Momok Pasal Penghinaan Presiden
A
A
A
PASAL mengenai penghinaan kepada presiden kembali mengusik kenyamanan masyarakat. Pasal tersebut dicantumkan dalam draf revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) ke DPR melalui Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly.
Sebagian masyarakat menganggap aturan ini seperti pasal karet, rawan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaannya. Bahkan sebagian besar masyarakat memandang pasal penghinaan kepada presiden sebagai momok yang menakutkan.
Kekhawatiran ini pernah terjadi di era Orde Baru (Orba). Era kepemimpinan Presiden Soeharto terbukti pasal ini sangat efektif untuk membungkam hak berekspresi dan berpendapat masyarakat.
Bahkan, menampilkan karya seni, dan budaya yang menyinggung penguasa saat itu langsung dijerat dengan pasal tersebut. Pasal ini sangat efektif untuk mendukung kelangsungan rezim ototriter.
Era reformasi, pasal penghinaan ini masih sempat diberlakukan, termasuk di era Megawati Soekarnoputri. Namun, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan itu (154 dan 155 KUHP). MK berpendapat, pasal tersebut berlawanan dengan konstitusi (UUD 1945), yakni kemerdekaan menyatakan pendapat.
Upaya menghidupkan pasal penghinaan kepada presiden, sebelumnya sempat diajukan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Upaya ini dilakukan dengan cara yang sama yaitu mengajukan revisi KUHP ke DPR. Upaya tersebut akhirnya kandas, karena mendapat tentangan dari masyarakat.
Poin menghidupkan kembali pasal penghinaan kepada presiden ini (era SBY) tertuang dalam draf RUU KUHP BAB II bagian kedua pada Pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Sekarang di era Jokowi aturan mengenai penghinaan kepada presiden itu dicantumkan dalam draf revisi KUHP pada Bab II mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bab II pada bagian kedua, Pasal 263 menyebutkan:
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Selanjutnya, Pasal 264 menyebutkan:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Lagi-lagi upaya menghidupkan kembali pasal mengenai penghinaan kepada presiden ini berhasil membangkitkan polemik masyarakat. Bahkan, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menganggap pasal ini bagian upaya Pemerintahan Jokowi untuk membungkam suara kritis. (Baca: Pasal Penghinaan Presiden Dibuat untuk Membungkam).
Sikap penolakan terhadap pasal itu juga datang dari kalangan internal DPR. Upaya Pemerintahan Jokowi menghidupkan pasal tersebut dianggap sebagai sikap kemunduran demokrasi dan sikap antikritik Jokowi. (Baca: DPR Tolak Permintaan Jokowi Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden).
* Draf revisi KUHP yang Diajukan Kepemimpinan Jokowi.
* Draf Revisi KUHP yang Diajukan Kepemimpinan SBY.
Sebagian masyarakat menganggap aturan ini seperti pasal karet, rawan disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaannya. Bahkan sebagian besar masyarakat memandang pasal penghinaan kepada presiden sebagai momok yang menakutkan.
Kekhawatiran ini pernah terjadi di era Orde Baru (Orba). Era kepemimpinan Presiden Soeharto terbukti pasal ini sangat efektif untuk membungkam hak berekspresi dan berpendapat masyarakat.
Bahkan, menampilkan karya seni, dan budaya yang menyinggung penguasa saat itu langsung dijerat dengan pasal tersebut. Pasal ini sangat efektif untuk mendukung kelangsungan rezim ototriter.
Era reformasi, pasal penghinaan ini masih sempat diberlakukan, termasuk di era Megawati Soekarnoputri. Namun, pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabut pasal penghinaan itu (154 dan 155 KUHP). MK berpendapat, pasal tersebut berlawanan dengan konstitusi (UUD 1945), yakni kemerdekaan menyatakan pendapat.
Upaya menghidupkan pasal penghinaan kepada presiden, sebelumnya sempat diajukan era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Upaya ini dilakukan dengan cara yang sama yaitu mengajukan revisi KUHP ke DPR. Upaya tersebut akhirnya kandas, karena mendapat tentangan dari masyarakat.
Poin menghidupkan kembali pasal penghinaan kepada presiden ini (era SBY) tertuang dalam draf RUU KUHP BAB II bagian kedua pada Pasal 265 disebutkan, setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal 266 disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Sekarang di era Jokowi aturan mengenai penghinaan kepada presiden itu dicantumkan dalam draf revisi KUHP pada Bab II mengenai Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Bab II pada bagian kedua, Pasal 263 menyebutkan:
(1) Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
(2) Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Selanjutnya, Pasal 264 menyebutkan:
Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Lagi-lagi upaya menghidupkan kembali pasal mengenai penghinaan kepada presiden ini berhasil membangkitkan polemik masyarakat. Bahkan, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menganggap pasal ini bagian upaya Pemerintahan Jokowi untuk membungkam suara kritis. (Baca: Pasal Penghinaan Presiden Dibuat untuk Membungkam).
Sikap penolakan terhadap pasal itu juga datang dari kalangan internal DPR. Upaya Pemerintahan Jokowi menghidupkan pasal tersebut dianggap sebagai sikap kemunduran demokrasi dan sikap antikritik Jokowi. (Baca: DPR Tolak Permintaan Jokowi Hidupkan Pasal Penghinaan Presiden).
* Draf revisi KUHP yang Diajukan Kepemimpinan Jokowi.
* Draf Revisi KUHP yang Diajukan Kepemimpinan SBY.
(kur)