Pemerintah Didesak Evaluasi Jam Kuliah

Rabu, 22 Juli 2015 - 10:49 WIB
Pemerintah Didesak Evaluasi...
Pemerintah Didesak Evaluasi Jam Kuliah
A A A
JAKARTA - Pemerintah didesak untuk mengevaluasi jam kuliah yang dinilai tidak manusiawi. Kajian mendalam harus dilakukan agar mahasiswa bisa lebih banyak belajar mandiri.

Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman mengatakan, hasil penelitian mengenai beban kuliah yang tidak manusiawi sudah disampaikan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) di hadapan Komisi X pada Rabu 1 April 2015.

Kesimpulan dari pertemuan itu, Komisi X mengapresiasi hasil LPEM FEUI dan mendorong LPEM untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai permasalahan pendidikan di Indonesia. ”Terkait paparan hasil penelitian tersebut, Komisi X DPR akan meminta pemerintah terutama Kemenristek Dikti dan Kemendikbud untuk dapat dikaji dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan pengambilan kebijakan di bidang pendidikan,” katanya kemarin.

Politikus PKS ini menambahkan, Komisi X juga mendorong ada kajian komprehensif. Bukan hanya pengurangan sistem kredit semester (SKS) dan jam belajar, tetapi apa konsekuensi jika memang di-perlukan pengurangan jumlah beban kuliah sehingga mahasiswa bisa belajar di luar kelas misalnya di perpustakaan.

Selanjutnya diteliti kembali apakah sistem pendukung untuk belajar mandiri di perguruan tinggi seperti perpustakaan yang bisa diakses 24 jam juga telah siap. Menurut Sohibul, Komisi X menilai sistem perkuliahan terbuka untuk dievaluasi, tetapi harus lebih baik dan komprehensif, bukan parsial.

Sementara itu, Ketua Umum AsosiasiPerguruanTinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Edy Suandi Hamid menjelaskan, hasil penelitian itu memang perlu dikaji lebih mendalam sebagai dasar kebijakan untuk mengurangi beban SKS yang ada. Edy mengakui memang ada kesan SKS di perguruan tinggi terlalu banyak. Permendikbud yang lalu akan menambahi lagi SKS bagi mahasiswa yang melanjutkan studinya pada jenjang S-2 dan S-3.

Edy mengaku setuju jika ada upaya mengkaji jumlah SKS yang sekarang dinilai terlalu banyak. Perguruan tinggi tidak boleh leluasa mengurangi jumlah SKS karena ada standar minimal yang ditetapkan pemerintah. Lalu, jika jumlah SKS bisa disinergikan dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), semakin tidak bisa perguruan tinggi seenaknya membatasi jumlah SKS ini.

”Namun, bisa juga kita mengarahkan pada jumlah mata kuliah yang terbatas sehingga mahasiswa bisa fokus dan mendalami yang betul-betul terkait dengan bidangnya ,” ucapnya. Mantan Rektor UII Yogyakarta ini menyebutkan, dinegara maju walau SKS dan jumlah tatap muka terbatas, hampir semua mahasiswa menghabiskan waktu sepanjang hari di perpustakaan.

Dalam hal ini Edy mempertanyakan apakah budaya belajar seperti itu bisa terjadi di Indonesia. Lalu, jika memang nanti ada pengurangan SKS, jangan sampai pengurangannya malah menurunkan mutu. Yang terpenting adalah bagaimana pendalaman ilmu bisa terjadi sehingga standar minimal bisa terpenuhi dalam pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Pengamat pendidikan dari Taman Siswa Darmaningtyas berpendapat, SKS di Indonesia lebih banyak karena ada mata kuliah wajib yang harus diambil seperti Pendidikan Agama, Pancasila, dan Kewarganegaraan. Mata kuliah wajib itu ada karena pertimbangan realistis pendidikan karakter yang tidak bisa dikompromikan. Maka jika memang ada pengurangan beban kuliah, harusnya dievaluasi program studi yang saat ini tumpang tindih.

LPEM FEUI meneliti, beban belajar mahasiswa di Indonesia sangat membebani dibanding di negara lain. Jamnya bahkan melebihi beban kerja para pekerja normal. Sistem perkuliahan di Indonesia dipertanyakan dari sisi kemanusiaannya.

Faktanya, beban studi berdasar jam belajar per minggu di Amerika Serikat berkisar 35-54 jam, Eropa 31.5-40 jam, dan di Australia 32-50 jam. Sementara di Indonesia berkisar 48-54 jam per minggu.

Neneng zubaidah
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0768 seconds (0.1#10.140)