Lampu Kuning Ekonomi RI
A
A
A
JAKARTA - Kinerja perekonomian nasional pada kuartal II/2015 mengecewakan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis pertumbuhan ekonomi pada kuartal II/2015 hanya sebesar 4,67% atau melambat dibanding kuartal sebelumnya 4,72%.
Angka tersebut tercatat sebagai yang terendah dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Kondisi ini merupakan lampu kuning bagi perekonomian nasional. Di luar berbagai faktor eksternal, belanja pemerintah yang sebelumnya diharapkan mampu mendorong perekonomian ternyata belum memberikan kontribusi besar.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai, buruknya kinerja pemerintah turut berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. ”Alasannya (pelemahan ekonomi) selalu mitra dagang. Sebenarnya biang keroknya siapa, biang kerok utama itu karena konsumsi pemerintah. Konsumsi pemerintah cuma naik 2,28%,” tutur Enny saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Berdasar data BPS, dari sisi pengeluaran pertumbuhan ekonomi kuartal II/2015 didukung oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,97%, diikuti pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 3,55%, dan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) sebesar 2,28%. Menurut Enny, seharusnya belanja pemerintah bisa meningkat 4-5%.
Minimnya penyerapan anggaran menjadikan pemerintah gagal memberikan stimulus terhadap pergerakan ekonomi. Kepala BPS Suryamin menuturkan, secara kuartal, ekonomi Indonesia pada kuartal II/2015 tumbuh 3,78%. Adapun secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I/2015 mencapai 4,7%.
”Besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku kuartal II/2015 mencapai Rp2.866,9 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.239,3 triliun,” ujar Suryamin. Dia menjelaskan, melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/ 2015 tak terlepas dari imbas perlambatan ekonomi global.
Pemicunya antara lain masih rendahnya harga berbagai komoditas di pasar internasional serta ketidakpastian kondisi pasar keuangan terkait rencana kenaikan suku bunga The Fed. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia juga cenderung stagnan, bahkan melemah.
BPS dalam ringkasannya menyebutkan, pertumbuhan ekonomi juga melambat akibat pertumbuhan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang melambat, terindikasi dari anjloknya penjualan sepeda motor dan mobil serta impor barang konsumsi yang terkontraksi.
Kemudian kendati pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh karena didorong oleh belanja bantuan sosial dan di sisi lain pengeluaran belanja barang mengalami kontraksi. Kendatimelemah, Suryamin menegaskan, Indonesia masih belum masuk pada kategori resesi. ”Resesi itu kalau dua kuartal berturut-turut mengalami penurunan atau pertumbuhan yang negatif,” ungkapnya.
Suryamin menambahkan, pada semester II/2015 masih ada peluang menggenjot belanja modal pemerintah yang tahun ini sebesar Rp275,8triliununtuk menggerakkan perekonomian. Tercatat serapannya hingga semester I/2015 masih kurang dari 10%. Selain itu, sektor manufaktur perlu terus didorong dan memanfaatkan pelemahan nilai tukar rupiah untuk meningkatkan ekspor.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto mengatakan, ada beberapa hal bisa mendongkrak pertumbuhan di antaranya konsumsi rumah tangga yang di kuartal selanjutnya bisa tumbuh tinggi karena Juli bertepatan momen Lebaran. ”Kalau ngomongi konsumsi rumah tangga yang share -nya 55% dan tambahan PMTB yang share - nya 9% itu sudah lumayan,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus bisa menjaga ekspor dan tidak menyerah begitu saja pada kondisi melemahnya negara-negara tujuan ekspor. ”Tetap harus digenjot, bukan hanya diversifikasi produknya, tapi juga kualitasnya. Sebetulnya dengan depresiasi rupiah kita kan punya kesempatan meningkatkan daya saing karena harganya jadi lebih murah,” tuturnya.
Di lain pihak, hal-hal bisa menekan pertumbuhan ekonomi juga harus diwaspadai. Antara lain ancaman Elnino yang dikhawatirkan berdampak pada penurunan produksi sektor pertanian yang kontribusinya pada PDB cukup besar, yaitu 14%. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada semester kedua mencapai 5,3% agar dapat mengompensasi perlambatan yang telah terjadi pada semester pertama.
Pemerintah berharap dari percepatan serapan anggaran, khususnya dari kementerian yang belanjanya masih rendah. Bambang mengatakan, pada semester depan pemerintah akan memantau sejumlah hal prioritas, antara lain di sisi pertumbuhan investasi yang dimotori oleh pihak swasta dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan pengeluaran belanja pada lembaga nonpemerintah melalui agenda pilkada serentak.
”Walau terlihat sulit dan menjadi tantangan berat di tengah kontraksi ekonomi global, kami perlu usaha supaya ada perubahan signifikan,” ujarnya tadi malam. Terlepas dari itu, Bambang mengklaim, turunnya angka pertumbuhan dari 4,72% ke 4,67% masih terkendali, sehingga tidak merosot terlalu jauh jika dibandingkan berbagai negara lainnya. ”Melihat rilis perekonomian kuartal II di Singapura turun menjadi 1,7% dari 2,8%, Korea Selatan dari 2,5% ke 2,2%, Amerika Serikat dari 2,9% ke 2,3%, dan Inggris dari 2,9% ke 2,64%,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo meyakini pertumbuhan ekonomi akan meroket pada semester dua tahun ini meski pada semester satu mengalami perlambatan. ”Jadi seperti yang sudah kita perkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada semester pertama kira-kira 4,7%, ini harapannya mentok,” kata Presiden.
Dia menambahkan, pada semester kedua tahun ini angka pertumbuhan akan meningkat. Hal itu karena terkait dengan serapan anggaran baik APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota. ”Bergeraknya biasa baru pada bulan Juni atau Juli. Mulai agak meroket September-Oktober,” ujarnya.
Selain serapan anggaran, sejumlah hal yang juga dinilainya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di antaranya belanja BUMN dan swasta. Namun, ia tidak menampik bahwa ada pengaruh eksternal memengaruhi ekonomi Indonesia karena di banyak negara lain pun terjadi kondisi serupa.
Ekonom UI, Fithra Faisal melihat kecenderungan pada kuartal selanjutnya akan ada perbaikan pada permintaan domestik. Namun, dia menilai target pertumbuhan 5,2% seperti disampaikan pemerintah masih terlalu optimistis.
Inda susanti/ Rabia edra almira/ Okezone/antara
Angka tersebut tercatat sebagai yang terendah dalam kurun waktu enam tahun terakhir. Kondisi ini merupakan lampu kuning bagi perekonomian nasional. Di luar berbagai faktor eksternal, belanja pemerintah yang sebelumnya diharapkan mampu mendorong perekonomian ternyata belum memberikan kontribusi besar.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai, buruknya kinerja pemerintah turut berkontribusi terhadap melambatnya pertumbuhan ekonomi. ”Alasannya (pelemahan ekonomi) selalu mitra dagang. Sebenarnya biang keroknya siapa, biang kerok utama itu karena konsumsi pemerintah. Konsumsi pemerintah cuma naik 2,28%,” tutur Enny saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Berdasar data BPS, dari sisi pengeluaran pertumbuhan ekonomi kuartal II/2015 didukung oleh komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang tumbuh 4,97%, diikuti pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto (PMTB) 3,55%, dan komponen pengeluaran konsumsi pemerintah (PKP) sebesar 2,28%. Menurut Enny, seharusnya belanja pemerintah bisa meningkat 4-5%.
Minimnya penyerapan anggaran menjadikan pemerintah gagal memberikan stimulus terhadap pergerakan ekonomi. Kepala BPS Suryamin menuturkan, secara kuartal, ekonomi Indonesia pada kuartal II/2015 tumbuh 3,78%. Adapun secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia semester I/2015 mencapai 4,7%.
”Besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku kuartal II/2015 mencapai Rp2.866,9 triliun dan atas dasar harga konstan 2010 mencapai Rp2.239,3 triliun,” ujar Suryamin. Dia menjelaskan, melambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II/ 2015 tak terlepas dari imbas perlambatan ekonomi global.
Pemicunya antara lain masih rendahnya harga berbagai komoditas di pasar internasional serta ketidakpastian kondisi pasar keuangan terkait rencana kenaikan suku bunga The Fed. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi negara mitra dagang Indonesia juga cenderung stagnan, bahkan melemah.
BPS dalam ringkasannya menyebutkan, pertumbuhan ekonomi juga melambat akibat pertumbuhan komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang melambat, terindikasi dari anjloknya penjualan sepeda motor dan mobil serta impor barang konsumsi yang terkontraksi.
Kemudian kendati pengeluaran konsumsi pemerintah tumbuh karena didorong oleh belanja bantuan sosial dan di sisi lain pengeluaran belanja barang mengalami kontraksi. Kendatimelemah, Suryamin menegaskan, Indonesia masih belum masuk pada kategori resesi. ”Resesi itu kalau dua kuartal berturut-turut mengalami penurunan atau pertumbuhan yang negatif,” ungkapnya.
Suryamin menambahkan, pada semester II/2015 masih ada peluang menggenjot belanja modal pemerintah yang tahun ini sebesar Rp275,8triliununtuk menggerakkan perekonomian. Tercatat serapannya hingga semester I/2015 masih kurang dari 10%. Selain itu, sektor manufaktur perlu terus didorong dan memanfaatkan pelemahan nilai tukar rupiah untuk meningkatkan ekspor.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Suhariyanto mengatakan, ada beberapa hal bisa mendongkrak pertumbuhan di antaranya konsumsi rumah tangga yang di kuartal selanjutnya bisa tumbuh tinggi karena Juli bertepatan momen Lebaran. ”Kalau ngomongi konsumsi rumah tangga yang share -nya 55% dan tambahan PMTB yang share - nya 9% itu sudah lumayan,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus bisa menjaga ekspor dan tidak menyerah begitu saja pada kondisi melemahnya negara-negara tujuan ekspor. ”Tetap harus digenjot, bukan hanya diversifikasi produknya, tapi juga kualitasnya. Sebetulnya dengan depresiasi rupiah kita kan punya kesempatan meningkatkan daya saing karena harganya jadi lebih murah,” tuturnya.
Di lain pihak, hal-hal bisa menekan pertumbuhan ekonomi juga harus diwaspadai. Antara lain ancaman Elnino yang dikhawatirkan berdampak pada penurunan produksi sektor pertanian yang kontribusinya pada PDB cukup besar, yaitu 14%. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada semester kedua mencapai 5,3% agar dapat mengompensasi perlambatan yang telah terjadi pada semester pertama.
Pemerintah berharap dari percepatan serapan anggaran, khususnya dari kementerian yang belanjanya masih rendah. Bambang mengatakan, pada semester depan pemerintah akan memantau sejumlah hal prioritas, antara lain di sisi pertumbuhan investasi yang dimotori oleh pihak swasta dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan pengeluaran belanja pada lembaga nonpemerintah melalui agenda pilkada serentak.
”Walau terlihat sulit dan menjadi tantangan berat di tengah kontraksi ekonomi global, kami perlu usaha supaya ada perubahan signifikan,” ujarnya tadi malam. Terlepas dari itu, Bambang mengklaim, turunnya angka pertumbuhan dari 4,72% ke 4,67% masih terkendali, sehingga tidak merosot terlalu jauh jika dibandingkan berbagai negara lainnya. ”Melihat rilis perekonomian kuartal II di Singapura turun menjadi 1,7% dari 2,8%, Korea Selatan dari 2,5% ke 2,2%, Amerika Serikat dari 2,9% ke 2,3%, dan Inggris dari 2,9% ke 2,64%,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo meyakini pertumbuhan ekonomi akan meroket pada semester dua tahun ini meski pada semester satu mengalami perlambatan. ”Jadi seperti yang sudah kita perkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi pada semester pertama kira-kira 4,7%, ini harapannya mentok,” kata Presiden.
Dia menambahkan, pada semester kedua tahun ini angka pertumbuhan akan meningkat. Hal itu karena terkait dengan serapan anggaran baik APBN maupun APBD provinsi dan kabupaten/kota. ”Bergeraknya biasa baru pada bulan Juni atau Juli. Mulai agak meroket September-Oktober,” ujarnya.
Selain serapan anggaran, sejumlah hal yang juga dinilainya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di antaranya belanja BUMN dan swasta. Namun, ia tidak menampik bahwa ada pengaruh eksternal memengaruhi ekonomi Indonesia karena di banyak negara lain pun terjadi kondisi serupa.
Ekonom UI, Fithra Faisal melihat kecenderungan pada kuartal selanjutnya akan ada perbaikan pada permintaan domestik. Namun, dia menilai target pertumbuhan 5,2% seperti disampaikan pemerintah masih terlalu optimistis.
Inda susanti/ Rabia edra almira/ Okezone/antara
(ftr)