Ruang Lega Tanpa Sekat
A
A
A
Memiliki rumah besar dengan ruang yang luas dan tanpa banyak sekat sudah menjadi keinginan Edy Suandi Hamid sejak lama.
Latar belakang keluarga serta ukuran rumah orangtua yang serupa, menjadi inspirasi lelaki asal Tanjung Enim, Sumatera Selatan, ini untuk membuat konsep hunian yang demikian.
Dengan memanfaatkan lahan seluas 630 meter persegi (m2) serta luas bangunan 403 m2, Edy begitu piawai membagibagi area rumahnya yang terdiri dari dua lantai menjadi beberapa ruang yang sesuai dengan kebutuhan.
Ada ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang keluarga, delapan kamar tidur, satu kamar utama yang terkoneksi dengan ruang kerja, ruang makan yang berdampingan dengan dapur, ruang serbaguna yang sering dijadikan tempat ibadah, ruang santai untuk berolahraga, garasi, tiga kamar mandi, ruang jemuran, dan kolam. Sementara di lantai dua, terdapat gudang dan balkon yang bisa pula dijadikan tempat bersantai untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi.
”Keluarga saya dulu relatif besar, baik jumlah maupun ukuran rumahnya. Kebetulan saya berasal dari Tanjung Enim. Di sana (rumah) luas, bahkan ayah saya punya kolam yang besar. Itu mewarnai pikiran saya, bagaimana bisa membangun rumah untuk kumpul keluarga. Kepada keluarga saya selalu bilang, ini rumah kita, bukan rumah saya,” kata Edy kepada KORAN SINDO di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Perihal konsep bangunan, lanjut mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) ini, tidak secara gamblang menganut konsep tertentu. Hanya, bangunan semi-minimalis ini pada dasarnya lebih menekankan pada ruangan yang luas dengan sirkulasi udara serta tata pencahayaan yang alami tanpa menggunakan energi listrik berlebihan. Hal ini ditunjukkan melalui keberadaan ruang tamu dan ruang keluarga yang tak dibatasi sekat dan bisa pula berubah fungsi menjadi ruang pertemuan keluarga maupun kolega.
Kemudian plafon tinggi dan banyaknya pintu maupun ventilasi udara, yang memberikan ruang bagi udara untuk keluar-masuk secara leluasa. Begitu pula dengan penggunaan material kaca, yang kian mendukung pengadaan tata cahaya alami untuk rumah yang dibangun sejak 1995 ini. ”Untuk konsep, sebenarnya saya tidak begitu mengerti tentang arsitektur. Namun, saat itu kepada tukang bangunan saya cuma menekankan dua hal, yakni supaya udara lancar dengan plafon tinggi serta pada siang hari tidak memakai lampu, tak terlihat bertingkat, dan berusaha tidak mencolok,” jelas Edy.
Menurut bapak lima anak ini, butuh waktu tidak sebentar untuk membangun rumah, mengingat rumah yang berada kawasan Karangwaru Lor, Yogyakarta, tersebut dibuat dari uang hasil keringat Edy sendiri. Bangunannya disesuaikan dengan lahan yang tersedia. ”Awalnya ingin buat joglo bentuk limas, tapi tidak memadai karena tanah tak cukup dan duit juga pas-pasan. Sebagai seorang ekonom, saya juga mesti berhitung, karena dari sisi gaji tidak mencukupi. Dengan meminjam uang dari bank selama lima tahun, jadi masih bisa mencicil,” kata dia.
Di sisi lain, meski Edy telah sepenuhnya percaya pada kemampuan tukang, ada tiga hal prinsip yang dijadikan pertimbangan dalam proses pembangunan rumah ini. Pertama, rumah mesti nyaman untuk istirahat maupun layak ditinggali oleh keluarga dengan ruang kamar yang besar dan luas. Ini juga tidak lepas dari kegemaran Edy, yaitu beristirahat dan berlama- lama di kamar.
Kedua, rumah bisa berfungsi sebagai tempat kerja yang enak mengingat profesinya sebagai dosen. Makanya, di ruangan ini dibenamkan lemari buku/dokumen yang menyatu dengan dinding. Selain sebagai ruang kerja, ruang yang terkoneksi dengan kamar utama ini bisa berfungsi pula untuk menerima tamu maupun mahasiswa yang ingin berkonsultasi.
Ketiga, selain menjadi tempat kumpul bersama keluarga, rumah ini pun harus bisa menjadi tempat mengobrol atau rapat dengan kolega, mengingat Edy sendiri masih aktif dalam berbagai organisasi perguruan tinggi. Di samping lukisan, karya kaligrafi, dan foto keluarga yang terpajang di berbagai sudut rumah, Edy juga menempatkan sejumlah suvenir yang didapatkannya dari kunjungan ke beberapa daerah yang ada di Indonesia maupun luar negeri.
”Saya sejak dulu suka bepergian, dan tiap pergi selalu beli suvenir di tempatnya langsung. Seperti tembok Berlin, patung Liberty, Big Bang, dan sebagainya. Ada sensasi tersendiri dan suka nostalgia. Saya selalu teringat dengan segala tempat yang pernah dikunjungi. Dan, kalau kembali lagi, saya selalu mendatangi lokasi-lokasi yang dulu pernah saya kunjungi,” ungkap kakek tiga cucu ini.
Walau sering mengunjungi berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri, Edy tetap sangat merindukan rumahnya. Setiap ada kesempatan libur, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar tidur utama. Entah untuk beristirahat ataupun bercengkerama dengan istri dan anak-cucu. Maka itu, Guru Besar Ekonomi UII ini selalu menekankan supaya kamar dibuat lebih besar, enak, dan nyaman.
Perihal desain interior rumah dan segala isinya, Edy menyerahkan sepenuhnya kepada Emy Rohayati, sang istri. Interior rumah ini banyak dihiasi dengan keramik dan furnitur lokal, juga warna-warna netral seperti putih dan hijau yang memberikan kesan teduh. Putih diusung karena dinilai cocok dipadukan dengan beragam perabot kayu berwarna cokelat yang memang banyak terdapat di dalam rumah.
”Untuk interior, pertimbangannya lebih enak dipandang saja. Membayangkan, kemudian menatanya sendiri, meski dengan kemampuan saya yang terbatas. Yang terpenting ketika siang hari tidak banyak menggunakan lampu. Hijau juga saya gunakan untuk ruang tamu, karena warnanya teduh,” timpal Emy.
Meski demikian, Edy dan Emy membebaskan empat putri dan satu putranya untuk mengisi serta mendekorasi kamar masingmasing. Seperti kamar para putri mereka yang banyak dihiasi warna pink dan ungu. Sementara, kamar sang putra lebih didominasi warna biru.
Siti estuningsih
Latar belakang keluarga serta ukuran rumah orangtua yang serupa, menjadi inspirasi lelaki asal Tanjung Enim, Sumatera Selatan, ini untuk membuat konsep hunian yang demikian.
Dengan memanfaatkan lahan seluas 630 meter persegi (m2) serta luas bangunan 403 m2, Edy begitu piawai membagibagi area rumahnya yang terdiri dari dua lantai menjadi beberapa ruang yang sesuai dengan kebutuhan.
Ada ruang tamu yang langsung terhubung dengan ruang keluarga, delapan kamar tidur, satu kamar utama yang terkoneksi dengan ruang kerja, ruang makan yang berdampingan dengan dapur, ruang serbaguna yang sering dijadikan tempat ibadah, ruang santai untuk berolahraga, garasi, tiga kamar mandi, ruang jemuran, dan kolam. Sementara di lantai dua, terdapat gudang dan balkon yang bisa pula dijadikan tempat bersantai untuk menikmati pemandangan Gunung Merapi.
”Keluarga saya dulu relatif besar, baik jumlah maupun ukuran rumahnya. Kebetulan saya berasal dari Tanjung Enim. Di sana (rumah) luas, bahkan ayah saya punya kolam yang besar. Itu mewarnai pikiran saya, bagaimana bisa membangun rumah untuk kumpul keluarga. Kepada keluarga saya selalu bilang, ini rumah kita, bukan rumah saya,” kata Edy kepada KORAN SINDO di kediamannya, beberapa waktu lalu.
Perihal konsep bangunan, lanjut mantan rektor Universitas Islam Indonesia (UII) ini, tidak secara gamblang menganut konsep tertentu. Hanya, bangunan semi-minimalis ini pada dasarnya lebih menekankan pada ruangan yang luas dengan sirkulasi udara serta tata pencahayaan yang alami tanpa menggunakan energi listrik berlebihan. Hal ini ditunjukkan melalui keberadaan ruang tamu dan ruang keluarga yang tak dibatasi sekat dan bisa pula berubah fungsi menjadi ruang pertemuan keluarga maupun kolega.
Kemudian plafon tinggi dan banyaknya pintu maupun ventilasi udara, yang memberikan ruang bagi udara untuk keluar-masuk secara leluasa. Begitu pula dengan penggunaan material kaca, yang kian mendukung pengadaan tata cahaya alami untuk rumah yang dibangun sejak 1995 ini. ”Untuk konsep, sebenarnya saya tidak begitu mengerti tentang arsitektur. Namun, saat itu kepada tukang bangunan saya cuma menekankan dua hal, yakni supaya udara lancar dengan plafon tinggi serta pada siang hari tidak memakai lampu, tak terlihat bertingkat, dan berusaha tidak mencolok,” jelas Edy.
Menurut bapak lima anak ini, butuh waktu tidak sebentar untuk membangun rumah, mengingat rumah yang berada kawasan Karangwaru Lor, Yogyakarta, tersebut dibuat dari uang hasil keringat Edy sendiri. Bangunannya disesuaikan dengan lahan yang tersedia. ”Awalnya ingin buat joglo bentuk limas, tapi tidak memadai karena tanah tak cukup dan duit juga pas-pasan. Sebagai seorang ekonom, saya juga mesti berhitung, karena dari sisi gaji tidak mencukupi. Dengan meminjam uang dari bank selama lima tahun, jadi masih bisa mencicil,” kata dia.
Di sisi lain, meski Edy telah sepenuhnya percaya pada kemampuan tukang, ada tiga hal prinsip yang dijadikan pertimbangan dalam proses pembangunan rumah ini. Pertama, rumah mesti nyaman untuk istirahat maupun layak ditinggali oleh keluarga dengan ruang kamar yang besar dan luas. Ini juga tidak lepas dari kegemaran Edy, yaitu beristirahat dan berlama- lama di kamar.
Kedua, rumah bisa berfungsi sebagai tempat kerja yang enak mengingat profesinya sebagai dosen. Makanya, di ruangan ini dibenamkan lemari buku/dokumen yang menyatu dengan dinding. Selain sebagai ruang kerja, ruang yang terkoneksi dengan kamar utama ini bisa berfungsi pula untuk menerima tamu maupun mahasiswa yang ingin berkonsultasi.
Ketiga, selain menjadi tempat kumpul bersama keluarga, rumah ini pun harus bisa menjadi tempat mengobrol atau rapat dengan kolega, mengingat Edy sendiri masih aktif dalam berbagai organisasi perguruan tinggi. Di samping lukisan, karya kaligrafi, dan foto keluarga yang terpajang di berbagai sudut rumah, Edy juga menempatkan sejumlah suvenir yang didapatkannya dari kunjungan ke beberapa daerah yang ada di Indonesia maupun luar negeri.
”Saya sejak dulu suka bepergian, dan tiap pergi selalu beli suvenir di tempatnya langsung. Seperti tembok Berlin, patung Liberty, Big Bang, dan sebagainya. Ada sensasi tersendiri dan suka nostalgia. Saya selalu teringat dengan segala tempat yang pernah dikunjungi. Dan, kalau kembali lagi, saya selalu mendatangi lokasi-lokasi yang dulu pernah saya kunjungi,” ungkap kakek tiga cucu ini.
Walau sering mengunjungi berbagai daerah di Indonesia maupun luar negeri, Edy tetap sangat merindukan rumahnya. Setiap ada kesempatan libur, ia lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar tidur utama. Entah untuk beristirahat ataupun bercengkerama dengan istri dan anak-cucu. Maka itu, Guru Besar Ekonomi UII ini selalu menekankan supaya kamar dibuat lebih besar, enak, dan nyaman.
Perihal desain interior rumah dan segala isinya, Edy menyerahkan sepenuhnya kepada Emy Rohayati, sang istri. Interior rumah ini banyak dihiasi dengan keramik dan furnitur lokal, juga warna-warna netral seperti putih dan hijau yang memberikan kesan teduh. Putih diusung karena dinilai cocok dipadukan dengan beragam perabot kayu berwarna cokelat yang memang banyak terdapat di dalam rumah.
”Untuk interior, pertimbangannya lebih enak dipandang saja. Membayangkan, kemudian menatanya sendiri, meski dengan kemampuan saya yang terbatas. Yang terpenting ketika siang hari tidak banyak menggunakan lampu. Hijau juga saya gunakan untuk ruang tamu, karena warnanya teduh,” timpal Emy.
Meski demikian, Edy dan Emy membebaskan empat putri dan satu putranya untuk mengisi serta mendekorasi kamar masingmasing. Seperti kamar para putri mereka yang banyak dihiasi warna pink dan ungu. Sementara, kamar sang putra lebih didominasi warna biru.
Siti estuningsih
(ars)