Ini Alasan KPK Ngotot Tetap Usut Kasus Hadi Poernomo
A
A
A
JAKARTA - Ada sejumlah alasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ngotot mengusut kasus mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak sekaligus mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo.
Alasan tersebut diungkapkan secara gambalang oleh Yudi Kristiana selaku Ketua Tim Penyidik kasus Hadi sekaligus anggota tim hukum KPK di sidang praperadian, saat diskusi media "Membedah Penanganan Perkara di KPK, di Auditorium Utama KPK, Jakarta, Senin (29/6/2015).
Yudi Kristiana mengatakan, praperadilan adalah bagian dari realitas hukum yang harus dihormati. Dia membeberkan, yang harus dicermati adalah saat praperadilan Hadi, KPK sudah mengantisipasi semua unsur yang sudah disangkakan.
Antisipasi itu meliputi delik yang disangkakan serta mencukupi semua alat bukti surat dan alat bukti keterangan saksi dari ahli hukum pidana, administrasi negara, hukum keuangan hingga orang yang membahas UU KPK dihadirkan.
Untuk Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan praperadilan Hadi, KPK selaku termohon praperadailan harus mampu mengungkap ada penyeludupan hukum sesuai Surat Edaran MA (SEMA).
"Kalau kalah lagi, bisa juga mengajukan sprindik baru meski tidak mudah cari hubungan judicial corruption dan putusan praperadilan. (Untuk sprindik baru) penentu kebijakan bukan saya, meskipun nampak sama tapi kita menyikapinya perlu kesepahaman bersama, tidak bisa otoriter harus begini. Memori PK itu sedang kita rumuskan," tuturnya.
Dia membeberkan, semua antisipasi sudah dihadirkan karena memang kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999 dengan tersangka Hadi sudah hampir selesai penyidikan.
Tapi ternyata hakim tunggal mencari celah lain yakni tentang keabsahan penyidik dan penyelidikan, karena penyidikan adalah tindak lanjut penyelidikan. Hasilnya, hakim tunggal memutus penyelidikan tidak sah yang pada akhirnya penyidikan pun tidak sah.
"Kalau konstruksi berpikir begitu terus maka yang hadir di sini bisa dipraperadilkan," katanya.
Yudi pun membeberkan alasan KPK kukuh mengusut kasus Hadi. Menurutnya, KPK mulai menginisiasi pengusutan keuangan negara yang potensinya jauh lebih besar dari APBN sendiri antara lain korupsi pada sektor perpajakan.
Alasan kedua, tujuan KPK yakni agar uang yang sebelumnya tidak masuk ke kas negara bisa kembali ke kas negara. Tapi upaya itu layu sebelum berkembang dan dipotong dari awal.
"Karena konsekuensinya besar maka potensi uang yang bisa diselematkan menjadi besar juga. Dalam kasus HP kan audit investigasi cuma Rp375 miliar, di penyidikan (ditemukan) Rp2,5 triliun. Itu kan banyak," imbuhnya.
Dia menegaskan, pengusutan korupsi perpajakan dan juga sektor lain seperti energi jadi tantangan. KPK dilahirkan untuk menghadapi hal-hal besar seperti itu, bukan remeh temeh.
"Memang ada peristiwa pidana. Kalau pencegahan mencegah terjadi tindak pidana korupsi. Tapi ini tindak pidana sudah terjadi dalam konteks represif penindakan penyidikan," tuturnya.
Jaksa yang memulai karirnya di bidang intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) ini menjelaskan, mekanisme penetapan tersangka yang membedakan KPK dengan penegak hukum lain bisa dilihat dari temuan bukti permulaan yang cukup. Dalam Pasal 44 UU KPK disebutkan bila dalam penyelidikan ditemukan dua alat bukti yang cukup maka KPK bisa menetapkan tersangka.
Sementara di lembaga penegak hukum lain sebuah kasus yang naik ke penyidikan belum tentu ada tersangka. Di lembaga penegak hukum lain cukup satu alat bukti maka satu kasus bisa ditingkatkan ke penyidikan. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan menemukan dua alat bukti yang lain untuk penetapan tersangka.
"Dengan praperadilan HP jadi diporakporandakan. Ini jadi disocurse internal-eksternal kpk, ikuti pola sesuai UU KPK atau mengikuti KUHAP, sampai sekarang belum ada kesepakatan," ucapnya.
Yudi menilai, praperadilan saat ini konstruksi berpikir hukumnya sudah sesat dan sudah bergeser dari yang namanya pengadilan.
Padahal perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, bukan kebenaran formil.
Sementara belum sampai pencarian kebenaran materiil sudah dipatahkan oleh kebenaran-kebenaran yang sifatnya prosedur. Padahal proses pidana seharusnya mengedepankan kebenaran yang sifatnya substansi atau substanstial justice. Tapi semua itu diamputasi di praraperadilan.
"Harus dicermati di tingkat daerah, teman-teman saya di Kejari daerah (menyampaikan) orang jadi bermain-main di praperadilan saja, enggak perlu substansi perkara."
"Kalau praperadilan sudah berkembnag begitu, kajian ilmu hukum sudah sesat. Tapi itulah dinamika saat ini. Saya yakin media tidak tinggal diam dengan konstruksi berkembang seperti itu, agar sesuai hati nurani," lanjutnya.
PILIHAN:
KPK Akan Ajukan PK Putusan Praperadilan Hadi Poernomo
Mahfud MD: Putusan Praperadilan Hadi Poernomo Berbahaya
Alasan tersebut diungkapkan secara gambalang oleh Yudi Kristiana selaku Ketua Tim Penyidik kasus Hadi sekaligus anggota tim hukum KPK di sidang praperadian, saat diskusi media "Membedah Penanganan Perkara di KPK, di Auditorium Utama KPK, Jakarta, Senin (29/6/2015).
Yudi Kristiana mengatakan, praperadilan adalah bagian dari realitas hukum yang harus dihormati. Dia membeberkan, yang harus dicermati adalah saat praperadilan Hadi, KPK sudah mengantisipasi semua unsur yang sudah disangkakan.
Antisipasi itu meliputi delik yang disangkakan serta mencukupi semua alat bukti surat dan alat bukti keterangan saksi dari ahli hukum pidana, administrasi negara, hukum keuangan hingga orang yang membahas UU KPK dihadirkan.
Untuk Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) atas putusan praperadilan Hadi, KPK selaku termohon praperadailan harus mampu mengungkap ada penyeludupan hukum sesuai Surat Edaran MA (SEMA).
"Kalau kalah lagi, bisa juga mengajukan sprindik baru meski tidak mudah cari hubungan judicial corruption dan putusan praperadilan. (Untuk sprindik baru) penentu kebijakan bukan saya, meskipun nampak sama tapi kita menyikapinya perlu kesepahaman bersama, tidak bisa otoriter harus begini. Memori PK itu sedang kita rumuskan," tuturnya.
Dia membeberkan, semua antisipasi sudah dihadirkan karena memang kasus dugaan korupsi permohonan keberatan wajib pajak atas Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) Pajak Penghasilan (PPh) BCA, tahun pajak 1999 dengan tersangka Hadi sudah hampir selesai penyidikan.
Tapi ternyata hakim tunggal mencari celah lain yakni tentang keabsahan penyidik dan penyelidikan, karena penyidikan adalah tindak lanjut penyelidikan. Hasilnya, hakim tunggal memutus penyelidikan tidak sah yang pada akhirnya penyidikan pun tidak sah.
"Kalau konstruksi berpikir begitu terus maka yang hadir di sini bisa dipraperadilkan," katanya.
Yudi pun membeberkan alasan KPK kukuh mengusut kasus Hadi. Menurutnya, KPK mulai menginisiasi pengusutan keuangan negara yang potensinya jauh lebih besar dari APBN sendiri antara lain korupsi pada sektor perpajakan.
Alasan kedua, tujuan KPK yakni agar uang yang sebelumnya tidak masuk ke kas negara bisa kembali ke kas negara. Tapi upaya itu layu sebelum berkembang dan dipotong dari awal.
"Karena konsekuensinya besar maka potensi uang yang bisa diselematkan menjadi besar juga. Dalam kasus HP kan audit investigasi cuma Rp375 miliar, di penyidikan (ditemukan) Rp2,5 triliun. Itu kan banyak," imbuhnya.
Dia menegaskan, pengusutan korupsi perpajakan dan juga sektor lain seperti energi jadi tantangan. KPK dilahirkan untuk menghadapi hal-hal besar seperti itu, bukan remeh temeh.
"Memang ada peristiwa pidana. Kalau pencegahan mencegah terjadi tindak pidana korupsi. Tapi ini tindak pidana sudah terjadi dalam konteks represif penindakan penyidikan," tuturnya.
Jaksa yang memulai karirnya di bidang intelijen Kejaksaan Agung (Kejagung) ini menjelaskan, mekanisme penetapan tersangka yang membedakan KPK dengan penegak hukum lain bisa dilihat dari temuan bukti permulaan yang cukup. Dalam Pasal 44 UU KPK disebutkan bila dalam penyelidikan ditemukan dua alat bukti yang cukup maka KPK bisa menetapkan tersangka.
Sementara di lembaga penegak hukum lain sebuah kasus yang naik ke penyidikan belum tentu ada tersangka. Di lembaga penegak hukum lain cukup satu alat bukti maka satu kasus bisa ditingkatkan ke penyidikan. Selanjutnya baru ditindaklanjuti dengan menemukan dua alat bukti yang lain untuk penetapan tersangka.
"Dengan praperadilan HP jadi diporakporandakan. Ini jadi disocurse internal-eksternal kpk, ikuti pola sesuai UU KPK atau mengikuti KUHAP, sampai sekarang belum ada kesepakatan," ucapnya.
Yudi menilai, praperadilan saat ini konstruksi berpikir hukumnya sudah sesat dan sudah bergeser dari yang namanya pengadilan.
Padahal perkara pidana yang dicari adalah kebenaran materiil, bukan kebenaran formil.
Sementara belum sampai pencarian kebenaran materiil sudah dipatahkan oleh kebenaran-kebenaran yang sifatnya prosedur. Padahal proses pidana seharusnya mengedepankan kebenaran yang sifatnya substansi atau substanstial justice. Tapi semua itu diamputasi di praraperadilan.
"Harus dicermati di tingkat daerah, teman-teman saya di Kejari daerah (menyampaikan) orang jadi bermain-main di praperadilan saja, enggak perlu substansi perkara."
"Kalau praperadilan sudah berkembnag begitu, kajian ilmu hukum sudah sesat. Tapi itulah dinamika saat ini. Saya yakin media tidak tinggal diam dengan konstruksi berkembang seperti itu, agar sesuai hati nurani," lanjutnya.
PILIHAN:
KPK Akan Ajukan PK Putusan Praperadilan Hadi Poernomo
Mahfud MD: Putusan Praperadilan Hadi Poernomo Berbahaya
(kri)