DPR Didesak Prioritaskan Revisi UU KUHP
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah kalangan mendesak DPR untuk memprioritaskan pembahasan revisi Undang-Undang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) ketimbang mendahulukan pembahasan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Anggota DPD asal Sumatera Utara Darmayanti Lubis menyatakan, lebih baik DPR menyelesaikan dulu pokok bahasan hukum yang direvisi, yaitu UU KUHP, daripada UU KPK. ”Saya rasa kurang tepat kalau sekarang direvisi, lebih baik UU KUHP-nya dulu supaya terintegrasi dan bisa dilanjutkan dengan UU KPK,” ungkap Darmayanti dalam diskusi Forum Senator untuk Rakyat di Jakarta kemarin.
Kalaupun dilakukan revisi terhadap UU KPK yang telanjur masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015, tidak boleh sampai melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Darmayanti pun menyatakan tidak setuju jika kewenangan penyadapan dihilangkan dari KPK. Sebab, menurut dia, banyak operasi tangkap tangan yang dilakukan karena adanya penyadapan.
”Penyadapan adalah bagian sistem hukum, maka penyadapan harus ada. Banyak pelaku korupsi yang tertangkap dengan penyadapan,” katanya. Darmayanti juga mengatakan, daripada dihilangkan, lebih baik dibuat standar operasional prosedural yang jelas saat KPK melakukan penyadapan.
Hal tersebut, menurutnya, akan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan penyadapan yang ada di KPK. DPD, lanjutnya, ingin KPK diperkuat dalam segala aspek dan bisa bersinergi baik dengan Polri dan Kejaksaan Agung. ”Tanpa penegakan hukum yang kuat, demokrasi dan kesejahteraan kita tak akan meningkat, malah akan jalan di tempat,” tandasnya.
Dia juga meminta agar KPK dapat fokus dan mengoptimalkan pencegahan korupsi di daerah yang sampai saat ini semakin merajalela dan belum ada titik keluarnya. Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih juga menolak revisi UU KPK.
Sebab, menurut dia, UU tersebut masih relevan sampai hari ini. Rencana revisi UU KPK dinilainya akan memperlemah kewenangan dan kinerja KPK. ”KPK akan lemah ketika political will yaitu eksekutif dan legislatif juga lemah. Seperti apa pun, kalau undang-undangnya lemah, ya akan lemah juga,” ujarnya.
Dia juga tidak setuju pada beberapa poin yang menjadi masukan dalam revisi UU KPK tersebut. Terutama poin-poin yang membatasi kewenangan KPK. Hal ini, menurutnya, justru menjadi upaya pelemahan KPK.
”Tidak diberikannya kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK bertujuan agar lembaga tersebut lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jika KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3, dikhawatirkan kewenangan lebih yang dimiliki itu akan digunakan dengan seenaknya,” tandas dia.
Selain SP3, mekanisme penyadapan yang diusulkan untuk dibatasi juga dinilai Yenti sebagai upaya pelemahan. Sebab lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan juga berwenang melakukan penyadapan, bahkan dengan pengawasan yang lemah. ”Tidak wajar jika dalam kasus terorisme dan narkotika penyadapan diberi ruang yang luas, tetapi untuk masalah korupsi kewenangan penyadapan justru dipersempit,” tandasnya.
Pengamat politik Faisal Mahrawa menyatakan, saat ini KPK harus menyelesaikan tugas-tugas intinya ketimbang memikirkan masalah revisi UU. Faisal juga mengatakan lebih baik DPR mendahulukan revisi KUHP dan KUHAP sebagai pusat dan petunjuk dari pedoman hukum yang ada saat ini.
Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan perlu atau tidaknya revisi UU KPK bukan karena adanya poinpoin yang akan dimasukkan dalam revisi tersebut seperti pembatasan penyadapan KPK atau pengembalian penuntutan ke kejaksaan. Yang patut diketahui dan ditekankan adalah hingga saat ini belum ada urgensi atau kebutuhan mendesak atas revisi tersebut.
Kalaupun revisi UU KPK mau dilakukan, lanjutnya, yang lebih dulu direvisi adalah UU KUHAP, KUHP, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). ”Jadi, bagi kami, memang sebaiknya ditunda pembahasannya meski sudah menjadi Prolegnas Prioritas 2015,” tandas Indriyanto. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki berpandangan, revisi UU KPK yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 adalah keputusan politik di DPR.
Terpenting bagi Ruki, isi draf revisi yang disiapkan DPR dan nanti dibahas tidak melemahkan KPK. Di sisi lain, KPK pun akan menyiapkan draf yang akan dijadikan usulan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Mula akmal
Anggota DPD asal Sumatera Utara Darmayanti Lubis menyatakan, lebih baik DPR menyelesaikan dulu pokok bahasan hukum yang direvisi, yaitu UU KUHP, daripada UU KPK. ”Saya rasa kurang tepat kalau sekarang direvisi, lebih baik UU KUHP-nya dulu supaya terintegrasi dan bisa dilanjutkan dengan UU KPK,” ungkap Darmayanti dalam diskusi Forum Senator untuk Rakyat di Jakarta kemarin.
Kalaupun dilakukan revisi terhadap UU KPK yang telanjur masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015, tidak boleh sampai melemahkan lembaga antikorupsi tersebut. Darmayanti pun menyatakan tidak setuju jika kewenangan penyadapan dihilangkan dari KPK. Sebab, menurut dia, banyak operasi tangkap tangan yang dilakukan karena adanya penyadapan.
”Penyadapan adalah bagian sistem hukum, maka penyadapan harus ada. Banyak pelaku korupsi yang tertangkap dengan penyadapan,” katanya. Darmayanti juga mengatakan, daripada dihilangkan, lebih baik dibuat standar operasional prosedural yang jelas saat KPK melakukan penyadapan.
Hal tersebut, menurutnya, akan dapat mengurangi potensi penyalahgunaan kewenangan penyadapan yang ada di KPK. DPD, lanjutnya, ingin KPK diperkuat dalam segala aspek dan bisa bersinergi baik dengan Polri dan Kejaksaan Agung. ”Tanpa penegakan hukum yang kuat, demokrasi dan kesejahteraan kita tak akan meningkat, malah akan jalan di tempat,” tandasnya.
Dia juga meminta agar KPK dapat fokus dan mengoptimalkan pencegahan korupsi di daerah yang sampai saat ini semakin merajalela dan belum ada titik keluarnya. Anggota Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK Yenti Garnasih juga menolak revisi UU KPK.
Sebab, menurut dia, UU tersebut masih relevan sampai hari ini. Rencana revisi UU KPK dinilainya akan memperlemah kewenangan dan kinerja KPK. ”KPK akan lemah ketika political will yaitu eksekutif dan legislatif juga lemah. Seperti apa pun, kalau undang-undangnya lemah, ya akan lemah juga,” ujarnya.
Dia juga tidak setuju pada beberapa poin yang menjadi masukan dalam revisi UU KPK tersebut. Terutama poin-poin yang membatasi kewenangan KPK. Hal ini, menurutnya, justru menjadi upaya pelemahan KPK.
”Tidak diberikannya kewenangan menerbitkan SP3 oleh KPK bertujuan agar lembaga tersebut lebih berhati-hati dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka. Jika KPK diberi kewenangan mengeluarkan SP3, dikhawatirkan kewenangan lebih yang dimiliki itu akan digunakan dengan seenaknya,” tandas dia.
Selain SP3, mekanisme penyadapan yang diusulkan untuk dibatasi juga dinilai Yenti sebagai upaya pelemahan. Sebab lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan juga berwenang melakukan penyadapan, bahkan dengan pengawasan yang lemah. ”Tidak wajar jika dalam kasus terorisme dan narkotika penyadapan diberi ruang yang luas, tetapi untuk masalah korupsi kewenangan penyadapan justru dipersempit,” tandasnya.
Pengamat politik Faisal Mahrawa menyatakan, saat ini KPK harus menyelesaikan tugas-tugas intinya ketimbang memikirkan masalah revisi UU. Faisal juga mengatakan lebih baik DPR mendahulukan revisi KUHP dan KUHAP sebagai pusat dan petunjuk dari pedoman hukum yang ada saat ini.
Plt Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji menyatakan perlu atau tidaknya revisi UU KPK bukan karena adanya poinpoin yang akan dimasukkan dalam revisi tersebut seperti pembatasan penyadapan KPK atau pengembalian penuntutan ke kejaksaan. Yang patut diketahui dan ditekankan adalah hingga saat ini belum ada urgensi atau kebutuhan mendesak atas revisi tersebut.
Kalaupun revisi UU KPK mau dilakukan, lanjutnya, yang lebih dulu direvisi adalah UU KUHAP, KUHP, dan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). ”Jadi, bagi kami, memang sebaiknya ditunda pembahasannya meski sudah menjadi Prolegnas Prioritas 2015,” tandas Indriyanto. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki berpandangan, revisi UU KPK yang masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015 adalah keputusan politik di DPR.
Terpenting bagi Ruki, isi draf revisi yang disiapkan DPR dan nanti dibahas tidak melemahkan KPK. Di sisi lain, KPK pun akan menyiapkan draf yang akan dijadikan usulan dalam pembahasan revisi UU KPK.
Mula akmal
(ftr)