Lie Detector

Minggu, 05 Juli 2015 - 10:20 WIB
Lie Detector
Lie Detector
A A A
Salah satu isu yang cukup menarik dalam kasus terbunuhnya Engeline, bocah umur 8 tahun, di Bali adalah digunakannya lie detector oleh polisi untuk menguji apakah tersangka jujur atau bohong dalam memberikan keterangan.

Alat pendeteksi kebohongan, atau alat tes kejujuran mulai digunakan pada awal abad ke-20. Prinsip yang digunakan adalah teori psikologi yang paling dasar, yang kita alami sehari-hari, yaitu bahwa antara badan dan jiwa ada hubungan yang sangat erat, khususnya dengan sistem syaraf otonom (syaraf yang tidak dikendalikan oleh otak, melainkan berlangsung secara otomatis).

Seorang gadis yang dilamar kekasihnya mungkin hanya tersipu, tetapi wajahnya memerah jambu, atau orang yang ketakutan dikejar anjing bisa terkencing- kencing. Demikian pula orang yang berbohong tentu akan menunjukkan reaksi tubuh yang berbeda dari ketika ia berbicara jujur.

Orang yang berbohong, misalnya, jantungnya berdebar lebih keras, nafasnya lebih cepat, pupil matanya lebih besar, suaranya bergetar dsb.

Karena itu, pada tahun 1921 John August Larson, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Berkeley (tidak ada hubungannya dengan Universitas “Berkley”, Michigan, yang meluluskan doktor dan profesor aspal di Indonesia) menciptakan alat yang dinamakan poligraph (berasal dari kata “poly” yang artinya “lebih dari satu” dan grafik atau “gambar”), yang ditempelkan di bagian-bagian tubuh tertentu dan bisa mencetak grafik berbagai perubahan faal tubuh (untuk pasien jantung, tentu pernah mengalami dipasangi alat yang bernama EKG atau elektro kardiogram, nah, kurang lebih seperti itulah alatnya).

Sesudah dipasangi alat itu, kemudian kepada tersangka diajukan serangkaian pertanyaan, yang terkait maupun tidak terkait dengan kasus. Ketika terdakwa menjawab dengan bohong, maka grafik yang tercetak menunjukkan lonjakan-lonjakan tertentu sehingga pemeriksa bisa membedakan mana jawaban yang benar dan mana yang tidak jujur. Mudahsekalibukan? Karena itulah di Amerika alat ini cukup populer.

Selain kepolisian, juga FBI, CIA, imigrasi, penjaga perbatasan, bea-cukai, kementerian pertahanan, dll sering menggunakan alat ini. Berbagai penelitian pun diadakan untuk menunjang kesahihan alat ini. Bahkan para operator poligraf ini di negeri Paman Sam itu sudah mempunyai organisasi profesional yang mereka namakan the American Polygraph Association.

*** Di sisi lain, hasil alat tes kebohongan (atau kejujuran?) inisampaihari inibelumditerima oleh pengadilan Amerika sebagai alat bukti. Begitu juga di pengadilan-pengadilan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sepanjang yang saya ketahui, hanya pengadilan di Jepang yang pernah menggunakan poligraf sebagai salah satu alat bukti dalam sidangnya. Alasannya juga sederhana.

Memang benar kondisi jiwa berhubungan dan berpengaruh pada sistem syaraf otonom, tetapi perubahan faal tubuh bukan alat yang bisa membedakan antarkondisi jiwa yang berbeda- beda. Wajah yang memerah pada gadis karena tersipu dilamar kekasih sama merahnya dengan wajah siswa SMA yang selalu top ranking di kelas, yang tiba-tiba ketahuan mencontek. Juga bukan hanya orang ketakutan yang terkencing- kencing.

Pelawak Nunung sering tertawa sendiri di panggung sampai terkencing- kencing sehingga ia terpaksa lari keluar panggung dulu untuk menyelesaikan hajatnya. Maka, di Amerika pun sudah lama diadakan penelitian yang hasilnya menolak poligraf. Dikatakan bahwa poligraf memang bisa membedakan kondisi kejiwaan, tetapi akurasinya sangat rendah. Kurang dari 95% sebagaimana dipersyaratkan untuk suatu penelitian ilmiah.

Bahkan, untuk tes kebohongan dibutuhkan akurasi atau derajat kepercayaan 100%. Bayangkan, kalau polisi mau menjaring seorang teroris dari seratus tersangka, maka kemungkinan teroris itu akan lolos kalau derajat kepercayaan alat itu tidak 100%. Demikian juga seseorang bisa kena hukuman mati, meskipun tidak bersalah. Karena itu, pada tahun 1983 sebuah komisi dari Kongres AS dibentuk untuk mengetes kesahihan alat tes kebohongan ini.

Sebagai hasilnya mereka menyatakan alat itu tidak sahih (tidak valid). Pernyataan ini disusul dengan publikasi oleh APA(AsosiasiPsikologi Amerika) dalam majalah mereka, Monitor on Psychology, yang menyimpulkan bahwa hasil poligraf diragukan. Maka status ilmu poligrafi dalam psikologi digolongkan ke dalam pseudo science (ilmu semu) sama dengan palmistri (ilmu tentang rajah tangan), astrologi atau tarrot .

Kalaupun masih tetap digunakan oleh aparat-aparat penegak hukum itu adalah karena alat ini bisa digunakan untuk menakut- nakuti tersangka, sehingga mereka takut bohongnya ketahuan, sehingga terpaksa bicara jujur. Jadi bukan karena kecanggihan alat itu sendiri, namun karena perang urat syaraf (psywar) saja. Tetapi sekarang bagaimana kalau alat poligraf ini digunakan di luar kepolisian?

Sekarang sudah ada poligraf berukuran mini, sebesar gadget. Kalau ini dipakai oleh orang tua pada anaknya yang sering berbohong atau istri pada suami yang dicurigainya, akan jadi baikkah atau malah membuat runyam hubungan yang tadinya harmonis?

Dalam psikologi dikenal paradigma bahwa lebih baik sebuah hubungan didasari oleh kepercayaan daripada kecurigaan (karena itu cukup dengan cinta kasih, tidak perlu poligraf), sementara jika berhubungan dengan penjahat justru jangan terlalu percaya. Di situlah kadang kita perlu alat tes kebohongan, walaupun hanya sebagai psywar.

Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0633 seconds (0.1#10.140)