MK: Keluarga Petahana Bisa Ikut Pilkada
A
A
A
JAKARTA - Polemik boleh tidaknya kerabat atau keluarga kepala daerah petahana (incumbent) maju dalam pilkada akhirnya terang.
Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin memutuskan keluarga atau kerabat diperbolehkan mencalonkan diri dalam pilkada tanpa harus menunggu jeda satu kali jabatan dari petahana. MK menilai pembatasan keluarga petahana sebagaimana tertuang di Undang-Undang Nomor 8/2015 mengandung unsur diskriminatif jika hanya didasarkan pada status kerabat dan hubungan kelahiran.
”Menyatakan Pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta kemarin.
Dalam pertimbangan putusan atas gugatan anggota DPRD Sulawesi Selatan Adnan Purichta itu, MK menilai hubungan kerabat maupun keluarga dengan petahana tidaklah mengganggu kebebasan ataupun menghalangi orang lain untuk ikut mencalonkan diri dalam pilkada.
Bagi mahkamah, harusnya pembatasan ini ditujukan untuk kepala daerah itu sendiri, bukan kerabat maupun keluarga guna menghindari penyalahgunaan wewenang. Mahkamah menilai petahana memiliki berbagai macam keuntungan seperti kebijakan dan alokasi anggaran yang bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan dirinya atau kerabatnya.
Namun MK tidak menyebutkan dengan detail pembatasan apa yang ditujukan bagi petahana itu. Untuk itu, menurut Arief, perlu dirumuskan dalam norma UU mengenai pembatasanpembatasan kewenangan apabila ada kerabat yang ikut dalam pilkada agar penyalahgunaan keuntungan yang dimiliki petahana tidak disalahgunakan.
Dengan kata lain, pembentuk UU harus merumuskan norma baru untuk mencegah terjadinya dinasti politik tanpa menghalangi hak seseorang untuk ikut dalam pilkada. Ariefmenandaskan, hadirnya Pasal7hurufrbesertapenjelasannya dikarenakan tidak optimalnya fungsi pengawasan terhadap kepala daerah yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebab, jika fungsi pengawasan sudah berjalan dengan baik, kekhawatiran yang dituangkan menjadi pembatasan keluarga petahana dalam Pasal 7 huruf r tidak perlu ada. ”Problem sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana,” ungkap hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang.
Menanggapi putusan ini, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menyatakan keputusan MK sama saja membuka kelonggaran bagi petahana. Sebab alasan DPR membuat aturan larangan bagi keluarga petahana adalah untuk mencegah munculnya dinasti politik. ”Kalau dihapus ya sudah, jadi peraturan KPU dan UU sudah berantakan. Jadi tidak usah pakai surat edaran (SE),” ungkap Rambe di Jakarta kemarin.
Menurut Ketua DPR Setya Novanto, karena itu putusan MK yang bersifat final dan mengikat, semua harus diikuti. DPR dalam hal ini tidak bisa mengubah walaupun persiapan di daerah sudah cukup matang mengenai pilkada serentak ini. ”Seharusnya tidak ada perubahan,” ujar Novanto.
KPU menandaskan siap melaksanakan putusan terbaru dari MK ini. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan putusan ini akan diterapkan pada penyelenggaraan pilkada tahun ini. Pascaputusan MK, KPU akan segera melakukan perubahan atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9/2015 tentang Pencalonan.
Seperti diketahui, pendaftaran calon kepala daerah akan dilaksanakan pada 26-28 Juli. ”Perubahan atas PKPU No 9 akan kami buat segera,” ungkap dia. Menanggapi putusan MK, anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan, sekalipun ada aturan pelarangan politik dinasti, pihaknya tetap melakukan pengawasan secara maksimal.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sangat menyayangkan putusan MK yang hanya mengakomodasi perlindungan hak politik keluarga petahana tanpa mengelaborasi lebih jauh soal konsep pilkada yang jujur, adil, dan demokratis. Putusan ini sama saja memberikan kelonggaran bagi para petahana untuk membangun dinasti politik di daerahnya.
MK kemarin juga memutuskan seorang pegawai negeri sipil (PNS) diharuskan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.
Nurul adriyana/ Dita angga/ Kiswondari
Mahkamah Konstitusi (MK) kemarin memutuskan keluarga atau kerabat diperbolehkan mencalonkan diri dalam pilkada tanpa harus menunggu jeda satu kali jabatan dari petahana. MK menilai pembatasan keluarga petahana sebagaimana tertuang di Undang-Undang Nomor 8/2015 mengandung unsur diskriminatif jika hanya didasarkan pada status kerabat dan hubungan kelahiran.
”Menyatakan Pasal 7 huruf r beserta penjelasan Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bertentangan dengan UUD 1945,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta kemarin.
Dalam pertimbangan putusan atas gugatan anggota DPRD Sulawesi Selatan Adnan Purichta itu, MK menilai hubungan kerabat maupun keluarga dengan petahana tidaklah mengganggu kebebasan ataupun menghalangi orang lain untuk ikut mencalonkan diri dalam pilkada.
Bagi mahkamah, harusnya pembatasan ini ditujukan untuk kepala daerah itu sendiri, bukan kerabat maupun keluarga guna menghindari penyalahgunaan wewenang. Mahkamah menilai petahana memiliki berbagai macam keuntungan seperti kebijakan dan alokasi anggaran yang bisa saja disalahgunakan untuk kepentingan dirinya atau kerabatnya.
Namun MK tidak menyebutkan dengan detail pembatasan apa yang ditujukan bagi petahana itu. Untuk itu, menurut Arief, perlu dirumuskan dalam norma UU mengenai pembatasanpembatasan kewenangan apabila ada kerabat yang ikut dalam pilkada agar penyalahgunaan keuntungan yang dimiliki petahana tidak disalahgunakan.
Dengan kata lain, pembentuk UU harus merumuskan norma baru untuk mencegah terjadinya dinasti politik tanpa menghalangi hak seseorang untuk ikut dalam pilkada. Ariefmenandaskan, hadirnya Pasal7hurufrbesertapenjelasannya dikarenakan tidak optimalnya fungsi pengawasan terhadap kepala daerah yang dilakukan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Sebab, jika fungsi pengawasan sudah berjalan dengan baik, kekhawatiran yang dituangkan menjadi pembatasan keluarga petahana dalam Pasal 7 huruf r tidak perlu ada. ”Problem sesungguhnya adalah tidak optimalnya mekanisme pengawasan terhadap kepala daerah petahana,” ungkap hakim konstitusi Anwar Usman dalam sidang.
Menanggapi putusan ini, Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman menyatakan keputusan MK sama saja membuka kelonggaran bagi petahana. Sebab alasan DPR membuat aturan larangan bagi keluarga petahana adalah untuk mencegah munculnya dinasti politik. ”Kalau dihapus ya sudah, jadi peraturan KPU dan UU sudah berantakan. Jadi tidak usah pakai surat edaran (SE),” ungkap Rambe di Jakarta kemarin.
Menurut Ketua DPR Setya Novanto, karena itu putusan MK yang bersifat final dan mengikat, semua harus diikuti. DPR dalam hal ini tidak bisa mengubah walaupun persiapan di daerah sudah cukup matang mengenai pilkada serentak ini. ”Seharusnya tidak ada perubahan,” ujar Novanto.
KPU menandaskan siap melaksanakan putusan terbaru dari MK ini. Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan putusan ini akan diterapkan pada penyelenggaraan pilkada tahun ini. Pascaputusan MK, KPU akan segera melakukan perubahan atas Peraturan KPU (PKPU) Nomor 9/2015 tentang Pencalonan.
Seperti diketahui, pendaftaran calon kepala daerah akan dilaksanakan pada 26-28 Juli. ”Perubahan atas PKPU No 9 akan kami buat segera,” ungkap dia. Menanggapi putusan MK, anggota Bawaslu Nasrullah mengatakan, sekalipun ada aturan pelarangan politik dinasti, pihaknya tetap melakukan pengawasan secara maksimal.
Direktur Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini sangat menyayangkan putusan MK yang hanya mengakomodasi perlindungan hak politik keluarga petahana tanpa mengelaborasi lebih jauh soal konsep pilkada yang jujur, adil, dan demokratis. Putusan ini sama saja memberikan kelonggaran bagi para petahana untuk membangun dinasti politik di daerahnya.
MK kemarin juga memutuskan seorang pegawai negeri sipil (PNS) diharuskan mengundurkan diri dari jabatannya jika ingin mengajukan diri sebagai calon kepala daerah.
Nurul adriyana/ Dita angga/ Kiswondari
(ftr)