Penghapusan Politik Dinasti Cederai Keadilan

Senin, 13 Juli 2015 - 10:50 WIB
Penghapusan Politik Dinasti Cederai Keadilan
Penghapusan Politik Dinasti Cederai Keadilan
A A A
JAKARTA - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan aturan pembatasan calon kepala daerah yang memiliki hubungan dengan petahana atau incumbent dinilai mengabaikan rasa keadilan.

Wakil Ketua Komisi II DPR Ahmad Riza Patria mengaku kecewa dengan putusan yang diambil MK. Menurut Riza, MK tidak memahami niat, maksud, dan tujuan penting dari pasal yang dibuat bersama dengan pemerintah tersebut. MK juga tidak memahami latar belakang permasalahan yang ada selama ini dan hanya melihat bahwa semua warga negara mempunyai hak yang sama untuk dipilih dan memilih.

”Seolah-olah MK berbicara keadilan, tapi keadilan bagi keluarga petahana dan tidak adil bagi masyarakat suatu kota atau kabupaten yang jumlahnya ratusan ribu bahkan jutaan orang,” ujarnya dalam diskusi publik bertajuk ”Petahana Petaka Demokrasi ”di Jakarta akhir pekan kemarin.

Berdasarkan hasil pengamatannya, selama petahana berkuasa tidak ada pembangunan yang signifikan bagi kemajuan daerahnya termasuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut Riza, yang terjadi justru sebaliknya, mereka membangun kerajaan bagi kekuasaannya secara turun-temurun.

”Bagaimana mungkin orang luar bisa mengalahkan petahana karena APBD yang nilainya ratusan miliar dan triliunan untuk pembangunan daerah diselipkan oleh incumbent melalui program-program bantuan sosial untuk meningkatkan popularitasnya. Jadi bagaimana mungkin mengalahkan orang yang punya uang? Ada ketidakadilan di sini,” katanya.

Politikus Partai Gerindra itu mengaku pihaknya tidak menghukum keluarga petahana. UU yang dibuat hanya mengatur dan membatasi, tapi tidak menutup ruang mereka untuk maju dalam pilkada. Riza mengatakan, pemerintah harus membangun sebuah sistem yang memberikan kesempatan kepada rakyat kecil. ”Keadilan itu harus berpihak, bukan keadilan itu berarti sama rata.

Orang makan saja ada pengaturannya, orang yang berat badannya lebih besar berbeda porsinya, tidak disamakan. Itu namanya proporsional. Adil bagi segelintir orang, tapi tidak adil bagi ratusan ribu orang. Kami sangat kecewa,” katanya. Senada, peneliti dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Muttaqien Pratama mengatakan, petahana awalnya berasal dari elite-elite lokal yang berada dalam tataran informal.

Munculnya UU No 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang pilkada mendorong orangorang kuat tersebut bertransformasi guna melanggengkan kekuasaannya melalui proses formal pilkada. ”Mau nggak mau memang harus menerima putusan MK, tapi kita juga harus ikut serta mengawasi rekrutmen parpol,” sebutnya.

Heroik menilai, pasal yang dibuat DPR dan pemerintah tersebut sebenarnya untuk menciptakan demokratisasi di partai. Kader-kader terbaik yang memiliki kapasitas untuk memimpin memiliki peluang dan kesempatan yang sama. Selama ini, hal itu tidak terjadi karena pencalonan hanya melibatkan elite partai, kedekatan, dan hubungan darah tersebut.

Dengan adanya pasal tersebut, pemerintah dan DPR mencoba membangun persaingan secara setara antar akan didat petahana dengan kandidat baru yang kompeten.

Sucipto
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8380 seconds (0.1#10.140)