Mempererat Jalinan Jakarta-Canberra

Senin, 29 Juni 2015 - 11:02 WIB
Mempererat Jalinan Jakarta-Canberra
Mempererat Jalinan Jakarta-Canberra
A A A
Negara bertetangga cenderung memiliki permasalahan kompleks. Demikian yang dialami Indonesia dan Australia.

Menurut Anthony Bubalo, direktur penelitian Institut Lowi, Australia, hubungan Indonesia- Australia mengalami pasang surut. Itu disebabkan kondisi dalam negeri masing-masing yang sangat berpengaruh terhadap diplomasi kedua negara.

Siapa pun yang berkuasa atau pergantian kekuasaan pasti akan memengaruhi hubungan kedua negara. ”Hubungan antara Indonesia-Australia mengalami masa yang sangat baik pada masa pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,” tuturnya kepada KORAN SINDO di Sydney belum lama ini. Bagaimana sekarang?

Menurut Bubalon, hubungan Jakarta- Canberra cenderung mengutamakan egoisme. ”Diplomasi dikaitkan untuk (meningkatkan) popularitas,” katanya. Ketegangan hubungan tersebut, menurut Bubalo, berimbas pada kerja sama ekonomi. ”Indonesia tetap menjadi negara yang harus memiliki hubungan dekat dengan Australia karena tetangga dekat (secara geografis),” ungkapnya.

Hal berbeda justru diungkapkan Ken Waller, direktur Pusat Kajian APEC-Australia dari Universitas RMIT. Dia memastikan, ketegangan kedua negara hanya di tingkatan politik semata. ”Hubungan antara Indonesia-Australia sangat baik di segala hal, kecuali politik,” ungkapnya.

Waller mengungkapkan, memanasnya hubungan kedua negara hanya pada tataran atas saja. ”Di tataran bawah, kerja sama ekonomi dan people to people antara kedua negara tidak mengalami permasalahan,” katanya. Fakta berbicara kalau kunjungan wisatawan Australia ke Indonesia tetap stabil. Minat anak muda Indonesia belajar ke Australia juga tetap tinggi.

Kerja sama ekonomi juga tetap berjalan seperti biasa. Hal paling penting untuk meningkatkan hubungan Indonesia- Australia yakni meningkatkan pemahaman di masyarakat kedua negara. Itu sangat penting karena menjadi fondasi dasar hubungan baik kedua negara. ”Dibutuhkan kesepahaman publik yang sama bagi warga kedua negara,” ungkap Alexandra Oliver, direktur Jajak Pendapat Institut Lowi.

Dalam jajak pendapat Institut Lowi mengenai persepsi rakyat Australia terhadap Indonesia menunjukkan perasaan dan pandangan mereka tentang Indonesia mengalami titik terendah dalam delapan tahun terakhir. Isu yang mengganjal hubungan kedua negara adalah hukuman mati gembong narkotika Andrew Chan dan Myuran Sukumaran.

Persepsi tentang Indonesia mengalami penurunan hingga 8% dibandingkan pada 2010 pada posisi puncak yakni 54%. Bagaimana dengan isu para pencari suaka yang mengganggu hubungan Jakarta-Canberra? 87% rakyat Australia berharap Indonesia membantu memerangi penyelundupan manusia.

Dalam hal terorisme, 85% masyarakat Australia berharap Indonesia seharusnya membantu memerangi bahaya gerakan radikalisme tersebut. Hubungan diplomasi juga menyangkut kepribadian pemimpin kedua negara. Dalam jajak pendapat yang dirilis awal Juni itu menunjukkan 76% masyarakat Australia meminta PM Australia bekerja keras mengembangkan hubungan personal dengan pemimpin Indonesia.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana cara meningkatkan pemahaman bersama di antara kedua rakyat negara tersebut? Masyarakat Australia harus benar-benar memahami siapa sebenarnya Indonesia. Jangan sampai masih ada tanda tanya besar di kepala mereka tentang Indonesia. Bagi mereka yang pernah datang atau belajar tentang Indonesia, pasti mereka mengetahui.

Sedangkan masyarakat Indonesia memang tidak terlalu memandang Australia dari segi positif dan selalu dibayangi tanda besar. Itu sangat masuk akal. Banyaknya perbedaan di antara kedua masyarakat menjadi ganjalan berarti. Perbedaan bahasa, budaya dan agama tetap menjadi kendala.

Diplomasi publik tetap harus gencarkan kedua pemerintahan. Pasalnya, diplomasi bukan hanya urusan kesepakatan hitam di atas putih dan lobi intensif di antara para diplomat kedua negara. Publik Indonesia juga membutuhkan pemahaman yang sebenarnya tentang Australia. Demikian juga, masyarakat Australia harus mendapatkan informasi yang benar tentang Indonesia.

Bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab dalam diplomasi publik untuk membangun kesepahaman bersama tersebut. Institusi pendidikan, media, organisasi keagamaan hingga lembaga sosial bisa berkontribusi positif. Bukan saling menunggu untuk bergerak. Tapi, semuanya harus bergerak cepat.

Itu diperlukan agar banyaknya ketidaksepahaman bersama antara kedua bangsa di level masyarakat tidak menjadi bom waktu. Tentunya kesuksesan diplomasi publik tidak dapat diprediksi akan sukses. Proses dan waktu yang akan membuktikan kesepahaman bersama tersebut akan tercapai.

Andika hendra m
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1104 seconds (0.1#10.140)