Solusi Teknis Saja Tak Mampu Atasi Pemanasan Global
A
A
A
Mengatasi perubahan iklim dan risikonya memerlukan tidak hanya langkah teknis seperti tanaman yang tahan kekeringan dan tembok air laut yang lebih tinggi, tapi juga menyusun ulang ekonomi dan insentif politik yang mendorong pemanasan global.
”Risiko terbesar dari semua yang kita hadapi ialah kita mengatasi masalah yang salah,” ujar sosiolog University of Oslo, Karen O’Brien, dalam konferensi peneliti iklim di Paris pekan ini, dikutip kantor berita Reuters.
Menurut dia, menggunakan energi yang dapat diperbarui dan menyusun skema asuransi pertanian serta sistem peringatan dini itu penting. ”Meski demikian, perubahan iklim lebih dari tantangan teknis. Menemukan solusi memerlukan keterlibatan untuk melihat siapa yang memiliki kekuasaan dan bagaimana itu mungkin diperlukan untuk perubahan,” tuturnya.
Upaya untuk mendapatkan hak pengeboran minyak di Arktik misalnya dianggap beberapa analis sebagai potensi awal Perang Dingin baru, saat sejumlah negara berkompetisi mendapatkan akses ke sebagian deposit minyak yang belum terjamah di planet ini, untuk mengeruk keuntungan dan keamanan energi.
Hal ini terjadi meski peneliti menunjukkan sepertiga cadangan minyak yang telah ditemukan di dunia harus tetap dipertahankan di dalam bumi untuk menghindari percepatan perubahan iklim yang dapat mengakibatkan krisis suplai makanan. Cadangan energi yang telah ditemukan itu termasuk setengah cadangan gas dan 80% cadangan batu bara.
Berbagai risiko iklim tidak dapat diatasi secara efektif kecuali berbagai kontradiksi itu diselesaikan. Salah satu cara untuk mencapainya ialah melalui orang-orang yang berupaya dan mengubah cara pemerintah dan berbagai lembaga berperilaku. ”Perubahan kecil dapat membuat perbedaan besar dan individu, khususnya saat bekerja sama, dapat menghasilkan perubahan sosial yang besar,” tutur O’Brien.
Menyatukan kekuatan politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim akan sulit, tapi harus dilakukan. Menurut O’Brien, saat bumi 4 derajat Celsius lebih panas, yang diperkirakan terjadi pada 2100. Itu akan mengubah kehidupan di bumi.
Beradaptasi pada beberapa masalah terkait, termasuk meningkatnya kematian akibat gelombang panas ekstrem di Asia Selatan, akan sangat sulit. ”Beberapa peluang terbesar untuk membawa dunia ke jalur yang berbeda mungkin berada di kota-kota yang tumbuh pesat,” tutur Shobhakar Dhakal dari Asian Institute of Technology di Thailand.
Saat ini lebih dari 70% emisi global diakibatkan oleh penggunaan energi dari berbagai kota, menurut para peneliti di Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada 2050 wilayah perkotaan akan memiliki lebih dari 2,6 miliar orang, sebagian besar di Asia dan Afrika.
Jika berbagai wilayah perkotaan dapat membangun rumah yang dekat dengan tempat kerja dan jasa serta membuat transportasi publik dan berjalan kaki menjadi pilihan bagus, emisi gas penyebab perubahan iklim dapat dikurangi secara dramatis. ”Kemampuan kita untuk memangkas emisi gas rumah kaca global bergantung pada bagaimana kota kita bangun,” ujar Dhakal.
Menurut Rektor Ibaraki University, Jepang, Nobuo Minura, perkembangan nyata dalam perubahan iklim dan pengurangan kerentanan pada berbagai dampaknya juga memerlukan koordinasi berbagai aktivitas, termasuk kebijakan sosial, perencanaan kota, asuransi, pengamatan cuaca, dan penggunaan teknologi yang tepat. Johan Rockstrom dari Stockholm Resilience Centre memperingatkan,
”Kita sebagai manusia sekarang dalam posisi untuk mengacaukan stabilitas seluruh sistem global dengan mendorong perubahan iklim. Banyak sistem pemerintahan dan ekonomi yang didesain sekitar kegiatan emisi tinggi. Sekarang kita perlu hubungan baru antara orang dan planet.”
Syarifudin
”Risiko terbesar dari semua yang kita hadapi ialah kita mengatasi masalah yang salah,” ujar sosiolog University of Oslo, Karen O’Brien, dalam konferensi peneliti iklim di Paris pekan ini, dikutip kantor berita Reuters.
Menurut dia, menggunakan energi yang dapat diperbarui dan menyusun skema asuransi pertanian serta sistem peringatan dini itu penting. ”Meski demikian, perubahan iklim lebih dari tantangan teknis. Menemukan solusi memerlukan keterlibatan untuk melihat siapa yang memiliki kekuasaan dan bagaimana itu mungkin diperlukan untuk perubahan,” tuturnya.
Upaya untuk mendapatkan hak pengeboran minyak di Arktik misalnya dianggap beberapa analis sebagai potensi awal Perang Dingin baru, saat sejumlah negara berkompetisi mendapatkan akses ke sebagian deposit minyak yang belum terjamah di planet ini, untuk mengeruk keuntungan dan keamanan energi.
Hal ini terjadi meski peneliti menunjukkan sepertiga cadangan minyak yang telah ditemukan di dunia harus tetap dipertahankan di dalam bumi untuk menghindari percepatan perubahan iklim yang dapat mengakibatkan krisis suplai makanan. Cadangan energi yang telah ditemukan itu termasuk setengah cadangan gas dan 80% cadangan batu bara.
Berbagai risiko iklim tidak dapat diatasi secara efektif kecuali berbagai kontradiksi itu diselesaikan. Salah satu cara untuk mencapainya ialah melalui orang-orang yang berupaya dan mengubah cara pemerintah dan berbagai lembaga berperilaku. ”Perubahan kecil dapat membuat perbedaan besar dan individu, khususnya saat bekerja sama, dapat menghasilkan perubahan sosial yang besar,” tutur O’Brien.
Menyatukan kekuatan politik dan ekonomi untuk menyelesaikan masalah perubahan iklim akan sulit, tapi harus dilakukan. Menurut O’Brien, saat bumi 4 derajat Celsius lebih panas, yang diperkirakan terjadi pada 2100. Itu akan mengubah kehidupan di bumi.
Beradaptasi pada beberapa masalah terkait, termasuk meningkatnya kematian akibat gelombang panas ekstrem di Asia Selatan, akan sangat sulit. ”Beberapa peluang terbesar untuk membawa dunia ke jalur yang berbeda mungkin berada di kota-kota yang tumbuh pesat,” tutur Shobhakar Dhakal dari Asian Institute of Technology di Thailand.
Saat ini lebih dari 70% emisi global diakibatkan oleh penggunaan energi dari berbagai kota, menurut para peneliti di Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Pada 2050 wilayah perkotaan akan memiliki lebih dari 2,6 miliar orang, sebagian besar di Asia dan Afrika.
Jika berbagai wilayah perkotaan dapat membangun rumah yang dekat dengan tempat kerja dan jasa serta membuat transportasi publik dan berjalan kaki menjadi pilihan bagus, emisi gas penyebab perubahan iklim dapat dikurangi secara dramatis. ”Kemampuan kita untuk memangkas emisi gas rumah kaca global bergantung pada bagaimana kota kita bangun,” ujar Dhakal.
Menurut Rektor Ibaraki University, Jepang, Nobuo Minura, perkembangan nyata dalam perubahan iklim dan pengurangan kerentanan pada berbagai dampaknya juga memerlukan koordinasi berbagai aktivitas, termasuk kebijakan sosial, perencanaan kota, asuransi, pengamatan cuaca, dan penggunaan teknologi yang tepat. Johan Rockstrom dari Stockholm Resilience Centre memperingatkan,
”Kita sebagai manusia sekarang dalam posisi untuk mengacaukan stabilitas seluruh sistem global dengan mendorong perubahan iklim. Banyak sistem pemerintahan dan ekonomi yang didesain sekitar kegiatan emisi tinggi. Sekarang kita perlu hubungan baru antara orang dan planet.”
Syarifudin
(ftr)