Arti Kunjungan Cameron

Rabu, 29 Juli 2015 - 08:54 WIB
Arti Kunjungan Cameron
Arti Kunjungan Cameron
A A A
Dua hari lalu saya menghadiri sebuah pertemuan bisnis antara para pengusaha Inggris dengan perwakilan pengusaha Indonesia di Sekretariat ASEAN.

Pertemuan tersebut seiring dengan kunjungan Perdana Menteri David Cameron ke Indonesia. Sambil para pebisnis berdiskusi, Cameron menemui para petinggi diplomasi dari negaranegara ASEAN. Tujuannya tidak lainadalahmembicarakanupaya peningkatan hubungan ekonomi antara Inggris dan ASEAN.

Ada beberapa catatan yang mungkin menarik untuk kita lihat perkembangannya dalam beberapa tahun ke depan. Pertama, para pelaku usaha dari Inggris ingin mengadakan kerja sama perdagangan melalui satu pintu, yaitu ASEAN. Mereka mengharapkan bahwa dengan bertemupara perwakilanASEAN, tawaran kerja sama dapat otomatis bergulir dari negara-negara anggota ASEAN.

Tentu hal ini mengejutkan banyak orang yang hadir karena kita semua tahu, ASEAN bukan seperti Masyarakat Uni Eropa yang homogen dan bisa bergerak satu langkah dalam kerja sama perdagangan dengan negara lain. Otonomi negara anggota ASEAN lebih kuat daripada ASEAN itu sendiri sehingga sulit untuk melakukan kebijakan satu pintu. Saya tidak paham apakah pandangan tersebut dilandasi kurangnya informasi atau memang mereka meyakini bahwa “satu pintu” ekonomi ASEAN dapat terwujud.

Di sisi lain pernyataan ini mungkinjugadisebabkanInggris merasa bahwa perdagangan antara Eropa dan ASEAN kalah cepat dibandingkan antara ASEAN dengan China atau ASEAN dengan Jepang. China, misalnya, terlihat dengan jelas telah menanam investasi dimana-mana dan produk- produk mereka pun sudah masuk ke pasar ASEAN, termasuk ke jaringan pasarkaki lima hingga pasar gelap.

Inggris mengetahui bahwa bila perjanjian perdagangan antara Eropa dan ASEAN dapat berjalan mulus, ada potensi keuntungan ekonomi sebesar 3 miliar poundsterling per tahun bagi Inggris (Guardian, 27/7/2015). Sayangnya ini masih mimpi. Kedua, Perdana Menteri Inggris berkunjung dengan membawa serta lebih dari 30 pimpinan perusahaan asal Inggris yang sebagian besar bergerak di industri teknologi, infrastruktur, keuangan, dan energi yang terbarukan. Ini adalah sinyal strategi Inggris untuk tidak menggantungkan diri pada pasar Eropa.

Hal ini bisa saja terkait dengan rencana Cameron yang telah berjanji dalam kampanyenya bahwa pemerintahannya akan bertanya kepada masyarakat Inggris melalui referendum apakah mereka tetap akan berada di dalam Masyarakat Uni Eropa (UE) atau keluar sama sekali. Walaupun Cameron memilih untuk bertahan di dalam masyarakat UE, ia mesti menghadapi kenyataan dua pertiga dari anggota partai yang memenangkan dirinya sebagai perdana menteri lebih memilih untuk keluar dari UE.

Di sisi lain, kunjungannya ke Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lain bisa disimpulkan demi meningkatkan daya tawar atau memberi tekanan kepada UE agar melakukan reformasi.

Beberapa “paket reformasi” yang selalu ia komunikasikan dengan para pemimpin Eropa lain di antaranya: mengizinkanInggrisuntuk tidak mengikuti ambisi UE “mempererat union“ masyarakat Eropa, membatasi akses tunjangan pekerja bagi migran-migran UE, memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen nasional untuk menghadang/ menolak legislasi UE, membebaskan bisnis dari rumitnya birokrasi dan “campur tangan berlebihan” dari Brussels, serta menyediakan akses bagi pasarpasar baru melalui “cara cepat” mengembangkan kesepakatan perdagangan bebas dengan Amerika dan Asia (BBC, 13/5/2015).

Cameron sudah mengancam sejak jauh-jauh hari bahwa kalau reformasi itu tidak disetujui, ia tidak mau berkampanye agar Inggris tetap di dalam Masyarakat Eropa. Langkah Perdana Menteri Inggris untuk menyiapkan pasar seandainya Inggris nanti benarbenar ingin keluar dari Masyarakat UE patut kita ambil hikmahnya. Ia sebagai perdana menteri telah mempersiapkan pemerintahannya untuk tidak hanya mandiri, tetapi juga mampu bersaing dengan negaranegara anggota UE lain dalam merebut pasar di Asia.

Menarik bahwa Cameron merasa perlu melakukan langkah agresif karena negara-negara lain seperti China atau India sudah mulai masuk bersaing merebut “keunggulan komparatif” bangsa-bangsa Eropa yang selama ini menguasai pasar produk-produk dengan nilai tambah tinggi seperti teknologi informasi, pesawat terbang, mesin-mesin, teknologi energi terbarukan, komunikasi, dan sebagainya.

Ecaterina Stanculescu (2014) memaparkan bahwa dalam kategori tersebut, ekspor Eropa ke pasar internasional lebih rendah dibandingkan dengan ekspor China di sektor yang sama. Ekspor Eropa ke pasar internasional pada 2007 hanya USD268 miliar, sedangkan China USD338,4 miliar. Di tahun 2012, Eropa hanya USD350,7 miliar, China mampu mencapai USD592,2 miliar.

“Kekalahan” Eropa itu tidak hanya di pasar internasional, tetapi juga dalam hubungan perdagangan antara Eropa dan China itu sendiri. Tahun 2007, produk teknologi tinggi yang diekspor dari Eropa ke China senilai USD18,3 miliar, sedangkan mereka mengimpor USD80,8 miliar dari China. Defisit ini juga terjadi di tahun 2012 di mana Eropa dapat meningkatkan nilai ekspor menjadi USD30,3 miliar, tetapi juga mengimpor lebih banyak, yakni senilai USD111,6 miliar.

Di sisi lain, langkah China untuk masuk dalam kompetisi pasar teknologi tinggi mungkin didorong rasa nasionalisme yang tinggi pula untuk maju sebagai negara besar. Tapi hal yang paling penting adalah prediksi bahwa mata uang mereka, Renminbi, mungkin akan menguat dalam beberapa tahun ke depan. Apabila Renminbi menguat, industri ekspor China akan kalah bersaing. Oleh sebab itu, penting bagi China untuk menghasilkan produk teknologi tinggi agar mereka mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dengan biaya produksi yang lebih ekonomis.

Apabila China tidak segera mengembangkan industri-industri padat teknologi yang mampu memproduksi produk-produk yang dibutuhkan pasar, mereka akan kehilangan momentum tersebut. Fakta-fakta tersebutlah yang membuat Inggris tampaknya jauh lebih “rasional” menghadapi tantangan pasar ke depan dibandingkan dengan negara anggota Eropa lain. Bagi Indonesia, langkah Inggris itu bisa bermanfaat bagi kita untuk meningkatkan daya tawar kita kepada China juga.

Di sisi lain, kita, khususnya politisi, aktivis, dan birokrat/ birokrasi, perlu belajar dari China dan Inggris bahwa kebijakan politik dan ekonomi harus benarbenar diperhitungkan dengan baik. Konsolidasi politik yang cukup baik dan membuat pasar stabil harus menjadi modal pemerintah ke depan untuk memikirkan langkah-langkah strategis.

Inggris dan China adalah duanegara dengansistempolitik yang bertolak belakang, tetapi mereka bisa melakukan manuver politik ekonomi yang akan menguntungkan generasi mereka di masa depan. Bagaimana dengan Indonesia? ?

Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional, Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0681 seconds (0.1#10.140)