Pendidikan Indonesia Masih Tertinggal
A
A
A
KUNINGAN - Pendidikan di Indonesia dinilai masih jauh tertinggal dibandingkan negara lain. Karena itu, perlu dukungan semua pihak agar lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren, terus tumbuh sehingga bisa meningkatkan pendidikan masyarakat.
”Masalah bangsa kita tidak hanya kesenjangan sosial. Pendidikan juga tertinggal,” ujar Ketua Umum DPP Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) di Ponpes Nurul Huda, Kuningan, Jawa Barat, kemarin. Mayoritas penduduk Indonesia hanya mengenyam pendidikan SD ke bawah. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2015, tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tenaga berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 54,61 juta orang atau 45,19%.
Tingkat sekolah menengah pertama 21,47 juta orang atau sebesar 17,77 persen. Tenaga lulusan sekolah menengah atas 19,81 juta orang, kejuruan 11,80 juta. Adapun yang berpendidikan diploma dan universitas masing-masing 3,14 juta dan 10,02 juta orang. Menurut HT, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas nasional.
”Lembaga pendidikan dalam bentuk apa pun termasuk pesantren harus tumbuh. Segala bentuk pendidikan dengan tujuan membangun bangsa harus mendapat dukungan,” katanya. Pesantren, kata HT, menjadi salah satu wadah pembentukan moral generasi muda. ”Penting untuk mendidik moral bangsa Indonesia. Bagaimana moral dijunjung dengan baik. Jadi pondok pesantren harus didukung,” ujarnya.
Pada kunjungannya ke Ponpes Nurul Huda HT memberikan bingkisan berupa Alquran dan perangkat salat kepada para santri. Dalam acara tersebut para santri tampak be-rebut untuk foto bersama HT.
Pimpinan Ponpes Nurul Huda KH Abdul Aziz Anbar Nawawi mengungkapkan kegembiraannya atas kehadiran HT. ”Yang gembira bukan saya saja. Para kiai di Jawa juga gembira. Beliau ini akrab dengan para ulama, akrab dengan kiaikiai NU,” kata Abdul.
Bangun potensi daerah
Kunjungan HT ke Kuningan adalah rangkaian dari safari Ramadan. Di hari yang sama, CEO MNC Group ini memberikan kuliah umum di Universitas Al-Ihya, Kuningan, Jawa Barat. Selama safari Ramadan HT melihat langsung kondisi masyarakat di desa. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara pembangunan di daerah dan kota besar. Padahal, untuk mempersempit kesenjangan perlu pemerataan pembangunan. ”Masyarakat yang tertinggal kebanyakan di daerah,” tuturnya.
Untuk itu, HT menilai perlu mengembangkan potensi masing- masing daerah yang didukung kebijakan khusus. Dia mencontohkan Kabupaten Kuningan yang memiliki basis pertanian. Saat ini petani di Kabupaten Kuningan dan daerah- daerah lain punya masalah yang sama.
Pertama, kepemilikan lahan. Kebanyakan petani hanya sebatas penggarap yang bisa kehilangan lahan garapannya kapan saja. ”Produksi pertanian turun karena lahan pertanian berkurang. Perlu kebijakan bagaimana petani bisa menjadi pemilik lahan, misalnya dengan mencicil dari hasil pertanian mereka,” ungkapnya.
Seperti diketahui, jumlah sawah di Indonesia terus menurun. Laju tahunan konversi lahan baru sekitar 100.000 ha per tahun. Jumlah petani pun terus menyusut, sebagai gambaran dari 31,23 juta rumah tangga petani di tahun 2003 menjadi 26,14 juta rumah tangga pada 2013.
Artinya berkurang sejumlah 5 juta petani dalam sepuluh tahun. HT menuturkan, selain lahan para petani mengalami kendala modal. Mereka kesulitan membeli bibit, pupuk, dan peralatan pertanian. Selain itu, petani juga butuh pelatihan agar produktivitas bisa meningkat.
”Petani perlu akses modal yang murah, cepat, dan mudah sehingga mereka tidak perlu lagi bertransaksi dengan pengijon dan tengkulak,” katanya.
Erika octaviana
”Masalah bangsa kita tidak hanya kesenjangan sosial. Pendidikan juga tertinggal,” ujar Ketua Umum DPP Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT) di Ponpes Nurul Huda, Kuningan, Jawa Barat, kemarin. Mayoritas penduduk Indonesia hanya mengenyam pendidikan SD ke bawah. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2015, tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi oleh tenaga berpendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 54,61 juta orang atau 45,19%.
Tingkat sekolah menengah pertama 21,47 juta orang atau sebesar 17,77 persen. Tenaga lulusan sekolah menengah atas 19,81 juta orang, kejuruan 11,80 juta. Adapun yang berpendidikan diploma dan universitas masing-masing 3,14 juta dan 10,02 juta orang. Menurut HT, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat menjadi salah satu penyebab rendahnya produktivitas nasional.
”Lembaga pendidikan dalam bentuk apa pun termasuk pesantren harus tumbuh. Segala bentuk pendidikan dengan tujuan membangun bangsa harus mendapat dukungan,” katanya. Pesantren, kata HT, menjadi salah satu wadah pembentukan moral generasi muda. ”Penting untuk mendidik moral bangsa Indonesia. Bagaimana moral dijunjung dengan baik. Jadi pondok pesantren harus didukung,” ujarnya.
Pada kunjungannya ke Ponpes Nurul Huda HT memberikan bingkisan berupa Alquran dan perangkat salat kepada para santri. Dalam acara tersebut para santri tampak be-rebut untuk foto bersama HT.
Pimpinan Ponpes Nurul Huda KH Abdul Aziz Anbar Nawawi mengungkapkan kegembiraannya atas kehadiran HT. ”Yang gembira bukan saya saja. Para kiai di Jawa juga gembira. Beliau ini akrab dengan para ulama, akrab dengan kiaikiai NU,” kata Abdul.
Bangun potensi daerah
Kunjungan HT ke Kuningan adalah rangkaian dari safari Ramadan. Di hari yang sama, CEO MNC Group ini memberikan kuliah umum di Universitas Al-Ihya, Kuningan, Jawa Barat. Selama safari Ramadan HT melihat langsung kondisi masyarakat di desa. Terdapat kesenjangan yang mencolok antara pembangunan di daerah dan kota besar. Padahal, untuk mempersempit kesenjangan perlu pemerataan pembangunan. ”Masyarakat yang tertinggal kebanyakan di daerah,” tuturnya.
Untuk itu, HT menilai perlu mengembangkan potensi masing- masing daerah yang didukung kebijakan khusus. Dia mencontohkan Kabupaten Kuningan yang memiliki basis pertanian. Saat ini petani di Kabupaten Kuningan dan daerah- daerah lain punya masalah yang sama.
Pertama, kepemilikan lahan. Kebanyakan petani hanya sebatas penggarap yang bisa kehilangan lahan garapannya kapan saja. ”Produksi pertanian turun karena lahan pertanian berkurang. Perlu kebijakan bagaimana petani bisa menjadi pemilik lahan, misalnya dengan mencicil dari hasil pertanian mereka,” ungkapnya.
Seperti diketahui, jumlah sawah di Indonesia terus menurun. Laju tahunan konversi lahan baru sekitar 100.000 ha per tahun. Jumlah petani pun terus menyusut, sebagai gambaran dari 31,23 juta rumah tangga petani di tahun 2003 menjadi 26,14 juta rumah tangga pada 2013.
Artinya berkurang sejumlah 5 juta petani dalam sepuluh tahun. HT menuturkan, selain lahan para petani mengalami kendala modal. Mereka kesulitan membeli bibit, pupuk, dan peralatan pertanian. Selain itu, petani juga butuh pelatihan agar produktivitas bisa meningkat.
”Petani perlu akses modal yang murah, cepat, dan mudah sehingga mereka tidak perlu lagi bertransaksi dengan pengijon dan tengkulak,” katanya.
Erika octaviana
(ftr)