Buku Kurikulum Tak Merata
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah akan memantau distribusi buku kurikulum 2013 sebab masih ada sekolah yang belum menerimanya.
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan, tahun pelajaran 2015/- 2016 sudah dimulai sejak 27 Juli. Namun, masih banyak sekolah yang belum menerima buku kurikulum.
Masalah tersebut terjadi lantaran masalah manajemen perusahaan pemenang lelang. ”Berdasarkan kontrak dengan perusahaan percetakan pemenang lelang, batas akhir buku tiba di sekolah adalah 10 Juli 2015. Kami akan turunkan tim untuk memantau distribusi buku di lapangan,” katanya di Kantor Kemendikbud kemarin.
Berdasarkan data dari Ditjen Dikdasmen, untuk tingkat sekolah dasar (SD) ada 2.515 sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013. Sebanyak 2.245 sekolah (89%) sudah menerima lengkap semua buku Kurikulum 2013. Sedangkan 243 sekolah (10%) sudah menerima, namun tidak lengkap, dan 27 sekolah (1%) belum menerima sama sekali.
Hamid mengungkapkan, untuk sekolah menengah pertama (SMP), sasaran buku kurikulum ditujukan untuk 1.421 sekolah. Ada 1.416 sekolah yang sudah terima lengkap atau sekitar 99% dan lima sekolah sisanya belum menerima sama sekali yaitu hanya 0,6%. Sementara tidak ada sekolah yang tercatat sudah menerima, namun tidak lengkap.
Sedangkan tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), semua sekolah sudah menerima buku Kurikulum 2013. Hanya, ada sekolah yang sudah menerima lengkap dan ada yang belum. Dari 1.184 SMA yang menggunakan Kurikulum 2013, 963 di antaranya (81%) sudah menerima lengkap, dan 221 sekolah (19%) belum lengkap menerimanya.
Di tingkat SMK terdapat 1.000 sekolah sasaran Kurikulum 2013. Sebanyak 748 sekolah (75%) sudah menerima lengkap dan 252 sekolah (25%) belum menerima lengkap buku Kurikulum 2013. Ketua Komisi X DPR Teuku Rifky Harsya berpendapat, jangan sampai penerapan kurikulum ini sebagai ajang kelinci percobaan bagi siswa dan guru.
Ditambah lagi ada kerugian negara yang minimalnya sudah mencapai Rp2 triliun untuk keperluan pelatihan dan percetakan buku terkait pemberlakuan Kurikulum 2013. Komisi X mengaku telah mengunjungi tidak kurang dari lima provinsi, termasuk Provinsi Jawa Barat, untuk mengetahui dan bertemu langsung dengan pemerintah daerah, PGRI, orang tua murid, siswa, dan berbagai macam stakeholder terkait persoalan Kurikulum 2013 ini.
Rifki mengatakan, upaya tersebut membawa harapan agar permasalahan kurikulum dapat diselesaikan secara teknis. Kurikulum dalam implementasinya masih terdapat kendala-kendala teknis karena ada permasalahan sarana-prasarana yang belum siap.
Selain itu, faktor kebiasaan guru terhadap sistem baru dalam mengajar, termasuk tata cara penilaiannya. ”Tapi, kami melihat ini permasalahan teknis. Permasalahan teknis itu diselesaikan secara teknis, bukan dengan perubahan kebijakan yang mundur ke delapan tahun yang lalu,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo berpendapat, nasib Kurikulum 2013 seperti semula diduga oleh PGRI mengalami banyak masalah dalam implementasinya.
Selain kesiapan buku guru dan siswa yang kedodoran, juga dipicu dengan kerangka pikir Kurikulum 2013 yang sukar dipahami guru, metode pembelajaran yang direkomendasikan susah diterapkan, desain pelatihan guru tidak efektif, evaluasi yang sangat membebani telah melahirkan semacam malapetaka bagi kebanyakan sekolah.
Menurut dia, problem implementasi Kurikulum 2013 bukanlah berkisar pada persoalan teknis implementatif semata. Lebih daripada itu, kesukaran tersebut merupakan lanjutan dari inkoherensi berbagai unsur dalam substansi yang seringkali diklaim bagus oleh para pembuatnya.
Neneng zubaidah
Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hamid Muhammad mengatakan, tahun pelajaran 2015/- 2016 sudah dimulai sejak 27 Juli. Namun, masih banyak sekolah yang belum menerima buku kurikulum.
Masalah tersebut terjadi lantaran masalah manajemen perusahaan pemenang lelang. ”Berdasarkan kontrak dengan perusahaan percetakan pemenang lelang, batas akhir buku tiba di sekolah adalah 10 Juli 2015. Kami akan turunkan tim untuk memantau distribusi buku di lapangan,” katanya di Kantor Kemendikbud kemarin.
Berdasarkan data dari Ditjen Dikdasmen, untuk tingkat sekolah dasar (SD) ada 2.515 sekolah yang menggunakan Kurikulum 2013. Sebanyak 2.245 sekolah (89%) sudah menerima lengkap semua buku Kurikulum 2013. Sedangkan 243 sekolah (10%) sudah menerima, namun tidak lengkap, dan 27 sekolah (1%) belum menerima sama sekali.
Hamid mengungkapkan, untuk sekolah menengah pertama (SMP), sasaran buku kurikulum ditujukan untuk 1.421 sekolah. Ada 1.416 sekolah yang sudah terima lengkap atau sekitar 99% dan lima sekolah sisanya belum menerima sama sekali yaitu hanya 0,6%. Sementara tidak ada sekolah yang tercatat sudah menerima, namun tidak lengkap.
Sedangkan tingkat sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), semua sekolah sudah menerima buku Kurikulum 2013. Hanya, ada sekolah yang sudah menerima lengkap dan ada yang belum. Dari 1.184 SMA yang menggunakan Kurikulum 2013, 963 di antaranya (81%) sudah menerima lengkap, dan 221 sekolah (19%) belum lengkap menerimanya.
Di tingkat SMK terdapat 1.000 sekolah sasaran Kurikulum 2013. Sebanyak 748 sekolah (75%) sudah menerima lengkap dan 252 sekolah (25%) belum menerima lengkap buku Kurikulum 2013. Ketua Komisi X DPR Teuku Rifky Harsya berpendapat, jangan sampai penerapan kurikulum ini sebagai ajang kelinci percobaan bagi siswa dan guru.
Ditambah lagi ada kerugian negara yang minimalnya sudah mencapai Rp2 triliun untuk keperluan pelatihan dan percetakan buku terkait pemberlakuan Kurikulum 2013. Komisi X mengaku telah mengunjungi tidak kurang dari lima provinsi, termasuk Provinsi Jawa Barat, untuk mengetahui dan bertemu langsung dengan pemerintah daerah, PGRI, orang tua murid, siswa, dan berbagai macam stakeholder terkait persoalan Kurikulum 2013 ini.
Rifki mengatakan, upaya tersebut membawa harapan agar permasalahan kurikulum dapat diselesaikan secara teknis. Kurikulum dalam implementasinya masih terdapat kendala-kendala teknis karena ada permasalahan sarana-prasarana yang belum siap.
Selain itu, faktor kebiasaan guru terhadap sistem baru dalam mengajar, termasuk tata cara penilaiannya. ”Tapi, kami melihat ini permasalahan teknis. Permasalahan teknis itu diselesaikan secara teknis, bukan dengan perubahan kebijakan yang mundur ke delapan tahun yang lalu,” katanya.
Sementara itu, Ketua Umum PB Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo berpendapat, nasib Kurikulum 2013 seperti semula diduga oleh PGRI mengalami banyak masalah dalam implementasinya.
Selain kesiapan buku guru dan siswa yang kedodoran, juga dipicu dengan kerangka pikir Kurikulum 2013 yang sukar dipahami guru, metode pembelajaran yang direkomendasikan susah diterapkan, desain pelatihan guru tidak efektif, evaluasi yang sangat membebani telah melahirkan semacam malapetaka bagi kebanyakan sekolah.
Menurut dia, problem implementasi Kurikulum 2013 bukanlah berkisar pada persoalan teknis implementatif semata. Lebih daripada itu, kesukaran tersebut merupakan lanjutan dari inkoherensi berbagai unsur dalam substansi yang seringkali diklaim bagus oleh para pembuatnya.
Neneng zubaidah
(ftr)