Fenomena Arousal dan Pilkada Serentak
A
A
A
Awal Desember 2015 kita bakal menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Soal tanggalnya belum ditetapkan. Bisa 2 Desember atau 9 Desember. Pilkada ini untuk memilih kepala daerah yang habis masa jabatannya pada Desember 2015 atau Januari—Juni 2016.
Dengan memperhitungkan itu, pilkada serentak ini akan dilakukan di sembilan provinsi dan 260 kabupaten/ kota. Artinya, masyarakat kita akan memilih sembilan gubernur baru dan 260 bupati atau wali kota baru. Persiapan untuk itu terus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di media massa kita membaca ada upaya-upaya untuk menggagalkan pilkada serentak ini.
Kabarnya, ini dilakukan oleh partai-partai politik yang mengalami perpecahan dan terjadi dualisme kepengurusan. Amunisi mereka untuk menggagalkan pilkada serentak adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan KPU yang dinilai wajar tanpa pengecualian. Sesuai audit BPK, ada 14 temuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp34 miliar.
Berdasarkan ini, sekelompok orang yang partainya ikut terpecah di DPR menjadikan temuan itu seakan-akan KPU tidak memiliki integritas untuk menyelenggarakan pilkada. Itu sebabnya mereka ingin pilkada serentak pada Desember 2015 ditunda. Tapi, agaknya tak banyak pihak yang mendukung gagasan kelompok anggota DPR tersebut. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Pilkada serentak sampai saat ini kelihatannya tetap bakal digelar pada Desember 2015.
Nyali untuk Maju
Jika benar, pilkada serentak itu tentu menjadi kabar gembira bagi rakyat. Sudah bukan rahasia lagi dengan ada pilkada, banyak uang akan mengalir ke daerah. Sebagian untuk membeli atribut kampanye, sebagian lainnya untuk membeli suara rakyat. Sayangnya, memang masih banyak rakyat kita yang suaranya bisa dibeli. Soal program, bagi mereka tak penting-penting amat.
Elitenya pun suka melakukanpembenaransaja, bukan kebenaran. Mereka juga tidak sepenuhnya mengerti dengan janji-janji kampanye. Kita mulai sering menerima berita yang saling memutarbalikkan kebenaran. Yang benar dikatakan pencitraan, sedangkan yang ngawur merasa paling benar dan membuat rakyat bingung.
Jumlah uang yang beredar ini tidak sedikit. Menurut data Bank Indonesia, pada Pemilu 2014 jumlah uang yang beredar diperkirakan mencapai Rp6 triliun. Saya kira angka ini masih terlalu sedikit. Untuk periode pilkada di Sulawesi Utara selama 17 Juli sampai 3 Agustus 2010—terhitung sejak masa kampanye hingga pencoblosan suara—menurut perwakilan Bank Indonesia di Manado, jumlah uang yang beredar mencapai Rp1 triliun.
Ini hanya untuk satu provinsi. Baiklah, kita tak usah terlalu mempersoalkan itu. Intinya, ada pilkada berarti ada uang yang mengalir ke daerah. Ini tentu positif bagi daerah yang bersangkutan. Tapi, selain masalah itu, saya sejatinya terus terkagum-kagum dengan mereka yang masih punya nyali untuk maju menjadi calon kepala daerah. Apa sebetulnya yang mereka harapkan? Perubahankah?
Bukankah itu bunyi janji terbanyak? Alih-alih melakukan perubahan, sebenarnya hidup para kepala daerah saat ini justru dalam cengkeraman bahaya. Bahaya kriminalisasi, perubahan gaya hidup, penghancuran sumber daya alam, konflik, ancaman serangan terhadap keluarga, cyber attack, dan seterusnya. Saya kebetulan sedang melakukan kajian tentang leadership kepala daerah dan hasilnya memang tak jauh dari ancaman bahaya itu.
Bayangkan, sebagian besar calon kepala daerah masih tidak jera melihat kolega-koleganya yang masuk bui tersangkut perkara korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sampai 2013 saja sudah ada 290 kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati atau wali kota, yang berstatus tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam kasus korupsi. Itu artinya lebih dari separuh kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Lalu, mengapa mereka tidak jera juga?
Arousal
Selama bertahun-tahun, Rumah Perubahan yang saya dirikan menjadi tempat pelatihan bagi aparat-aparat pemerintah di daerah yang ingin melakukan transformasi. Baik transformasi cara berpikir maupun berperilaku. Intinya, para aparat itu ingin mereka tetap sanggup mengimbangi perubahan lingkungannya yang terjadi begitu cepat. Bahkan semakin lama semakin cepat.
Tapi, di luar itu selama bertahun- tahun pula Rumah Perubahan telah menjadi semacam tempat curhat, bagi para pelaku perubahan, termasuk kepalakepala daerah, yang merasa dirinya dizalimi. Adayangmerasa ditelikung oleh bawahannya. Ada yang merasa dikhianati oleh partai politik pendukungnya. Belum lagi ancaman impeachment yang datang bertubi-tubi. Kemudian rakyatnya pun semakin cerewet.
Mereka semakin banyak menurut dan sebagainya. Lalu, dengan kondisi semacam itu, apa menariknya menjadi seorang kepala daerah? Mengapa peminatnya ternyata juga tak kunjung berkurang? Dalam dunia psikologi dikenal istilah arousal . Ini adalah semacam gejala psikologis yang ketika menerima ancaman risiko, seseorang justru begitu bergairah, tertarik, tertantang untuk terus maju.
Padahal, dia tahu persis di depan ada bahaya yang menghadang. Pada tahap-tahap tertentu, manusia membutuhkan arousal. Ini semacam stress , tetapi punya dampak yang positif dan potensial untuk mendorong peningkatan kinerja. Jadi semacam good stress. Kalau dalam industri media, mungkin seperti para wartawannya baru mulai bisa menulis ketika deadline sudah dekat. Kemampuan setiap orang untuk menahan stress, termasuk good stress , jelas berbeda-beda.
Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang penjudi. Ada yang keringat dinginnya sudah mengucur deras meski baru bertaruh senilai Rp10 juta. Tapi, ada pula yang tetap santai meski nilai taruhannya sudah Rp10 miliar. Tapi, kalau tubuh terus dipacu, sementara daya tahannya tidak pernah ditingkatkan, stress yang kita alami bisa berakibat macam-macam. Mulai dari keletihan yang luar biasa, sampai pada akhirnya memicu timbulnya beragam penyakit.
Orang awam seperti kita dapat merasakan gejala-gejala datangnya arousal. Misalnya, degup jantung yang semakin cepat, kulit berkeringat, tekanan darah meningkat, napas yang mulai terengah-engah. Gejala-gejala sepertiinibiasanya munculkalau kita menghadapi ancaman. Dalam situasi seperti itu, kadang situasi bisa berbalik. Sifat ganas kita bisa muncul untuk mengalahkan ancaman tadi.
Fenomena semacam inilah yang mungkin dirasakan pula oleh para calon kepala daerah. Mereka merasakan bahwa di sana ada pertarungan. Gairah pun bangkit untuk memenangkan pertarungan. Sifat ganas pun muncul ketika kita menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan.
Mereka yang di dalam, yang terlibat langsung dalam pertarungan, mungkin tidak merasakannya. Tapi, kita yang di luar dan menyaksikannya dengan jantung yang berdegup, merasakan ngeri yang luar biasa. Mau-maunya mereka bertarung habis-habisan, sampai berdarah-darah. Jadi, apa sebetulnya yang mereka harapkan?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
Dengan memperhitungkan itu, pilkada serentak ini akan dilakukan di sembilan provinsi dan 260 kabupaten/ kota. Artinya, masyarakat kita akan memilih sembilan gubernur baru dan 260 bupati atau wali kota baru. Persiapan untuk itu terus dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di media massa kita membaca ada upaya-upaya untuk menggagalkan pilkada serentak ini.
Kabarnya, ini dilakukan oleh partai-partai politik yang mengalami perpecahan dan terjadi dualisme kepengurusan. Amunisi mereka untuk menggagalkan pilkada serentak adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap laporan keuangan KPU yang dinilai wajar tanpa pengecualian. Sesuai audit BPK, ada 14 temuan dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 yang mengakibatkan kerugian negara hingga Rp34 miliar.
Berdasarkan ini, sekelompok orang yang partainya ikut terpecah di DPR menjadikan temuan itu seakan-akan KPU tidak memiliki integritas untuk menyelenggarakan pilkada. Itu sebabnya mereka ingin pilkada serentak pada Desember 2015 ditunda. Tapi, agaknya tak banyak pihak yang mendukung gagasan kelompok anggota DPR tersebut. Ibarat anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Pilkada serentak sampai saat ini kelihatannya tetap bakal digelar pada Desember 2015.
Nyali untuk Maju
Jika benar, pilkada serentak itu tentu menjadi kabar gembira bagi rakyat. Sudah bukan rahasia lagi dengan ada pilkada, banyak uang akan mengalir ke daerah. Sebagian untuk membeli atribut kampanye, sebagian lainnya untuk membeli suara rakyat. Sayangnya, memang masih banyak rakyat kita yang suaranya bisa dibeli. Soal program, bagi mereka tak penting-penting amat.
Elitenya pun suka melakukanpembenaransaja, bukan kebenaran. Mereka juga tidak sepenuhnya mengerti dengan janji-janji kampanye. Kita mulai sering menerima berita yang saling memutarbalikkan kebenaran. Yang benar dikatakan pencitraan, sedangkan yang ngawur merasa paling benar dan membuat rakyat bingung.
Jumlah uang yang beredar ini tidak sedikit. Menurut data Bank Indonesia, pada Pemilu 2014 jumlah uang yang beredar diperkirakan mencapai Rp6 triliun. Saya kira angka ini masih terlalu sedikit. Untuk periode pilkada di Sulawesi Utara selama 17 Juli sampai 3 Agustus 2010—terhitung sejak masa kampanye hingga pencoblosan suara—menurut perwakilan Bank Indonesia di Manado, jumlah uang yang beredar mencapai Rp1 triliun.
Ini hanya untuk satu provinsi. Baiklah, kita tak usah terlalu mempersoalkan itu. Intinya, ada pilkada berarti ada uang yang mengalir ke daerah. Ini tentu positif bagi daerah yang bersangkutan. Tapi, selain masalah itu, saya sejatinya terus terkagum-kagum dengan mereka yang masih punya nyali untuk maju menjadi calon kepala daerah. Apa sebetulnya yang mereka harapkan? Perubahankah?
Bukankah itu bunyi janji terbanyak? Alih-alih melakukan perubahan, sebenarnya hidup para kepala daerah saat ini justru dalam cengkeraman bahaya. Bahaya kriminalisasi, perubahan gaya hidup, penghancuran sumber daya alam, konflik, ancaman serangan terhadap keluarga, cyber attack, dan seterusnya. Saya kebetulan sedang melakukan kajian tentang leadership kepala daerah dan hasilnya memang tak jauh dari ancaman bahaya itu.
Bayangkan, sebagian besar calon kepala daerah masih tidak jera melihat kolega-koleganya yang masuk bui tersangkut perkara korupsi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Menurut data Kementerian Dalam Negeri, sampai 2013 saja sudah ada 290 kepala daerah, mulai dari gubernur, bupati atau wali kota, yang berstatus tersangka, terdakwa, sampai terpidana dalam kasus korupsi. Itu artinya lebih dari separuh kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Lalu, mengapa mereka tidak jera juga?
Arousal
Selama bertahun-tahun, Rumah Perubahan yang saya dirikan menjadi tempat pelatihan bagi aparat-aparat pemerintah di daerah yang ingin melakukan transformasi. Baik transformasi cara berpikir maupun berperilaku. Intinya, para aparat itu ingin mereka tetap sanggup mengimbangi perubahan lingkungannya yang terjadi begitu cepat. Bahkan semakin lama semakin cepat.
Tapi, di luar itu selama bertahun- tahun pula Rumah Perubahan telah menjadi semacam tempat curhat, bagi para pelaku perubahan, termasuk kepalakepala daerah, yang merasa dirinya dizalimi. Adayangmerasa ditelikung oleh bawahannya. Ada yang merasa dikhianati oleh partai politik pendukungnya. Belum lagi ancaman impeachment yang datang bertubi-tubi. Kemudian rakyatnya pun semakin cerewet.
Mereka semakin banyak menurut dan sebagainya. Lalu, dengan kondisi semacam itu, apa menariknya menjadi seorang kepala daerah? Mengapa peminatnya ternyata juga tak kunjung berkurang? Dalam dunia psikologi dikenal istilah arousal . Ini adalah semacam gejala psikologis yang ketika menerima ancaman risiko, seseorang justru begitu bergairah, tertarik, tertantang untuk terus maju.
Padahal, dia tahu persis di depan ada bahaya yang menghadang. Pada tahap-tahap tertentu, manusia membutuhkan arousal. Ini semacam stress , tetapi punya dampak yang positif dan potensial untuk mendorong peningkatan kinerja. Jadi semacam good stress. Kalau dalam industri media, mungkin seperti para wartawannya baru mulai bisa menulis ketika deadline sudah dekat. Kemampuan setiap orang untuk menahan stress, termasuk good stress , jelas berbeda-beda.
Bayangkanlah diri Anda sebagai seorang penjudi. Ada yang keringat dinginnya sudah mengucur deras meski baru bertaruh senilai Rp10 juta. Tapi, ada pula yang tetap santai meski nilai taruhannya sudah Rp10 miliar. Tapi, kalau tubuh terus dipacu, sementara daya tahannya tidak pernah ditingkatkan, stress yang kita alami bisa berakibat macam-macam. Mulai dari keletihan yang luar biasa, sampai pada akhirnya memicu timbulnya beragam penyakit.
Orang awam seperti kita dapat merasakan gejala-gejala datangnya arousal. Misalnya, degup jantung yang semakin cepat, kulit berkeringat, tekanan darah meningkat, napas yang mulai terengah-engah. Gejala-gejala sepertiinibiasanya munculkalau kita menghadapi ancaman. Dalam situasi seperti itu, kadang situasi bisa berbalik. Sifat ganas kita bisa muncul untuk mengalahkan ancaman tadi.
Fenomena semacam inilah yang mungkin dirasakan pula oleh para calon kepala daerah. Mereka merasakan bahwa di sana ada pertarungan. Gairah pun bangkit untuk memenangkan pertarungan. Sifat ganas pun muncul ketika kita menghalalkan segala cara untuk memenangkan persaingan.
Mereka yang di dalam, yang terlibat langsung dalam pertarungan, mungkin tidak merasakannya. Tapi, kita yang di luar dan menyaksikannya dengan jantung yang berdegup, merasakan ngeri yang luar biasa. Mau-maunya mereka bertarung habis-habisan, sampai berdarah-darah. Jadi, apa sebetulnya yang mereka harapkan?
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
(bbg)