Pemerintah Harus Dorong Investasi
A
A
A
JAKARTA - Perlambatan pertumbuhan ekonomi harus segera direspons pemerintah dengan kebijakan yang cepat dan tepat. Salah satunya dengan mendorong masuknya investasi ke Indonesia.
”Investasi harus masuk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya,” ujar Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo (HT) di Jakarta kemarin. Dia menuturkan, demi mendorong masuknya investasi, Indonesia harus memiliki iklim investasi yang kondusif, peraturan yang jelas, dan perencanaan ekonomi yang baik.
Karena itu, pemerintah harus menempatkan agenda perbaikan iklim investasi sebagai prioritas utama. Seperti diberitakan, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II/2015 mengecewakan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartalII/2015 hanya sebesar 4,67% atau melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,72%. Angka tersebut tercatat sebagai yang terendah dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Banyak kalangan khawatir, perlambatan ekonomi akan menyebabkan lonjakan angka pengangguran. HT menilai perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menyulitkan masyarakat bawah lantaran daya belinya semakin tergerus di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sebab kebutuhan pokok yang sebagian besar dipenuhi dari impor mengalami kenaikan harga akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Kebutuhan dimaksud antara lain susu, daging, kedelai, beras, jagung, dan garam. Selain investasi, langkah lain yang harus dilakukan adalah mendorong perbankan untuk menggenjot kredit ke sektor produktif, bukan konsumtif. Sektor produktif seperti UMKM harus menjadi prioritas. ”Mereka (UMKM) membutuhkan modal murah dan mudah,” kata HT.
Setelah kedua hal tersebut dilakukan dan ekonomi membaik, langkah selanjutnya adalah menurunkan suku bunga sebesar 0,25%. Namun kebijakan ini tidak boleh dilakukan sekarang karena akan memicu aliran modal ke luar Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Andi Rukman Karumpa mengatakan, pemerintah perlu bersinergi dengan bank sentral untuk meredam laju pelemahan rupiah. Saat ini pelaku usaha di sektor konstruksi belum melihat jurus jitu kebijakan fiskal dan moneter menghadapi gejolak perekonomian global.
”Kalau masalah eksternal masih menjadi alasan, seharusnya instrumen dan kebijakan yang kuat dikeluarkan untuk mendorong pasar domestik, terutama dalam meningkatkan permintaan dalam negeri,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah segera merealisasi stimulus-stimulus yang bisa mendorong dunia usaha. Begitu pula penyerapan anggaran perlu digenjot lagi, terutama di daerah. ”Presiden perlu mengambil suatu kebijakan yang dapat mendorong confidence dan rasa aman bagi kepala daerah dalam mengambil kebijakan dan inisiatif. Sebab perekonomian kita masih sangat ditopang oleh anggaran pemerintah,” ucapnya.
Kalangan usaha pelayaran melalui Indonesia National Shipowner Associations (INSA) menyatakan, sejak akhir tahun lalu INSA sudah menyampaikan bahwa kapalkapal nasional tidak banyak yang beroperasi karena situasi ekonomi yang melambat. ”Pelayaran saat ini sedang berada pada periode bertahan. Kalau tidak kuat ya mau tak mau gulung tikar,” kata Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA.
Menurut dia, pemerintah harus memberikan insentif fiskal, mempercepat proyek infrastruktur maupun insentif lain untuk mendorong perekonomian. ”Pemerintah harusnya peduli pada sektor pelayaran. Kami sudah mengajukan kebijakankebijakan yang dibutuhkan untuk menolong kondisi ini. Tapi ini butuh respons cepat juga agar ekonomi sektor pelayaran bisa pulih kembali,” ucapnya.
Optimistis Lebih Tinggi
Terpisah, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardjo meyakini pertumbuhan ekonomi pada semester II/2015 akan lebih tinggi dibandingkan dengan semester I/2015. Dia pun masih optimistis pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun sesuai dengan perkiraan BI 5-5,4%.
”Kemarin memang kami prediksi kuartal II sama seperti kuartal I. Kami harapkan kuartal III dan kuartal IV bisa di atas 5%,” ujarnya. Agus mengatakan, laju ekonomi pada semester II/2015 akan terdorong oleh belanja pemerintah yang pada semester sebelumnya masih minim.
Menurut dia, belanja tersebut akan cepat bergulir karena perubahan nomenklatur di kementerian/ lembaga tak lagi menjadi penghambat. ”Kami harapkan dari government spending . Begitu juga dengan konsumsi. Kuartal ke depan sepertinya sektor jasa dan informasi yang akan mendorong,” imbuhnya.
Dia menambahkan, pemerintah pusat dan daerah juga perlu berkonsolidasi untuk mempercepat realisasi anggaran yang masih mengendap di daerah. Selain itu, efektivitas anggaran juga perlu diperhatikan. ”Jadi tidak terjadi kebocoran atau tidak tepat sasaran,” katanya.
Adapun pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto pesimistis pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun bisa di atas 5%. Dia mengatakan, pemerintah gagal memanfaatkan momentum sehingga pertumbuhan ekonomi triwulanII/2015tidaklebihbaik dari triwulan I/2015.
Dia pun menilai belanja pemerintah, baik belanja rutin maupun belanja modal, dalam jangka pendek tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena hanya akan memengaruhi konsumsi pemerintah dan sektor konstruksi saja. Dengan kata lain, efek pengganda yang diharapkan pun tidak akan dirasakan dengan cepat.
”Saya kira tahun ini (pertumbuhan ekonomi) di bawah 5%,” tambahnya. Eko juga mengingatkan, meski belanja pemerintah bisa menjadi potensi pendorong pertumbuhan, tekanan eksternal akan lebih besar terjadi pada semester II/2015. Sinyal The Fed menaikkan suku bunga acuan pada September tahun ini dinilai Eko akan mengganggu belanja modal pemerintah yang mengandalkan impor.
Cadangan Devisa Turun
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juli 2015 tercatat sebesar USD107,6 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2015 yang USD108,0 miliar.
Perkembangan tersebut disebabkan peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. ”Di sisi lain, kenaikan penerimaan devisa yang bersumber dari penerbitan Euro Bond pemerintah mampu menahan penurunan lebih lanjut,” ujarnya.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut Tirta, posisi cadangan devisa per akhir Juli 2015 masih cukup membiayai 7,0 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Kunthi fahmar sandy/ Rahmat fiansyah/ Ichsan amin
”Investasi harus masuk secepat-cepatnya dan sebanyak-banyaknya,” ujar Ketua Umum Partai Perindo, Hary Tanoesoedibjo (HT) di Jakarta kemarin. Dia menuturkan, demi mendorong masuknya investasi, Indonesia harus memiliki iklim investasi yang kondusif, peraturan yang jelas, dan perencanaan ekonomi yang baik.
Karena itu, pemerintah harus menempatkan agenda perbaikan iklim investasi sebagai prioritas utama. Seperti diberitakan, kinerja perekonomian nasional pada kuartal II/2015 mengecewakan.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartalII/2015 hanya sebesar 4,67% atau melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 4,72%. Angka tersebut tercatat sebagai yang terendah dalam kurun waktu enam tahun terakhir.
Banyak kalangan khawatir, perlambatan ekonomi akan menyebabkan lonjakan angka pengangguran. HT menilai perlambatan pertumbuhan ekonomi akan menyulitkan masyarakat bawah lantaran daya belinya semakin tergerus di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sebab kebutuhan pokok yang sebagian besar dipenuhi dari impor mengalami kenaikan harga akibat pelemahan nilai tukar rupiah.
Kebutuhan dimaksud antara lain susu, daging, kedelai, beras, jagung, dan garam. Selain investasi, langkah lain yang harus dilakukan adalah mendorong perbankan untuk menggenjot kredit ke sektor produktif, bukan konsumtif. Sektor produktif seperti UMKM harus menjadi prioritas. ”Mereka (UMKM) membutuhkan modal murah dan mudah,” kata HT.
Setelah kedua hal tersebut dilakukan dan ekonomi membaik, langkah selanjutnya adalah menurunkan suku bunga sebesar 0,25%. Namun kebijakan ini tidak boleh dilakukan sekarang karena akan memicu aliran modal ke luar Indonesia.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi) Andi Rukman Karumpa mengatakan, pemerintah perlu bersinergi dengan bank sentral untuk meredam laju pelemahan rupiah. Saat ini pelaku usaha di sektor konstruksi belum melihat jurus jitu kebijakan fiskal dan moneter menghadapi gejolak perekonomian global.
”Kalau masalah eksternal masih menjadi alasan, seharusnya instrumen dan kebijakan yang kuat dikeluarkan untuk mendorong pasar domestik, terutama dalam meningkatkan permintaan dalam negeri,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah segera merealisasi stimulus-stimulus yang bisa mendorong dunia usaha. Begitu pula penyerapan anggaran perlu digenjot lagi, terutama di daerah. ”Presiden perlu mengambil suatu kebijakan yang dapat mendorong confidence dan rasa aman bagi kepala daerah dalam mengambil kebijakan dan inisiatif. Sebab perekonomian kita masih sangat ditopang oleh anggaran pemerintah,” ucapnya.
Kalangan usaha pelayaran melalui Indonesia National Shipowner Associations (INSA) menyatakan, sejak akhir tahun lalu INSA sudah menyampaikan bahwa kapalkapal nasional tidak banyak yang beroperasi karena situasi ekonomi yang melambat. ”Pelayaran saat ini sedang berada pada periode bertahan. Kalau tidak kuat ya mau tak mau gulung tikar,” kata Carmelita Hartoto, Ketua Umum INSA.
Menurut dia, pemerintah harus memberikan insentif fiskal, mempercepat proyek infrastruktur maupun insentif lain untuk mendorong perekonomian. ”Pemerintah harusnya peduli pada sektor pelayaran. Kami sudah mengajukan kebijakankebijakan yang dibutuhkan untuk menolong kondisi ini. Tapi ini butuh respons cepat juga agar ekonomi sektor pelayaran bisa pulih kembali,” ucapnya.
Optimistis Lebih Tinggi
Terpisah, Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardjo meyakini pertumbuhan ekonomi pada semester II/2015 akan lebih tinggi dibandingkan dengan semester I/2015. Dia pun masih optimistis pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun sesuai dengan perkiraan BI 5-5,4%.
”Kemarin memang kami prediksi kuartal II sama seperti kuartal I. Kami harapkan kuartal III dan kuartal IV bisa di atas 5%,” ujarnya. Agus mengatakan, laju ekonomi pada semester II/2015 akan terdorong oleh belanja pemerintah yang pada semester sebelumnya masih minim.
Menurut dia, belanja tersebut akan cepat bergulir karena perubahan nomenklatur di kementerian/ lembaga tak lagi menjadi penghambat. ”Kami harapkan dari government spending . Begitu juga dengan konsumsi. Kuartal ke depan sepertinya sektor jasa dan informasi yang akan mendorong,” imbuhnya.
Dia menambahkan, pemerintah pusat dan daerah juga perlu berkonsolidasi untuk mempercepat realisasi anggaran yang masih mengendap di daerah. Selain itu, efektivitas anggaran juga perlu diperhatikan. ”Jadi tidak terjadi kebocoran atau tidak tepat sasaran,” katanya.
Adapun pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listianto pesimistis pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun bisa di atas 5%. Dia mengatakan, pemerintah gagal memanfaatkan momentum sehingga pertumbuhan ekonomi triwulanII/2015tidaklebihbaik dari triwulan I/2015.
Dia pun menilai belanja pemerintah, baik belanja rutin maupun belanja modal, dalam jangka pendek tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi karena hanya akan memengaruhi konsumsi pemerintah dan sektor konstruksi saja. Dengan kata lain, efek pengganda yang diharapkan pun tidak akan dirasakan dengan cepat.
”Saya kira tahun ini (pertumbuhan ekonomi) di bawah 5%,” tambahnya. Eko juga mengingatkan, meski belanja pemerintah bisa menjadi potensi pendorong pertumbuhan, tekanan eksternal akan lebih besar terjadi pada semester II/2015. Sinyal The Fed menaikkan suku bunga acuan pada September tahun ini dinilai Eko akan mengganggu belanja modal pemerintah yang mengandalkan impor.
Cadangan Devisa Turun
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, posisi cadangan devisa Indonesia akhir Juli 2015 tercatat sebesar USD107,6 miliar, lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2015 yang USD108,0 miliar.
Perkembangan tersebut disebabkan peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa dalam rangka stabilisasi nilai tukar rupiah. ”Di sisi lain, kenaikan penerimaan devisa yang bersumber dari penerbitan Euro Bond pemerintah mampu menahan penurunan lebih lanjut,” ujarnya.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut Tirta, posisi cadangan devisa per akhir Juli 2015 masih cukup membiayai 7,0 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Kunthi fahmar sandy/ Rahmat fiansyah/ Ichsan amin
(ftr)