Pasal Penghinaan Presiden Ancam Demokrasi

Rabu, 05 Agustus 2015 - 08:42 WIB
Pasal Penghinaan Presiden...
Pasal Penghinaan Presiden Ancam Demokrasi
A A A
JAKARTA - Upaya pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menuai kritik tajam. Langkah tersebut dinilai kemunduran demokrasi yang akan mengancam daya kritis masyarakat.

Kritik tersebut disampaikan secara terpisah oleh Ketua DPR Setya Novanto, Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Fahri Hamzah, Ketua MPR Zulkifli Hasan, serta pengamat hukum tata Negara Margarito Kamis. ”Wacana dihidupkannya kembali pasal penghinaan presiden sebaiknya dikaji kembali agar keputusannya baik bagi semua. Prinsip equality before the law, bahwa semua warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum, hendaknya kita hormati,” kata Novanto di Jakarta, kemarin.

Apalagi, substansi pasal tersebut juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 lalu karena dianggap mengekang kehidupan demokrasi, sehingga usulan tersebut benar-benar harus dikaji ulang. Novanto mengatakan, masyarakat dapat menyampaikan aspirasi maupun kritiknya, tetapi sebaiknya dilakukan dengan cara konstruktif, saling menghormati, dansantun.

”Intidari demokrasi adalah saling menghormati. Lembaga negara seperti lembaga kepresidenan maupun DPR adalah simbol negara, dan lembaga negara tersebut bekerja sepenuhnya untuk rakyat,” ujarnya.

Seperti diketahui, pasal penghinaan presiden sebelumnya telah dibekukan MK pada 6 Desember 2006 No.013-022/PUU-IV/2006. Dalam putusannya, MK menyatakan pasal penghinaan presiden/wakil presiden bertentangan dengan konstitusi. Tidak hanya menghapus pasal penghinaan presiden dalam KUHP, MK juga memerintahkan pemerintah dan DPR menghapus norma itu dari RUU KUHP.

Menurut MK, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHP masih memuat pasal-pasal seperti pasal 134, pasal 136 bis, dan pasal 137.

Pasal-pasal tersebut juga menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Dalam Pasal 134 KUHP disebutkan penghinaan dengan sengaja terhadap presiden dan wakil presiden dihukum dengan hukuman penjara selamalamanya enam tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp4.500.

Sementara dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 disebutkan setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden, dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Ayat 2 menyatakan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Yang dimaksud dengan ”menghina” adalah perbuatan apa pun yang menyerang nama baik atau martabat presiden atau wakil presiden di muka umum. Termasuk penghinaan adalah menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

Sementara dalam Pasal 264 RUU KUHP disebutkan, setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan penjara paling lama lima tahu atau denda paling banyak kategori IV.

Tak Layak Diajukan Lagi

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, karena sudah dibatalkan oleh MK, tidak selayaknya pemerintah mengusulkan kembali pasal itu. ”Jika Presiden mengusulkan lagi pasal penghinaan presiden, sama saja Presiden membuat aturan yang bertentangan dengan konstitusi sesuai keputusan MK. Presiden harus taati keputusan MK,” ungkapnya.

Menurut Fadli, dari segi substansi kenapa pasal tersebut dibatalkan pada 2006 lalu tentu MK mempunyai alasan yang kuat, sebab dalam pasal penghinaan presiden memang tidak jelas batasan mengenai definisi penghinaan sehingga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum.

Karena itu, usulan pemerintah memasukkan kembali pasal penghinaan presiden itu ke dalam RUU KUHP dianggap sebagai suatu kemunduran hukum di Indonesia. ”Pasal tersebut tak boleh masuk KUHP dan harus dicabut,” tegasnya.

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah juga berpendapat serupa. Dia mengungkapkan, upaya menghidupkan kembali pasal dan norma hukum yang telah dibatalkan MK adalah sebuah langkah mundur. Terlebih jika itu dalam kaitan antara publik dan presiden karena keberadaan pasal tersebut memang bisa mengekang suara-suara kritis. ”Jadi, serangan publik kepada presiden harus dibiarkan sebagai cara untuk memaksa pejabat negara memperbaiki diri terhadap berbagai kelemahannya,” katanya.

Ketua MPR Zulkifli Hasan juga menilai kurang tepat dihidupkan kembali pasal penghinaan presiden karena akan dilihat sebagai upaya membatasi kritik. Apalagi, katadia, pasal tersebut sudah dibatalkan oleh MK sehingga pembuat UU dalam hal ini pemerintah dan DPR tentu juga harus memperhatikannya. ”Saya kira kurang tepat. Sekarang kan zamannya kritik itu sesuatu yang biasa. Saya pernah didemo 72 hari juga tidak apaapa,” katanya.

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan dimasukkannya kembali pasal penghinaan terhadap presiden atau pasal subversif adalah kemunduran bagi demokrasi. Menurut dia, pasal tersebut akan mengembalikan posisi Indonesia seperti ketika era Orde Baru di mana tidak ada kebebasan berbicara dan tidak ada demokrasi. ”Semua yang telah dihasilkan dan diperjuangkan sejak Reformasi akan hilang. Reformasi yang berdarah-darah seperti tidak dihargai lagi,” katanya.

Menurut Margarito, pasal penghinaan terhadap presiden akan sangat mudah dimanfaatkan untuk mengintimidasi rakyatnya. Karena itu, jika dihidupkan kembali pasal tersebut akan melegalkan presiden untuk mengkriminalisasi rakyatnya.

Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, rencana memasukkan pasal penghinaan presiden sebagai tindakan yang inkonstitusional.”Pasal itu sudah pernah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Desember 2006 yang menyidangkan perkara Nomor 013/PUU-IV/2006,” kata Hendardi.

Dia mengatakan bahwa norma yang sudah dibatalkan MK tidak boleh diambil kembali menjadi sebuah norma dalam undang-undang baru. ”Bila dipaksakan dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum sekaligus pelanggaran terhadap Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” tuturnya.

Menurut dia, keinginan untuk menghidupkan kembali pasal tersebut merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap konstitusi. Hal itu menunjukkan ketidakpahaman pemerintah terhadap praktik ketatanegaraan Indonesia.

Proteksi bagi Masyarakat yang Kritis

Bagaimana komentar pemerintah? Presiden Jokowi menegaskan, pengajuan pasal penghinaan ini baru masih dalam rancangan ke anggota DPR. Dia menilai pasal ini untuk memproteksi masyarakat yang kritis dan masyarakat yang ingin melakukan pengawasan untuk tidak dibawa ke pasal-pasal karet.

”Jangan dibalik-balik (pengertiannya) kamu, ya, ini justru memproteksi. Jadi yang ingin mengkritisi, ingin memberikan pengawasan, ingin memberikan koreksi ya silakan, jangan sampai nanti ada yang membawa ke pasal karet,” tandas Jokowi.

Penghidupan pasal ini juga menurutnya sangat penting mengingat presiden sebagai simbol negara. Sebagai kepala negara, Presiden Jokowi mengaku sudah terbiasa mendapat ejekan, cemoohan, cacian, dan makian sejak menjabat sebagai wali kota Surakarta dan gubernur DKI Jakarta. ”Kalau saya mau, itu bisa saja dipidanakan, bisa dipidanakan. Tapi sampai detik ini, hal tersebut kan tidak saya lakukan. Tetapi apa pun, negara kita ini kan negara yang penuh kesantunan,” tambahnya.

Adapun Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly mengatakan, pasal penghinaan presiden yang masuk dalam RUU KUHP berbeda dengan yang dibatalkan MK pada 2006 lalu.

Pasalnya, pasal yang ada dalam RUU KUHP nantinya akan terkategori pada delik aduan. ”Sehingga apabila presiden mengalami penghinaan maka presiden bertindak sebagaimana masyarakat pada umumnya, yaitu tetap mengajukan pengaduan kepada kepolisian untuk diproses berdasar pasal penghinaan,” katanya.

Dia menambahkan, dalam pasal delik aduan ini bukanlah seperti delik biasa yang ada pada pasal sebelumnya. Yasonna memastikan pasal itu nantinya akan tetap masuk dalam RUU KUHP yang saat ini tengah digali oleh DPR dan Kemenkumham.

Staf Komunikasi Presiden Bidang Politik Teten Masduki mengatakan, alasan pemerintah kembali menghidupkan pasal ini adalah untuk mengontrol siapa pun yang melakukan kritik pemerintah dengan benar dan membedakan dengan fitnah.

Menurut Teten, RUU ini juga pernah diajukan oleh pemerintahan yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2012 lalu, namun sampai saat ini pembahasan tersebut belum tuntas dan dikembalikan lagi ke pemerintah. ”Kemudian oleh Menkumham dan DPR diputuskan untuk masuk dalam Prolegnas 2015. Jadi secara substansi, sebenarnya hampir sama dengan yang diusulkan oleh pemerintahan lalu (SBY),” ujar Teten di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta.

Menurut dia, yang ada di KUHP saat ini merupakan pasal karet, siapa pun bisa dikenakan bergantung pada interpretasi penegakhukum.” Nah, kalauyangdi RUU yang baru itu pasalnya lebih jelas, supaya tadi misalnya, mereka yang melakukan kontrol terhadap pemerintah demi kepentingan umum tidak dikenakan pidana. Tetapi kalau penghinaan, misalnya fitnah, itu bisa dikenakan (pidana),” jelasnya.

Rahmat sahid/ Kiswondari/Rarasati syarief/ant
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0682 seconds (0.1#10.140)