Lupakan Trauma Perang lewat Goresan Dinding
A
A
A
Ruang remang-remang kosong itu kini berwarna cerah pada sekeliling dindingnya. Goresan seni lukis tembok (mural) terlihat indah dan penuh makna.
Bukan galeri seni, bukan pula ruang berekspresi. Ruangan penuh gambar tersebut adalah kamp pengungsian korban perang Suriah di Irak. Sebelumnya gedung tersebut dipakai untuk ruang penjara pada era mantan Presiden Irak Saddam Hussein. Rumah sementara yang tidak terlalu nyaman, namun aman dari kekejaman pejuang ISIS ini terletak di bawah pegunungan antara Erbil dan Dohuk.
Menurut Badan PBB urusan Pengungsi, UNHCR, wilayah Kurdistan, Irak adalah rumah bagi lebih dari 2 juta pengungsi Irak dan Suriah. Di kamp tersebut, seorang remaja bernama Soleen Smael terlihat asyik membuat mural. Hanya mengenakanT-shirt dan jins, dia santai menggoreskan cat tembok pada lukisan dindingnya. Tidak tampak raut kesedihan di wajahnya.
Padahal dua tahun lalu, Soleen dan keluarganya banyak menghadapi tekanan ketika berusaha melarikan diri dari wilayah Suriah. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari keganasan ISIS. Bersama 14.000 warga Suriah lainnya dari Qamishli di Suriah utara, mereka menuju ke wilayah Akre di Kurdistan. ”Beberapa gambar mural yang dibuat anak-anak yatim piatu menceritakan tentang ISIS di Suriah,” ujar pemuda 14 tahun itu, dikutip Aljazeera. Dia menjelaskan, ada makna di balik setiap gambar yang dilukis.
”Kami ingin orang-orang datang dan bertanya kepada kami tentang makna gambar dan mengapa kita membuat mural ini,” tambahnya. Setiap Jumat siang, Soleen dan anak-anak lain yang tinggal di penjara yang kini dikenal sebagai kamp pengungsian Akre ini berkumpul untuk melukis mural. Gagasan membuat mural diusung Rise Foundation, LSM asal Selandia Baru yang mendukung terciptanya karya seni bagi anak-anak pengungsi. Program yang dinamakan Castle Art ini bertujuan meningkatkan suasana kamp dan mendukung ekspresi seni anak-anak.
”Awalnya mereka membawa gambar yang sudah mereka kerjakan. Kebanyakan gambar mereka tentang kematian dan kehancuran, orang ditembak, intinya hanya ada adegan mengerikan,” cerita Lucy Tyndall, manajer program Art Castle . Namun, kini ada kesepakatan bahwa gambar yang mereka hasilkan hanya yang bercitra positif. ”Seperti salah satu anak, Nadrine yang membuat sketsa burung dalam sangkar, lalu saya menyarankan lukisan tersebut menjadi pintu kandang yang terbuka dan burung terbang keluar,” tuturnya.
Tahun ini anak-anak pengungsi tersebut berhasil menghiasi dinding kamp pengungsian dengan beragam gambar ceria. ”Saya ingin melihat seberapa besar kita bisa melakukan ini. Seberapa besar anak-anak bisa mengekspresikan ide-ide mereka,” kata Tyndall. Seorang relawan, Valeria Bembry mengatakan bahwa anak-anak didorong untuk membawa desain asli setiap minggu untuk melukis di dinding kamp.
Mereka diberikan pekerjaan rumah (PR) sehingga dapat menghasilkan beberapa gambar. Saat tiba waktu mereka berkumpul pada Jumat, mereka menunjukkan gambar kepada relawan untuk dibuat mural. ”Kami bersama memilih dinding, menemukan cat yang sesuai untuk sketsa mereka,” ujar Bembry. Castle Art tidak mengidentifikasi sebagai proyek terapi seni, tapi desain di dinding kamp menjadi bukti pengalaman anak-anak sebagai pengungsi dan kenangan mereka bersama Suriah.
Bahkan sebelum kota kuno di Suriah, Palmyra, jatuh ke ISIS pada Mei, proyek ini mulai dirancang. Mereka bermimpi menampilkan mural mengenai kota dan pemandangan sekitarnya sebagai kenang-kenangan. Proyek ini juga mengajarkan anak-anak untuk meningkatkan teknik menggambar.
Ananda Nararya
Bukan galeri seni, bukan pula ruang berekspresi. Ruangan penuh gambar tersebut adalah kamp pengungsian korban perang Suriah di Irak. Sebelumnya gedung tersebut dipakai untuk ruang penjara pada era mantan Presiden Irak Saddam Hussein. Rumah sementara yang tidak terlalu nyaman, namun aman dari kekejaman pejuang ISIS ini terletak di bawah pegunungan antara Erbil dan Dohuk.
Menurut Badan PBB urusan Pengungsi, UNHCR, wilayah Kurdistan, Irak adalah rumah bagi lebih dari 2 juta pengungsi Irak dan Suriah. Di kamp tersebut, seorang remaja bernama Soleen Smael terlihat asyik membuat mural. Hanya mengenakanT-shirt dan jins, dia santai menggoreskan cat tembok pada lukisan dindingnya. Tidak tampak raut kesedihan di wajahnya.
Padahal dua tahun lalu, Soleen dan keluarganya banyak menghadapi tekanan ketika berusaha melarikan diri dari wilayah Suriah. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari keganasan ISIS. Bersama 14.000 warga Suriah lainnya dari Qamishli di Suriah utara, mereka menuju ke wilayah Akre di Kurdistan. ”Beberapa gambar mural yang dibuat anak-anak yatim piatu menceritakan tentang ISIS di Suriah,” ujar pemuda 14 tahun itu, dikutip Aljazeera. Dia menjelaskan, ada makna di balik setiap gambar yang dilukis.
”Kami ingin orang-orang datang dan bertanya kepada kami tentang makna gambar dan mengapa kita membuat mural ini,” tambahnya. Setiap Jumat siang, Soleen dan anak-anak lain yang tinggal di penjara yang kini dikenal sebagai kamp pengungsian Akre ini berkumpul untuk melukis mural. Gagasan membuat mural diusung Rise Foundation, LSM asal Selandia Baru yang mendukung terciptanya karya seni bagi anak-anak pengungsi. Program yang dinamakan Castle Art ini bertujuan meningkatkan suasana kamp dan mendukung ekspresi seni anak-anak.
”Awalnya mereka membawa gambar yang sudah mereka kerjakan. Kebanyakan gambar mereka tentang kematian dan kehancuran, orang ditembak, intinya hanya ada adegan mengerikan,” cerita Lucy Tyndall, manajer program Art Castle . Namun, kini ada kesepakatan bahwa gambar yang mereka hasilkan hanya yang bercitra positif. ”Seperti salah satu anak, Nadrine yang membuat sketsa burung dalam sangkar, lalu saya menyarankan lukisan tersebut menjadi pintu kandang yang terbuka dan burung terbang keluar,” tuturnya.
Tahun ini anak-anak pengungsi tersebut berhasil menghiasi dinding kamp pengungsian dengan beragam gambar ceria. ”Saya ingin melihat seberapa besar kita bisa melakukan ini. Seberapa besar anak-anak bisa mengekspresikan ide-ide mereka,” kata Tyndall. Seorang relawan, Valeria Bembry mengatakan bahwa anak-anak didorong untuk membawa desain asli setiap minggu untuk melukis di dinding kamp.
Mereka diberikan pekerjaan rumah (PR) sehingga dapat menghasilkan beberapa gambar. Saat tiba waktu mereka berkumpul pada Jumat, mereka menunjukkan gambar kepada relawan untuk dibuat mural. ”Kami bersama memilih dinding, menemukan cat yang sesuai untuk sketsa mereka,” ujar Bembry. Castle Art tidak mengidentifikasi sebagai proyek terapi seni, tapi desain di dinding kamp menjadi bukti pengalaman anak-anak sebagai pengungsi dan kenangan mereka bersama Suriah.
Bahkan sebelum kota kuno di Suriah, Palmyra, jatuh ke ISIS pada Mei, proyek ini mulai dirancang. Mereka bermimpi menampilkan mural mengenai kota dan pemandangan sekitarnya sebagai kenang-kenangan. Proyek ini juga mengajarkan anak-anak untuk meningkatkan teknik menggambar.
Ananda Nararya
(ars)