52% Alutsista TNI Beroperasi Lebih dari 30 Tahun
A
A
A
JAKARTA - Jatuhnya pesawat kargo TNI AU C-130 beberapa hari lalu menambah daftar panjang deretan kecelakaan fatal yang melibatkan alutsista TNI. Kondisi tersebut berbahaya bagi kemampuan pertahanan negeri ini.
Sebab, bukan tidak mungkin insiden di Medan dapat menurunkan kepercayaan diri prajurit dan memengaruhi kemampuan effect deterrence Indonesia terhadap lawan.
"Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari 2006-2015 ada 18 insiden fatal yang melibatkan pesawat militer TNI. Jadi rata-rata setiap tahun dua kali," ujar Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Iis Gindarsih saat menggelar Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
Berdasarkan data base yang dimiliki CSIS per Desember 2014 lalu, TNI mengoperasikan 160 jenis alutsista dengan komposisi 64 jenis persenjataan untuk matra darat, kemudian 56 jenis persenjataan matra laut dan 40 tipe pesawat matra udara. Setidaknya, ada dua temuan terkait dengan kondisi sistem persenjataan TNI.
"Pertama, bila dilihat masa operasionalnya, mayoritas atau sekitar 52% dari total alutsista TNI telah dipergunakan lebih dari 30 tahun, meski usia alutsista tidak otomatis bahwa sistem persenjataan yang ada tidak baik untuk dioperasionalkan mengingat ada faktor teknis seperti pemeliharaan rutin dan perbaikan," jelasnya.
Kedua, meski modernisasi TNI telah dimulai sejak tahun 2000, akuisisi pertahanan Indonesia tampak lebih dititikberatkan untuk mengganti alutsista yang tidak lagi relevan dengan ancaman dan dinamika persenjataan di kawasan.
Menurut Iis Gindarsih, penggunaan alutsista usang ini paling banyak bukan di matra udara melainkan di darat dan laut. Dia mencontohkan, di matra Angkatan Darat (AD) 40% alutsistanya berusia di atas 40 tahun.
Bahkan, ada beberapa artileri yang diakuisisi sejak awal 1950 ketika Jenderal Nasution masih menjabat. Demikian juga di Angkatan Laut (AL), Kapal Perang Frigate kelas Pattimura diakuisisi 1980 dan sudah pernah dipakai oleh Angkatan Laut Belanda sejak 1950.
"Ini temuan yang sangat mengejutkan. Jadi akuisisi militer oleh TNI sampai saat ini masih andalkan alutsista hibah," katanya.
Selain itu, keterbatasan anggaran turut menjadi faktor utama yang menghambat modernisasi baik di matra darat, laut maupun udara. Pengadaan alutsista terbaru dalam 10-15 tahun belakangan ini hanya sekitar 19% dari total variasi sistem persenjataan TNI.
Dirinya melihat, logika yang digunakan pemerintah dan DPR tampaknya menempatkan anggaran militer sebagai variable independen dalam pengembangan kekuatan pertahanan Indonesia. Sedangkan di negara-negara lain menempatkan anggaran sebagai variabel dependen yakni, konsekuensi dari upaya pengembangan kapabilitas pertahanan militer negara.
Artinya, bila pemerintah negara tersebut menginginkan pengadaan satu atau dua skuadron pesawat tempur dengan kapabilitas tertentu maka otomatis anggaran akan dikalkulasikan dengan pesawat sesuai spesifikasi yang diinginkan.
Berbeda dengan Indonesia dimana anggaran ditetapkan terlebih dahulu, baru kemudian jumlah pesawat dan skuadron ditentukan sesuai ketersediaan anggaran tersebut.
"Jadi ada perbedaan perspektif perencanaan anggaran dan pengembangan kekuatan pertahanan di Indonesia. Ini ada anomali perencanaan. Jadi bisa disimpulkan proses modernisasi alutsista berjalan lamban."
"Melihat perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista TNI yang ada, pemerintah dan DPR hendaknya mengintensifkan upaya modernisasi militer khususnya dukungan finansial," sambungnya.
Karenanya, komitmen pemerintah agar anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari Gross Domestic Product (GDP) patut menjadi momentum untuk membangkitkan kejayaan industri dalam negeri. Meskipun hal itu sangat dipengaruhi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
PILIHAN:
Hercules Jatuh, Komisi I DPR Minta TNI Tanggung Jawab
Pembaruan Alutsista TNI Dilakukan Bertahap
Sebab, bukan tidak mungkin insiden di Medan dapat menurunkan kepercayaan diri prajurit dan memengaruhi kemampuan effect deterrence Indonesia terhadap lawan.
"Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir dari 2006-2015 ada 18 insiden fatal yang melibatkan pesawat militer TNI. Jadi rata-rata setiap tahun dua kali," ujar Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Iis Gindarsih saat menggelar Media Briefing Situasi dan Kondisi Alutsista TNI di Auditorium CSIS, Gedung Pakarti Centre, Jakarta Pusat, Jumat (3/7/2015).
Berdasarkan data base yang dimiliki CSIS per Desember 2014 lalu, TNI mengoperasikan 160 jenis alutsista dengan komposisi 64 jenis persenjataan untuk matra darat, kemudian 56 jenis persenjataan matra laut dan 40 tipe pesawat matra udara. Setidaknya, ada dua temuan terkait dengan kondisi sistem persenjataan TNI.
"Pertama, bila dilihat masa operasionalnya, mayoritas atau sekitar 52% dari total alutsista TNI telah dipergunakan lebih dari 30 tahun, meski usia alutsista tidak otomatis bahwa sistem persenjataan yang ada tidak baik untuk dioperasionalkan mengingat ada faktor teknis seperti pemeliharaan rutin dan perbaikan," jelasnya.
Kedua, meski modernisasi TNI telah dimulai sejak tahun 2000, akuisisi pertahanan Indonesia tampak lebih dititikberatkan untuk mengganti alutsista yang tidak lagi relevan dengan ancaman dan dinamika persenjataan di kawasan.
Menurut Iis Gindarsih, penggunaan alutsista usang ini paling banyak bukan di matra udara melainkan di darat dan laut. Dia mencontohkan, di matra Angkatan Darat (AD) 40% alutsistanya berusia di atas 40 tahun.
Bahkan, ada beberapa artileri yang diakuisisi sejak awal 1950 ketika Jenderal Nasution masih menjabat. Demikian juga di Angkatan Laut (AL), Kapal Perang Frigate kelas Pattimura diakuisisi 1980 dan sudah pernah dipakai oleh Angkatan Laut Belanda sejak 1950.
"Ini temuan yang sangat mengejutkan. Jadi akuisisi militer oleh TNI sampai saat ini masih andalkan alutsista hibah," katanya.
Selain itu, keterbatasan anggaran turut menjadi faktor utama yang menghambat modernisasi baik di matra darat, laut maupun udara. Pengadaan alutsista terbaru dalam 10-15 tahun belakangan ini hanya sekitar 19% dari total variasi sistem persenjataan TNI.
Dirinya melihat, logika yang digunakan pemerintah dan DPR tampaknya menempatkan anggaran militer sebagai variable independen dalam pengembangan kekuatan pertahanan Indonesia. Sedangkan di negara-negara lain menempatkan anggaran sebagai variabel dependen yakni, konsekuensi dari upaya pengembangan kapabilitas pertahanan militer negara.
Artinya, bila pemerintah negara tersebut menginginkan pengadaan satu atau dua skuadron pesawat tempur dengan kapabilitas tertentu maka otomatis anggaran akan dikalkulasikan dengan pesawat sesuai spesifikasi yang diinginkan.
Berbeda dengan Indonesia dimana anggaran ditetapkan terlebih dahulu, baru kemudian jumlah pesawat dan skuadron ditentukan sesuai ketersediaan anggaran tersebut.
"Jadi ada perbedaan perspektif perencanaan anggaran dan pengembangan kekuatan pertahanan di Indonesia. Ini ada anomali perencanaan. Jadi bisa disimpulkan proses modernisasi alutsista berjalan lamban."
"Melihat perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista TNI yang ada, pemerintah dan DPR hendaknya mengintensifkan upaya modernisasi militer khususnya dukungan finansial," sambungnya.
Karenanya, komitmen pemerintah agar anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari Gross Domestic Product (GDP) patut menjadi momentum untuk membangkitkan kejayaan industri dalam negeri. Meskipun hal itu sangat dipengaruhi pertumbuhan ekonomi rata-rata 5%.
PILIHAN:
Hercules Jatuh, Komisi I DPR Minta TNI Tanggung Jawab
Pembaruan Alutsista TNI Dilakukan Bertahap
(kri)