The Fed, Yunani, dan China
A
A
A
Di saat ekonomi nasional fokus untuk mengatasi perlambatan pertumbuhanekonomi, kita harus menghadapi tekanan yang bertubi-tubi dari eksternal. Ekonomi global penuh dengan kejutan yang langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap kinerja ekonomi nasional.
Di saat hampir semua negara emerging dan berkembang mewaspadai dampak kenaikan suku bunga The Fed yang keputusannya mengalami serangkaian penundaan, dunia dikejutkan dengan eskalasi persoalan krisis utang Yunani. Sebelum krisis utang Yunani menemukan penyelesaian, dunia dikejutkan dengan jatuhnya harga saham di pasar modal China yang membuat panik tidak hanya pasar keuangan, melainkan juga para pelakuekonomiglobal.
Melihat perkembangan seperti ini, tidak akan mengherankan apabila dalam waktu dekat pertumbuhan ekonomi global akan kembali direvisi ke bawah oleh sejumlah lembaga internasional. Meski rencana The Fed untuk melakukan pengurangan stimulus (tapering-off) dan menaikkan suku bunga bagi Indonesia dampaknya tidak sebesar beberapa negara seperti Rusia, Brasil, dan Turki, efeknya tidak juga bisa dianggap ringan.
Seperti kita ketahui bersama, dampak rencana keputusan The Fed untuk melakukan pengurangan dana stimulus moneter sebesar USD85 miliar per bulan untuk pembelian obligasi telah kita rasakan tekanannya sejak kuartal akhir 2013. Salah satu dampak yang sangat kita rasakan adalah tekanan terhadap nilai tukar mata uang rupiah.
Sampai Juni-Juli 2013, nilai tukar mata uang rupiah kita berada dalam kisaran Rp9.800-9.900 per dolar AmerikaSerikat(AS). Namundengan adanya rencana pengurangan stimulus moneter dan rencana normalisasi kebijakan The Fed melalui kenaikan suku bunga acuan, kurs rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Pada awal September 2013, kurs rupiah di pasar spot bergerak di level Rp11.093 per dolar AS.
Dan pada 24 Desember 2013, di pasar spot tercatat rupiah terdepresiasi di level Rp12.215 per dolar AS. Sepanjang tahun 2014, ketidakpastian kapan The Fed akan mengakhiri stimulus moneter dan menaikkan suku bunga juga sangat memengaruhi sentimen para pelaku ekonomi.
Memang masih terdapat beberapa faktor lain yang juga ikut memengaruhi kurs rupiah, mobilitas, dan aliran dana akibat konsolidasi investor global di pasar keuangan ikut memengaruhi pergerakan rupiah. Nilai tukar rupiah juga bergerak fluktuatif dari posisi 12.000 di awal Januari 2014, kemudian menguat di posisi 11.692 seusai putusan Mahkamah Konstitusi tentang pilpres pada 21 Agustus 2014, tetapi kembali terdepresiasi di posisi terendah dan menyentuh Rp12.900 pada pertengahan Desember 2014.
Saat ini, nilai tukar rupiah masih tertekan dan berada di posisi Rp13.314 per dolar AS pada Jumat (10/7). Di saat kita masih menunggu kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunga, perhatian dunia teralihkan pada krisis utang di Yunani. Eskalasi persoalan Yunani memuncak ketika negara itu berada dalam posisi tidak mampu melunasi utang kepada IMF sebesar USD1,8 miliar yang jatuh tempo pada 30 Juni 2015.
Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras menyerahkan keputusan apakah Yunani akan menerima dana talangan dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF sebesar 7,2 miliar euro, tetapi dengan persyaratan yang cukup berat melalui mekanisme referendum pada 5 Juli 2015.
Hasil referendum menyatakan, 61,5% rakyat Yunani menolak dana talangan dan saat ini perundingan untuk mencari solusi sedang dilakukan. Meskipun dampak krisis Yunani terhadap perekonomian nasional tidak terlalu besar, efekpsikologisnya bagi investor global ternyata tidak sederhana.
Transmisi dari krisis Yunani ke perekonomian nasional tidaklah langsung mengingat baik perdagangan maupun investasi Yunani dan Eropa dengan Indonesia tidaklah sesensitif dengan negara ASEAN, China, Jepang, dan AmerikaSerikat. Persoalanmuncul ketika krisis Yunani hadir di saat banyak negara sedang mempersiapkan kebijakan mitigasi kalau The Fed ternyata menaikkan suku bunga acuan pada September 2015.
Kekhawatiran krisis Yunani akan membuat indeks dolar menguat terhadap mata uang euro. Dan hal ini akan menambah komplikasi baru bagi banyak negara di saat mereka sedang bersiap melakukan policyresponse terhadap kebijakan The Fed terkait dengan pengelolaan cadangandevisa, nilaitukarmata uang, tingkat suku bunga, dan stabilitas sistem keuangan.
Ketika kita semua fokus pada krisis Yunani, tiba-tiba kita dikejutkan dengan kejatuhan bursa saham China. Sebelumnya indeks saham Shanghai, Shenzhen, dan Hong Kong menguat dengan cepat dan menciptakan bubble karena peningkatan harga saham tidak diimbangi dengan penguatan di sektor riil akibat perlambatan ekonomi di China.
Kekhawatiran ini telah membuat harga saham di China jatuh 30% dari posisi tertinggi pada Juni 2015. Jatuhnya bursa saham di China sempat membuat investor panik baik pemodal dalam negeri maupun global. Hal ini tidaklah mengherankan karena 80% saham dimiliki investor kecil dan kelas menengah baru China. Kejatuhan harga saham membuat kekayaan mereka tiba-tiba hilang dalam hitungan minggu.
Sementara bagi investor global, apa yang terjadi di bursa saham China menambah tekanan risiko berinvestasi di negara berkembang dan emerging. Kejatuhan harga saham China menambah deretan fragilitas pasar saham negara berkembang setelah bursa saham Brasil yang turun 20% (Juni-Juli 2013), Cile turun 22% (Maret-September 2013), Rusia 31% (Mei-Oktober 2011).
Meski begitu, dalam beberapa hari terakhir bursa saham China menunjukkan arah perbaikan setelah adanya intervensi dari pemerintah. Pada penutupan perdagangan (10/07) indeks Shanghai naik 4,5% dan indeks Hong Kong juga naik 2,08%, tetapi hal ini belum memberikan kepastian arah dan prospek perekonomian China secara keseluruhan.
Mengingat kerugian investor cukup besar akibat jatuhnya pasar saham China dan ditaksir angkanya mencapai tidak kurang dari USD3 triliun. Selain itu, China yang saat ini menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia berpotensi mengganggu prospek ekonomi regional maupun global. Transmisi dampak tidak hanya ke sektor pasar uang dan saham, melainkan juga berisiko mengganggu kinerja sektor riil ke negara-negara yang selama ini menjadi mitra perdagangan dan investasi China.
Bagi Indonesia, ketiga tekanantersebutperludiwaspadaikarena dampaknya tidak hanya akan kita rasakan pada pasar saham, uang, melainkan juga prospek ekspor nasional. Di saat perekonomian nasional menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi, di mana pada kuartal I 2015 kita hanya mampu tumbuh 4,71% dan pada kuartal II 2015 sepertinya pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tidak juga mengalami lonjakan pertumbuhan output secara signifikan, maka tekanan eksternal berpotensi mengurangi tingkat keyakinan (confidence level) baik konsumen maupun produsen dalam negeri.
Proyeksi BI terakhir juga memperkirakan ekonomi nasional hanya akan tumbuh sebesar 4,7% pada kuartal II 2015. Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi kita akan tumbuh sebesar 4,7%. Harus diakui, saat ini perekonomian nasional menghadapi dua tantangan sekaligus. Pertama, memitigasi dampak ketidak pastian yang saat ini bersumber dari The Fed, Yunani, dan China.
Kedua, meningkatkan optimisme baik konsumen maupun para pelaku ekonomi dalam negeri akan prospek perekonomian nasional. Pemerintah semakin dituntut untuk terus waspada dan tidak meremehkan kondisi ini mengingat integrasi perekonomian nasional ke sistem ekonomi global semakin dalam.
Akibatnya ekonomi kita akan menjadi semakin sensitif terhadap setiap gejolak yang terjadi di negara lain. Pemerintah diharapkan cepat dan tepat membuat kebijakan yang terukur agar ekonomi kita berdaya tahan di tengah ketidakpastian dan dampak gejolak yang bersumber dari eksternal.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
Di saat hampir semua negara emerging dan berkembang mewaspadai dampak kenaikan suku bunga The Fed yang keputusannya mengalami serangkaian penundaan, dunia dikejutkan dengan eskalasi persoalan krisis utang Yunani. Sebelum krisis utang Yunani menemukan penyelesaian, dunia dikejutkan dengan jatuhnya harga saham di pasar modal China yang membuat panik tidak hanya pasar keuangan, melainkan juga para pelakuekonomiglobal.
Melihat perkembangan seperti ini, tidak akan mengherankan apabila dalam waktu dekat pertumbuhan ekonomi global akan kembali direvisi ke bawah oleh sejumlah lembaga internasional. Meski rencana The Fed untuk melakukan pengurangan stimulus (tapering-off) dan menaikkan suku bunga bagi Indonesia dampaknya tidak sebesar beberapa negara seperti Rusia, Brasil, dan Turki, efeknya tidak juga bisa dianggap ringan.
Seperti kita ketahui bersama, dampak rencana keputusan The Fed untuk melakukan pengurangan dana stimulus moneter sebesar USD85 miliar per bulan untuk pembelian obligasi telah kita rasakan tekanannya sejak kuartal akhir 2013. Salah satu dampak yang sangat kita rasakan adalah tekanan terhadap nilai tukar mata uang rupiah.
Sampai Juni-Juli 2013, nilai tukar mata uang rupiah kita berada dalam kisaran Rp9.800-9.900 per dolar AmerikaSerikat(AS). Namundengan adanya rencana pengurangan stimulus moneter dan rencana normalisasi kebijakan The Fed melalui kenaikan suku bunga acuan, kurs rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Pada awal September 2013, kurs rupiah di pasar spot bergerak di level Rp11.093 per dolar AS.
Dan pada 24 Desember 2013, di pasar spot tercatat rupiah terdepresiasi di level Rp12.215 per dolar AS. Sepanjang tahun 2014, ketidakpastian kapan The Fed akan mengakhiri stimulus moneter dan menaikkan suku bunga juga sangat memengaruhi sentimen para pelaku ekonomi.
Memang masih terdapat beberapa faktor lain yang juga ikut memengaruhi kurs rupiah, mobilitas, dan aliran dana akibat konsolidasi investor global di pasar keuangan ikut memengaruhi pergerakan rupiah. Nilai tukar rupiah juga bergerak fluktuatif dari posisi 12.000 di awal Januari 2014, kemudian menguat di posisi 11.692 seusai putusan Mahkamah Konstitusi tentang pilpres pada 21 Agustus 2014, tetapi kembali terdepresiasi di posisi terendah dan menyentuh Rp12.900 pada pertengahan Desember 2014.
Saat ini, nilai tukar rupiah masih tertekan dan berada di posisi Rp13.314 per dolar AS pada Jumat (10/7). Di saat kita masih menunggu kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunga, perhatian dunia teralihkan pada krisis utang di Yunani. Eskalasi persoalan Yunani memuncak ketika negara itu berada dalam posisi tidak mampu melunasi utang kepada IMF sebesar USD1,8 miliar yang jatuh tempo pada 30 Juni 2015.
Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras menyerahkan keputusan apakah Yunani akan menerima dana talangan dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan IMF sebesar 7,2 miliar euro, tetapi dengan persyaratan yang cukup berat melalui mekanisme referendum pada 5 Juli 2015.
Hasil referendum menyatakan, 61,5% rakyat Yunani menolak dana talangan dan saat ini perundingan untuk mencari solusi sedang dilakukan. Meskipun dampak krisis Yunani terhadap perekonomian nasional tidak terlalu besar, efekpsikologisnya bagi investor global ternyata tidak sederhana.
Transmisi dari krisis Yunani ke perekonomian nasional tidaklah langsung mengingat baik perdagangan maupun investasi Yunani dan Eropa dengan Indonesia tidaklah sesensitif dengan negara ASEAN, China, Jepang, dan AmerikaSerikat. Persoalanmuncul ketika krisis Yunani hadir di saat banyak negara sedang mempersiapkan kebijakan mitigasi kalau The Fed ternyata menaikkan suku bunga acuan pada September 2015.
Kekhawatiran krisis Yunani akan membuat indeks dolar menguat terhadap mata uang euro. Dan hal ini akan menambah komplikasi baru bagi banyak negara di saat mereka sedang bersiap melakukan policyresponse terhadap kebijakan The Fed terkait dengan pengelolaan cadangandevisa, nilaitukarmata uang, tingkat suku bunga, dan stabilitas sistem keuangan.
Ketika kita semua fokus pada krisis Yunani, tiba-tiba kita dikejutkan dengan kejatuhan bursa saham China. Sebelumnya indeks saham Shanghai, Shenzhen, dan Hong Kong menguat dengan cepat dan menciptakan bubble karena peningkatan harga saham tidak diimbangi dengan penguatan di sektor riil akibat perlambatan ekonomi di China.
Kekhawatiran ini telah membuat harga saham di China jatuh 30% dari posisi tertinggi pada Juni 2015. Jatuhnya bursa saham di China sempat membuat investor panik baik pemodal dalam negeri maupun global. Hal ini tidaklah mengherankan karena 80% saham dimiliki investor kecil dan kelas menengah baru China. Kejatuhan harga saham membuat kekayaan mereka tiba-tiba hilang dalam hitungan minggu.
Sementara bagi investor global, apa yang terjadi di bursa saham China menambah tekanan risiko berinvestasi di negara berkembang dan emerging. Kejatuhan harga saham China menambah deretan fragilitas pasar saham negara berkembang setelah bursa saham Brasil yang turun 20% (Juni-Juli 2013), Cile turun 22% (Maret-September 2013), Rusia 31% (Mei-Oktober 2011).
Meski begitu, dalam beberapa hari terakhir bursa saham China menunjukkan arah perbaikan setelah adanya intervensi dari pemerintah. Pada penutupan perdagangan (10/07) indeks Shanghai naik 4,5% dan indeks Hong Kong juga naik 2,08%, tetapi hal ini belum memberikan kepastian arah dan prospek perekonomian China secara keseluruhan.
Mengingat kerugian investor cukup besar akibat jatuhnya pasar saham China dan ditaksir angkanya mencapai tidak kurang dari USD3 triliun. Selain itu, China yang saat ini menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia berpotensi mengganggu prospek ekonomi regional maupun global. Transmisi dampak tidak hanya ke sektor pasar uang dan saham, melainkan juga berisiko mengganggu kinerja sektor riil ke negara-negara yang selama ini menjadi mitra perdagangan dan investasi China.
Bagi Indonesia, ketiga tekanantersebutperludiwaspadaikarena dampaknya tidak hanya akan kita rasakan pada pasar saham, uang, melainkan juga prospek ekspor nasional. Di saat perekonomian nasional menghadapi perlambatan pertumbuhan ekonomi, di mana pada kuartal I 2015 kita hanya mampu tumbuh 4,71% dan pada kuartal II 2015 sepertinya pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tidak juga mengalami lonjakan pertumbuhan output secara signifikan, maka tekanan eksternal berpotensi mengurangi tingkat keyakinan (confidence level) baik konsumen maupun produsen dalam negeri.
Proyeksi BI terakhir juga memperkirakan ekonomi nasional hanya akan tumbuh sebesar 4,7% pada kuartal II 2015. Sementara itu, Bank Dunia memproyeksikan ekonomi kita akan tumbuh sebesar 4,7%. Harus diakui, saat ini perekonomian nasional menghadapi dua tantangan sekaligus. Pertama, memitigasi dampak ketidak pastian yang saat ini bersumber dari The Fed, Yunani, dan China.
Kedua, meningkatkan optimisme baik konsumen maupun para pelaku ekonomi dalam negeri akan prospek perekonomian nasional. Pemerintah semakin dituntut untuk terus waspada dan tidak meremehkan kondisi ini mengingat integrasi perekonomian nasional ke sistem ekonomi global semakin dalam.
Akibatnya ekonomi kita akan menjadi semakin sensitif terhadap setiap gejolak yang terjadi di negara lain. Pemerintah diharapkan cepat dan tepat membuat kebijakan yang terukur agar ekonomi kita berdaya tahan di tengah ketidakpastian dan dampak gejolak yang bersumber dari eksternal.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
(bbg)