Cegah Pelanggaran, TNI AU Usulkan Peningkatan Status Lanud Tarakan
A
A
A
JAKARTA - TNI Angkatan Udara (AU) mengusulkan peningkatan status Landasan Udara (Lanud) Tarakan, Kalimantan Utara dari tipe C menjadi tipe B. Hal itu sebagai upaya untuk memperkuat penjagaan terhadap kedaulatan udara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari gangguan keamanan.
Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Dwi Badarmanto mengaku sudah mengusulkan peningkatan status lanud tersebut kepada Mabes TNI. Peningkatan status ini diharapkan bisa memperkuat Lanud Tarakan sebagai salah satu pangkalan pertahanan udara terluar di wilayah NKRI.
Menurut Dwi, dengan peningkatan status tersebut maka kemampuan lanud juga semakin bertambah dengan adanya satu skuadron pesawat tempur penyergap yang di tempatkan di Lanud Tarakan. Selama ini, dalam menindak pelanggaran wilayah udara, Lanud Tarakan, yang resmi berdiri pada 2009, masih mengandalkan bantuan pesawat tempur dari Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar.
”Ini tentu akan memakan waktu lama dalam hal penindakan karena jarak yang lumayan jauh,” ujarnya di Jakarta kemarin. Dwi menjelaskan, semua kajian soal peningkatan status Lanud Tarakan juga sudah disampaikan kepada pemegang kebijakan, termasuk hakikat ancaman yang mungkin terjadi di wilayah udara tersebut.
Diakuinya, upaya peningkatan status lanud akan membawa konsekuensi logis, seperti kesiapan lahan, infrastruktur pendukung, baik untuk hanggar pesawat maupun perumahan buat prajurit. ”Sebisa mungkin akan segera terealisasi. Sejauh ini semua bentuk pelanggaran wilayah udara telah dilaporkan ke pimpinan tertinggi baik ke Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) maupun Panglima TNI,” ujarnya.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, ada klaim tumpang tindih di perairan Ambalat di mana Indonesia mengklaimnya sebagai Blok Ambalat sesuai dengan dasar hukum UNCLOS, sementara Malaysia menyebutnya sebagai ND7 dan ND9 sesuai peta 1979. ”Ini masih menjadi negosiasi yang belum berakhir. Harusnya Malaysia menghormati status quo agar tidak terjadi konflik di tingkat masyarakat,” katanya.
Menurut Hikmahanto, bila terjadi pelanggaran di daerah status quo sebaiknya dilakukan protes diplomatik. Memang dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Hikmahanto menyarankan, pemerintah Indonesia untuk tidak tergesa-gesa menghadapi persoalan ini, bila belum mendapatkan apa yang diinginkan lebih baik jangan segera diselesaikan. ”Kalau mau cepat-cepat ke Mahkamah Internasional maka kalau putusannya tidak berpihak pada kita, maka Indonesia akan kehilangan klaim seperti Sipadan dan Ligitan,” ujarnya.
Sucipto
Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) Marsma TNI Dwi Badarmanto mengaku sudah mengusulkan peningkatan status lanud tersebut kepada Mabes TNI. Peningkatan status ini diharapkan bisa memperkuat Lanud Tarakan sebagai salah satu pangkalan pertahanan udara terluar di wilayah NKRI.
Menurut Dwi, dengan peningkatan status tersebut maka kemampuan lanud juga semakin bertambah dengan adanya satu skuadron pesawat tempur penyergap yang di tempatkan di Lanud Tarakan. Selama ini, dalam menindak pelanggaran wilayah udara, Lanud Tarakan, yang resmi berdiri pada 2009, masih mengandalkan bantuan pesawat tempur dari Lanud Sultan Hasanuddin, Makassar.
”Ini tentu akan memakan waktu lama dalam hal penindakan karena jarak yang lumayan jauh,” ujarnya di Jakarta kemarin. Dwi menjelaskan, semua kajian soal peningkatan status Lanud Tarakan juga sudah disampaikan kepada pemegang kebijakan, termasuk hakikat ancaman yang mungkin terjadi di wilayah udara tersebut.
Diakuinya, upaya peningkatan status lanud akan membawa konsekuensi logis, seperti kesiapan lahan, infrastruktur pendukung, baik untuk hanggar pesawat maupun perumahan buat prajurit. ”Sebisa mungkin akan segera terealisasi. Sejauh ini semua bentuk pelanggaran wilayah udara telah dilaporkan ke pimpinan tertinggi baik ke Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) maupun Panglima TNI,” ujarnya.
Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, ada klaim tumpang tindih di perairan Ambalat di mana Indonesia mengklaimnya sebagai Blok Ambalat sesuai dengan dasar hukum UNCLOS, sementara Malaysia menyebutnya sebagai ND7 dan ND9 sesuai peta 1979. ”Ini masih menjadi negosiasi yang belum berakhir. Harusnya Malaysia menghormati status quo agar tidak terjadi konflik di tingkat masyarakat,” katanya.
Menurut Hikmahanto, bila terjadi pelanggaran di daerah status quo sebaiknya dilakukan protes diplomatik. Memang dibutuhkan kesabaran yang tinggi. Hikmahanto menyarankan, pemerintah Indonesia untuk tidak tergesa-gesa menghadapi persoalan ini, bila belum mendapatkan apa yang diinginkan lebih baik jangan segera diselesaikan. ”Kalau mau cepat-cepat ke Mahkamah Internasional maka kalau putusannya tidak berpihak pada kita, maka Indonesia akan kehilangan klaim seperti Sipadan dan Ligitan,” ujarnya.
Sucipto
(bbg)