Pengacara Hadi Poernomo: KPK Jangan Sok Berkuasa
A
A
A
JAKARTA - Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo melalui kuasa hukumnya meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jangan sok berkuasa dan unjuk kekuatan.
Ihwal itu disampaikan Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Hadi untuk menyikapi dua langkah KPK menempuh peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dan penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru untuk penetapan Hadi sebagai tersangka lagi.
Maqdir Ismail menilai, KPK tidak bisa mengajukan PK, karena KPK bukan terpidana atau ahli warisnya. Langkah itu tidak masuk akal dan tidak ada landasan secara hukum.
Dia menyatakan, hingga kini KPK belum melaksanakan putusan praperadilan. Harusnya KPK melaksanakannya bukan malah berkoar-koar melakukan upaya perlawanan hukum. Dia mempertanyakan siapa sebenarnya yang menyelundupkan hukum kalau KPK beranggapan demikian.
"Siapa yang menyebutkan ada penyelundupan hukum? Yang pokok itu begini, mereka (KPK) laksanakan lah, mereka mengeksekusi dulu putusan praperadilan," kata Maqdir saat dihubungi SINDO, Senin (29/6/2015) malam.
Dia juga mempertanyakan apa dasar KPK ingin menerbitkan sprindik baru penetapan kembali Hadi sebagai tersangka. Bila disebutkan ada kejahatan, maka pertanyaan yang kembali muncul adalah ada kejahatan apa sebenarnya.
Menurut Maqdir, dalam perkara kliennya yang dilakukan harusnya penegakan hukum bukan soal menang-menangan. "Bukan sok-sok kuasa. Gitu loh. Jadi jangan KPK itu karena merasa dikalahkan, lantas mau unjuk-unjuk kekuatan bisa melakukan apa saja," ujarnya.
Maqdir membenarkan, dalam putusan MK terkait praperadilan memang tidak menghilangkan unsur pidana yang dilakukan seseorang. "Tapi kan itu ada syaratnya orang dijadikan sebagai tersangka itu."
"Selain harus ada bukti, juga harus ada pemeriksaan terhadap calon tersangkanya. Kan begitu putusannya. Kalau KPK mau menegakan hukum, jangan setengah-setengahlah," bebernya.
Dia menyarankan, kalaupun KPK ingin menetapkan tersangka siapapun dia dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA tahun pajak 1999, maka harus dilakukan penyelidikan ulang. Artinya, KPK tidak bisa sesuka hati menetapkan tersangka.
"Enggak bisa sesuka hati mereka (KPK), enggak bisa begitu," ungkapnya.
Kata dia, salah satu argumen Hadi dalam praperadilan adalah penyelidik dan penyidik KPK tidak sah. Dasarnya karena penyelidik dan penyidik itu bukan polisi. Padahal dalam Pasal 38 Ayat (2) UU KPK jelas tertuang bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) saja jadi penyidik KPK.
"Apalagi orang yang enggak jelas asal usulnya jadi penyelidik dan penyidik. Karena begini, untuk jadi penyelidik dan penyidik KPK syaratnya itu harus polisi, bukan seluruh warga negara. Saya kira itu yang penting," ucapnya.
"Orang yang ngomong penyelundupan hukum mestinya baca dulu secara baik putusan praperadilan, kemudian argumen-argumen Pak Hadi Poernomo musti mereka baca secara baik, dan kemudian lihat lagi UU (KPK) secara benar," sambung Maqdir.
Ihwal itu disampaikan Maqdir Ismail selaku kuasa hukum Hadi untuk menyikapi dua langkah KPK menempuh peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dan penerbitan surat perintah penyidikan (Sprindik) baru untuk penetapan Hadi sebagai tersangka lagi.
Maqdir Ismail menilai, KPK tidak bisa mengajukan PK, karena KPK bukan terpidana atau ahli warisnya. Langkah itu tidak masuk akal dan tidak ada landasan secara hukum.
Dia menyatakan, hingga kini KPK belum melaksanakan putusan praperadilan. Harusnya KPK melaksanakannya bukan malah berkoar-koar melakukan upaya perlawanan hukum. Dia mempertanyakan siapa sebenarnya yang menyelundupkan hukum kalau KPK beranggapan demikian.
"Siapa yang menyebutkan ada penyelundupan hukum? Yang pokok itu begini, mereka (KPK) laksanakan lah, mereka mengeksekusi dulu putusan praperadilan," kata Maqdir saat dihubungi SINDO, Senin (29/6/2015) malam.
Dia juga mempertanyakan apa dasar KPK ingin menerbitkan sprindik baru penetapan kembali Hadi sebagai tersangka. Bila disebutkan ada kejahatan, maka pertanyaan yang kembali muncul adalah ada kejahatan apa sebenarnya.
Menurut Maqdir, dalam perkara kliennya yang dilakukan harusnya penegakan hukum bukan soal menang-menangan. "Bukan sok-sok kuasa. Gitu loh. Jadi jangan KPK itu karena merasa dikalahkan, lantas mau unjuk-unjuk kekuatan bisa melakukan apa saja," ujarnya.
Maqdir membenarkan, dalam putusan MK terkait praperadilan memang tidak menghilangkan unsur pidana yang dilakukan seseorang. "Tapi kan itu ada syaratnya orang dijadikan sebagai tersangka itu."
"Selain harus ada bukti, juga harus ada pemeriksaan terhadap calon tersangkanya. Kan begitu putusannya. Kalau KPK mau menegakan hukum, jangan setengah-setengahlah," bebernya.
Dia menyarankan, kalaupun KPK ingin menetapkan tersangka siapapun dia dalam kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA tahun pajak 1999, maka harus dilakukan penyelidikan ulang. Artinya, KPK tidak bisa sesuka hati menetapkan tersangka.
"Enggak bisa sesuka hati mereka (KPK), enggak bisa begitu," ungkapnya.
Kata dia, salah satu argumen Hadi dalam praperadilan adalah penyelidik dan penyidik KPK tidak sah. Dasarnya karena penyelidik dan penyidik itu bukan polisi. Padahal dalam Pasal 38 Ayat (2) UU KPK jelas tertuang bahwa penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) saja jadi penyidik KPK.
"Apalagi orang yang enggak jelas asal usulnya jadi penyelidik dan penyidik. Karena begini, untuk jadi penyelidik dan penyidik KPK syaratnya itu harus polisi, bukan seluruh warga negara. Saya kira itu yang penting," ucapnya.
"Orang yang ngomong penyelundupan hukum mestinya baca dulu secara baik putusan praperadilan, kemudian argumen-argumen Pak Hadi Poernomo musti mereka baca secara baik, dan kemudian lihat lagi UU (KPK) secara benar," sambung Maqdir.
(kri)