Polisi Buru Pembunuh Wartawati
A
A
A
DEPOK - Seorang wartawati ditemukan tewas mengenaskan di rumahnya, Perumahan Gaperi Blok NC 6, Kedung Waringin, Bojong Gede, Kabupaten Bogor, pukul 13.00 WIB, Sabtu (18/7).
Nur Baety Rofiq alias Bety, 44, ditemukan dalam kondisi telungkup setengah sujud di ruang tamu tepatnya di belakang pintu. Tangan korban terikat ke belakang dan terdapat bekas jeratan di tangan. Korban mengalami sejumlah luka tusukan, salah satunya di bagian perut.
Berdasarkan keterangan dihimpun, sejumlah barang berharga milik korban raib, yakni kamera, ponsel, dan netbook . ”Benar (dibunuh), tapi mengenai motifnya belum diketahui karena masih dalam penyelidikan,” ujar Kapolsek Bojong Gede Kompol Ganet Sukoco kemarin. Hingga kini polisi terus memburu pelakunya, termasuk melacak ponsel milik korban yang sesekali masih aktif. ”Kami masih mencari ponselnya yang hilang, karena kadang aktif saat ditelepon,” ucapnya.
Polisi juga memeriksa sejumlah saksi seperti anggota keluarga dan teman korban semasa kuliah. Kepolisian baru menerima laporan kasus pembunuhan satu jam setelah jasad korban ditemukan oleh Ruwaida, kakak korban. Awalnya keluarga merasa curiga karena sejak malam takbiran hingga Lebaran hari pertama tidak ada kabar dari Bety, sehingga keluarga memutuskan melihat langsung ke rumah korban.
Ketika didatangi, rumah itu dalam kondisi sepi. Ruwaida bahkan sempat kesulitan masuk ke rumah karena terkunci dari dalam. Dia meminta Joko, tetangga korban, untuk membuka pintu karena tercium bau busuk dari pintu depan. Ruwaida pun masuk melalui pintu belakang. Dia sangat terkejut begitu melihat adiknya sudah tidak bernyawa.
Polisi yang menerima laporan langsung ke lokasi kejadian dan membawa jasad korban ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, pukul 20.00 WIB, Sabtu (18/7), untuk visum. Korban akhirnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Batu Tapak kemarin. Di mata keluarga, Bety adalah sosok yang tegar dan kukuh pendirian serta pekerja keras. Dia juga dikenal sebagai pribadi yang tertutup.
Korban tidak pernah bercerita mengenai masalah pribadi, baik soal pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. ”Enggak pernah cerita hal pribadi. Kalau ngobrol soal biasa saja, enggak ada yang gimanagimana,” kata Kasih, kerabat korban. Menurut dia, Bety merupakan wartawati lepas, namun tidak diketahui di mana dia bekerja. Pihak keluarga hanya mengetahui Bety penulis lepas yang sering menulis mengenai traveling.
Korban juga memiliki hobi bersepeda, bahkan dia kerap ke rumah kakaknya di Bukit Duri untuk meminjam sepeda. Bety adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Korban tinggal di Perumahan Gaperi sejak 1997. Rumah Bety berada terpisah dari tetangganya. Rumah bercat hijau itu tidak menempel tembok dengan rumah lainnya, terpisah pagar besi setinggi satu meter.
Vera, salah satu teman kampus selama korban kuliah mengatakan, terakhir kali berkomunikasi dengan korban pada akhir Juni. Saat itu, Vera menyapa Bety melalui whatsapp pada Selasa (30/6). Namun, baru dibalas melalui ponsel Bety pada Rabu (1/7) pukul 05.00 WIB. Vera menduga itu bukan Bety yang membalas. ”Karena jawabnya sangat singkat dan saya hafal betul bahasa dia. Itu bukan dia, dugaan saya,” ucapnya.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menduga, motif pembunuhan yang menimpa Bety adalah masalah pribadi, misalnya dendam atau tersinggung. Namun, tidak menutup kemungkinan akibat persoalan kekuasaan dan uang. ”Motif membunuh sebenarnya dari dulu kala tidak banyak berubah,” ujarnya.
Terkait jasad korban yang baru diketahui dua hari lalu dalam kondisi membusuk, dia pun menilai, ada sistem kekerabatan di lingkungan masyarakat yang tidak berjalan. ”Keakraban masyarakat saat ini tidak lagi seperti dulu. Ini sebagai gambaran sebagian besar daerah di Indonesia yang mulai berkembang,” katanya.
Menurut dia, individualisme yang terbangun tidak hanya dipicu oleh sistem yang tidak mendukung, tapi juga dipicu aktivitas masyarakat urban yang lebih banyak bekerja di Jakarta. Akibatnya, mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. ”Ini membuat penduduk lebih sibuk dengan diri sendiri dan tidak sempat memikirkan orang lain,” ucapnya.
R ratna purnama
Nur Baety Rofiq alias Bety, 44, ditemukan dalam kondisi telungkup setengah sujud di ruang tamu tepatnya di belakang pintu. Tangan korban terikat ke belakang dan terdapat bekas jeratan di tangan. Korban mengalami sejumlah luka tusukan, salah satunya di bagian perut.
Berdasarkan keterangan dihimpun, sejumlah barang berharga milik korban raib, yakni kamera, ponsel, dan netbook . ”Benar (dibunuh), tapi mengenai motifnya belum diketahui karena masih dalam penyelidikan,” ujar Kapolsek Bojong Gede Kompol Ganet Sukoco kemarin. Hingga kini polisi terus memburu pelakunya, termasuk melacak ponsel milik korban yang sesekali masih aktif. ”Kami masih mencari ponselnya yang hilang, karena kadang aktif saat ditelepon,” ucapnya.
Polisi juga memeriksa sejumlah saksi seperti anggota keluarga dan teman korban semasa kuliah. Kepolisian baru menerima laporan kasus pembunuhan satu jam setelah jasad korban ditemukan oleh Ruwaida, kakak korban. Awalnya keluarga merasa curiga karena sejak malam takbiran hingga Lebaran hari pertama tidak ada kabar dari Bety, sehingga keluarga memutuskan melihat langsung ke rumah korban.
Ketika didatangi, rumah itu dalam kondisi sepi. Ruwaida bahkan sempat kesulitan masuk ke rumah karena terkunci dari dalam. Dia meminta Joko, tetangga korban, untuk membuka pintu karena tercium bau busuk dari pintu depan. Ruwaida pun masuk melalui pintu belakang. Dia sangat terkejut begitu melihat adiknya sudah tidak bernyawa.
Polisi yang menerima laporan langsung ke lokasi kejadian dan membawa jasad korban ke RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, pukul 20.00 WIB, Sabtu (18/7), untuk visum. Korban akhirnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Batu Tapak kemarin. Di mata keluarga, Bety adalah sosok yang tegar dan kukuh pendirian serta pekerja keras. Dia juga dikenal sebagai pribadi yang tertutup.
Korban tidak pernah bercerita mengenai masalah pribadi, baik soal pekerjaan maupun kehidupan pribadinya. ”Enggak pernah cerita hal pribadi. Kalau ngobrol soal biasa saja, enggak ada yang gimanagimana,” kata Kasih, kerabat korban. Menurut dia, Bety merupakan wartawati lepas, namun tidak diketahui di mana dia bekerja. Pihak keluarga hanya mengetahui Bety penulis lepas yang sering menulis mengenai traveling.
Korban juga memiliki hobi bersepeda, bahkan dia kerap ke rumah kakaknya di Bukit Duri untuk meminjam sepeda. Bety adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Korban tinggal di Perumahan Gaperi sejak 1997. Rumah Bety berada terpisah dari tetangganya. Rumah bercat hijau itu tidak menempel tembok dengan rumah lainnya, terpisah pagar besi setinggi satu meter.
Vera, salah satu teman kampus selama korban kuliah mengatakan, terakhir kali berkomunikasi dengan korban pada akhir Juni. Saat itu, Vera menyapa Bety melalui whatsapp pada Selasa (30/6). Namun, baru dibalas melalui ponsel Bety pada Rabu (1/7) pukul 05.00 WIB. Vera menduga itu bukan Bety yang membalas. ”Karena jawabnya sangat singkat dan saya hafal betul bahasa dia. Itu bukan dia, dugaan saya,” ucapnya.
Psikolog Universitas Pancasila (UP) Aully Grashinta menduga, motif pembunuhan yang menimpa Bety adalah masalah pribadi, misalnya dendam atau tersinggung. Namun, tidak menutup kemungkinan akibat persoalan kekuasaan dan uang. ”Motif membunuh sebenarnya dari dulu kala tidak banyak berubah,” ujarnya.
Terkait jasad korban yang baru diketahui dua hari lalu dalam kondisi membusuk, dia pun menilai, ada sistem kekerabatan di lingkungan masyarakat yang tidak berjalan. ”Keakraban masyarakat saat ini tidak lagi seperti dulu. Ini sebagai gambaran sebagian besar daerah di Indonesia yang mulai berkembang,” katanya.
Menurut dia, individualisme yang terbangun tidak hanya dipicu oleh sistem yang tidak mendukung, tapi juga dipicu aktivitas masyarakat urban yang lebih banyak bekerja di Jakarta. Akibatnya, mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. ”Ini membuat penduduk lebih sibuk dengan diri sendiri dan tidak sempat memikirkan orang lain,” ucapnya.
R ratna purnama
(ftr)