujuh syarat, yakni harus berbadan hukum, punya surat domisili usaha, izin penyelenggaraan, minimal punya lima unit kendaraan, punya pul untuk servis dan perawatan, lolos uji KIR, dan menyiapkan administrasi operasional.
Semua prasyarat tersebut akan dipatenkan dalam surat perjanjian hitam di atas putih agar label izin operasional dapat dikeluarkan. Menurutnya, dengan adanya perjanjian tersebut, pihaknya dapat lebih mudah menertibkan apabila terjadi tindak kejahatan dan sebagainya.
Namun apabila tidak memenuhi prasyarat tersebut dan masih beroperasi, mereka akan ditindak. ”Sejauh ini kedua aplikasi roda empat tersebut belum memenuhi syarat. Kami tidak memberikan batas waktu. Selama tidak memenuhi syarat, ya ditindak,” ungkapnya.
Ketua DTKJ Ellen Tangkudung menuturkan, sejumlah prasyarat yang diberikan terhadap Taksi Uber dan Grab Taxi itu merupakan syarat angkutan pribadi menjadi angkutan umum. Artinya, Taksi Uber dan Grab Taxi bisa beroperasi apabila prasyarat tersebut dipenuhi.
Maraknya teknologi aplikasi berbasis internet, menurut Ellen, dilatarbelakangi tidak adanya layanan angkutan umum sesuai konsep manajemen transportasi yang laik. Dia menilai, keberadaan pelayanan yang mereka berikan tidak menyalahi aturan dan seharusnya dapat diadopsi angkutan umum lainnya, termasuk pengemudi ojek konvensional.
”Teknologi itu, mau nggak mau kita akan ke sana. Zamannya sudah sampai sana. Manajemen transportasi angkutan umum itu di antaranya memberi kemudahan, aman, nyaman, dan tepat waktu. Jadi, tidak ada yang salah apabila layanan aplikasi itu hadir saat ini,” tegasnya.
Khusus Go-Jek atau Grab Bike, Ellen menyarankan, operasional mereka diizinkan sementara, mengingat masyarakat masih membutuhkan. Nantinya, ketika angkutan umum sudah memenuhi manajemen transportasi angkutan umum yang laik dan terintegrasi, kedua perusahaan ojek tersebut harus ditertibkan.
Alasannya, 70% kecelakaan di Jakarta dan menyebabkan orang meninggal adalah kendaraan roda dua. ”Saya pribadi tidak setuju UU No 22/2009 direvisi untuk mengakomodir kendaraan roda dua. Namun kami meminta, selama beroperasi layanan aplikasi Go-Jek atau Grab Bike memberikan asuransi kepada pengemudi ataupun penumpangnya,” jelasnya.
Marketing Manager Grab Bike Kiki Rizki menegaskan, pihaknya siap memenuhi prasyarat yang diberikan Dishubtrans agar layanan aplikasi Grab Taxi dapat beroperasi. Menurutnya, sejauh ini beberapa syarat telah dipenuhi. Namun, dia enggan menyebutkan prasyarat apa yang belum dipenuhi.
”Ya ada satu syarat, tapi nanti akan kita penuhi. Kami segera lakukan hitam di atas putih seperti yang diminta Kadishubtrans,” ungkapnya. Rizki pun menjelaskan, bahwa saat ini pihaknya telah memberikan asuransi kepada pengemudi dan penumpang Grab Bike.
Dia juga menegaskan, rekrutmen yang dilakukan memprioritaskan para tukang ojek konvensional. Tentunya dengan pembinaan dan peraturan, mengingat banyak pengemudi ojek konvensional yang tidak mengerti teknologi smartphone. ”Sebagian besar pengemudi kami adalah ojek konvensional. Banyak dari mereka yang sudah bisa mengerti penggunaan handphone setelah diberikan pembinaan,” ujarnya.
CEO PT Go-Jek Indonesia Nadiem Makarim menuturkan, pihaknya akan fokus mengajukan revisi UU No 22/2009. Menurutnya, operasional ojek di Indonesia saat ini harus ada perlindungan hukum. Apabila tidak ada perlindungan hukum, jutaan ojek di Indonesia akan hilang dan pengemudi ojek akan kehilangan pekerjaan.
”Bayangkan kalau tidak ada ojek, kasihan mereka. Bagaimana kita hidup. Harus ada perlindungan hukum yang menyatakan itu (ojek) valid. Ini bukan masalah Go-Jek saja, tapi bagi semua ojek. Saya representasi bagi ojek di seluruh Indonesia. Go-Jek sama ojek sama, samasama Go-Jek. Kalau mau ikut, saya yang akan memelopori,” tegasnya.
Sambil menunggu proses pengajuan revisi hingga dapat mengakomodir ojek, Nadiem akan berkoordinasi dengan kepolisian terkait tata tertib dan memastikan kedisiplinan pengemudi pada peraturan lalu lintas.
Sayangnya, dia tidak menyebutkan bagaimana mengatasi konflik sosial antara ojek konvensional yang kerap menimpa pengemudi Go-Jek. ”Kami akan terus berkoordinasi dengan kepolisian untuk membuat aturan dan tata tertib berlalu lintas,” tandasnya.
Bima setiyadi
Kepala Dinas Perhubungan dan Transportasi (Dishubtrans) DKI Jakarta Andri Yansyah mengatakan, saat ini teknologi aplikasi Android telah memasuki layanan angkutan umum. Kontroversi pun bermunculan dan bahkan ada konflik sosial dalam perjalanannya.
Sebagai perangkat kerja daerah yang membidangi transportasi, Dishubtrans terus berkoordinasi dengan kepolisian lalu lintas, pakar transportasi, Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ), serta stakeholder terkait lainnya.
Dari hasil koordinasi yang dilakukan kemarin di Kantor Dishubtrans DKI Jakarta, Andri menuturkan, operasional angkutan umum berbasis aplikasi tersebut harus tetap mengacu kepada UU No 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Untuk itu, pemilik Go-Jek maupun Grab Bike diminta mengajukan revisi UU No 22/2009 apabila tetap ingin beroperasi.
Bagaimanapun, kendaraan roda dua tidak bisa menjadi angkutan umum apabila UU tersebut belum direvisi. ”Kami tidak bisa meminta Go-Jek atau Grab Bike berhenti beroperasi karena masyarakat masih membutuhkan. Kami akan tertibkan apabila mereka melanggar lalu lintas. Kami minta pemilik aplikasi mengajukan revisi UU No 22/2009 itu ke DPR,” katanya di kantor Dishubtrans DKI Jakarta kemarin.
Adapun terhadap Taksi Uber dan Grab Taxi, Andri meminta pemilik memenuhi tujuh syarat, yakni harus berbadan hukum, punya surat domisili usaha, izin penyelenggaraan, minimal punya lima unit kendaraan, punya pul untuk servis dan perawatan, lolos uji KIR, dan menyiapkan administrasi operasional.
Semua prasyarat tersebut akan dipatenkan dalam surat perjanjian hitam di atas putih agar label izin operasional dapat dikeluarkan. Menurutnya, dengan adanya perjanjian tersebut, pihaknya dapat lebih mudah menertibkan apabila terjadi tindak kejahatan dan sebagainya.
Namun apabila tidak memenuhi prasyarat tersebut dan masih beroperasi, mereka akan ditindak. ”Sejauh ini kedua aplikasi roda empat tersebut belum memenuhi syarat. Kami tidak memberikan batas waktu. Selama tidak memenuhi syarat, ya ditindak,” ungkapnya.
Ketua DTKJ Ellen Tangkudung menuturkan, sejumlah prasyarat yang diberikan terhadap Taksi Uber dan Grab Taxi itu merupakan syarat angkutan pribadi menjadi angkutan umum. Artinya, Taksi Uber dan Grab Taxi bisa beroperasi apabila prasyarat tersebut dipenuhi.
Maraknya teknologi aplikasi berbasis internet, menurut Ellen, dilatarbelakangi tidak adanya layanan angkutan umum sesuai konsep manajemen transportasi yang laik. Dia menilai, keberadaan pelayanan yang mereka berikan tidak menyalahi aturan dan seharusnya dapat diadopsi angkutan umum lainnya, termasuk pengemudi ojek konvensional.
”Teknologi itu, mau nggak mau kita akan ke sana. Zamannya sudah sampai sana. Manajemen transportasi angkutan umum itu di antaranya memberi kemudahan, aman, nyaman, dan tepat waktu. Jadi, tidak ada yang salah apabila layanan aplikasi itu hadir saat ini,” tegasnya.
Khusus Go-Jek atau Grab Bike, Ellen menyarankan, operasional mereka diizinkan sementara, mengingat masyarakat masih membutuhkan. Nantinya, ketika angkutan umum sudah memenuhi manajemen transportasi angkutan umum yang laik dan terintegrasi, kedua perusahaan ojek tersebut harus ditertibkan.
Alasannya, 70% kecelakaan di Jakarta dan menyebabkan orang meninggal adalah kendaraan roda dua. ”Saya pribadi tidak setuju UU No 22/2009 direvisi untuk mengakomodir kendaraan roda dua. Namun kami meminta, selama beroperasi layanan aplikasi Go-Jek atau Grab Bike memberikan asuransi kepada pengemudi ataupun penumpangnya,” jelasnya.
Marketing Manager Grab Bike Kiki Rizki menegaskan, pihaknya siap memenuhi prasyarat yang diberikan Dishubtrans agar layanan aplikasi Grab Taxi dapat beroperasi. Menurutnya, sejauh ini beberapa syarat telah dipenuhi. Namun, dia enggan menyebutkan prasyarat apa yang belum dipenuhi.
”Ya ada satu syarat, tapi nanti akan kita penuhi. Kami segera lakukan hitam di atas putih seperti yang diminta Kadishubtrans,” ungkapnya. Rizki pun menjelaskan, bahwa saat ini pihaknya telah memberikan asuransi kepada pengemudi dan penumpang Grab Bike.
Dia juga menegaskan, rekrutmen yang dilakukan memprioritaskan para tukang ojek konvensional. Tentunya dengan pembinaan dan peraturan, mengingat banyak pengemudi ojek konvensional yang tidak mengerti teknologi smartphone. ”Sebagian besar pengemudi kami adalah ojek konvensional. Banyak dari mereka yang sudah bisa mengerti penggunaan handphone setelah diberikan pembinaan,” ujarnya.
CEO PT Go-Jek Indonesia Nadiem Makarim menuturkan, pihaknya akan fokus mengajukan revisi UU No 22/2009. Menurutnya, operasional ojek di Indonesia saat ini harus ada perlindungan hukum. Apabila tidak ada perlindungan hukum, jutaan ojek di Indonesia akan hilang dan pengemudi ojek akan kehilangan pekerjaan.
”Bayangkan kalau tidak ada ojek, kasihan mereka. Bagaimana kita hidup. Harus ada perlindungan hukum yang menyatakan itu (ojek) valid. Ini bukan masalah Go-Jek saja, tapi bagi semua ojek. Saya representasi bagi ojek di seluruh Indonesia. Go-Jek sama ojek sama, samasama Go-Jek. Kalau mau ikut, saya yang akan memelopori,” tegasnya.
Sambil menunggu proses pengajuan revisi hingga dapat mengakomodir ojek, Nadiem akan berkoordinasi dengan kepolisian terkait tata tertib dan memastikan kedisiplinan pengemudi pada peraturan lalu lintas.
Sayangnya, dia tidak menyebutkan bagaimana mengatasi konflik sosial antara ojek konvensional yang kerap menimpa pengemudi Go-Jek. ”Kami akan terus berkoordinasi dengan kepolisian untuk membuat aturan dan tata tertib berlalu lintas,” tandasnya.
Bima setiyadi
(ftr)