Banyak Perempuan Bekerja, Desakan Legalisasi Perceraian Semakin Kuat

Selasa, 23 Juni 2015 - 09:52 WIB
Banyak Perempuan Bekerja,...
Banyak Perempuan Bekerja, Desakan Legalisasi Perceraian Semakin Kuat
A A A
Selain Vatikan, Filipina merupakan negara di dunia yang melarang terjadinya perceraian. Namun seiring berjalannya waktu, muncul desakan untuk segera melegalkan perceraian.

Ana Santos, salah satu wanita Filipina yang merasa pernikahannya sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Dia sadar akan menghadapi banyak kendala dalam mengurus proses perceraian, karena di negaranya perceraian bukan merupakan salah satu pilihan hukum. Hal tersebut yang membawanya harus menjalani proses perceraian selama empat tahun hingga menghabiskan ribuan dolar.

Namun, dia merasa kini waktu telah berubah. ”Ada banyak faktor yang mendorong perceraian. Salah satunya lebih banyak perempuan bekerja. Mereka tidak harus hidup dalam sebuah pernikahan,” ujar Ana dilansir Channel News Asia . Menurutnya, wanita yang bekerja umumnya bisa mandiri dan tidak tergantung secara finansial yang mengharuskan tinggal dalam sebuah pernikahan.

Larangan perceraian di Filipina muncul sejak 1950. Namun, ada pengecualian jika perceraian dilakukan warga yang beragama muslim. Bagi yang lain, satu-satunya pilihan yang tersedia adalah perpisahan secara hukum atau pembatalan perkawinan. Namun, kedua opsi ini memerlukan biaya besar.

Meskipun rancangan undang-undang (RUU) untuk melegalkan perceraian telah beberapa kali diajukan Partai Gabriela Perempuan, dukungan untuk meloloskan RUU ini minim sehingga selalu kandas. Penduduk Filipina 80% menganut Katolik dan gereja masih memegang peranan signifikan dalam kehidupan masyarakat dan politik.

Ini berarti rencana untuk mengatur hukum perceraian di Filipina akan terus menghadapi penentangan keras, meskipun di satu sisi desakan publik juga terus berkembang. Survei terbaru yang dilakukan Social Weather Stations menunjukkan setidaknya 60% dari responden menginginkan adanya pengesahan perceraian.

”Survei tersebut merupakan indikator bahwa semakin banyak orang yang mendukung disahkannya undang-undang ini,” ungkap Luzviminda Ilagan dari Partai Gabriela Perempuan. Survei lain yang dipublikasikan media Filipina, The Standard, awal Juni lalu, menunjukkan 67% atau 2 dari 3 orang Filipina menolak usulan pengesahan perceraian.

Mereka adalah gabungan masyarakat yang memilih opsi ”agak tidak setuju” dan ”sangat tidak setuju” dengan diloloskan hukum perceraian. Adapun survei yang dilakukan ahli jajak pendapat Junie Laylo dari Pusat Penelitian Laylo Strategi menyatakan 50% dari Filipina sangat tidak setuju dengan lolosnya hukum perceraian. Survei tersebut dilakukan karena RUU yang diajukan ke Kongres sejak 2010 silam hingga kini belum ada kejelasannya.

Di sisi lain, semakin tinggi desakan diloloskannya undang-undang yang mengatur diperbolehkannya perceraian. Sementara itu, pelarangan perceraian juga terus digulirkan pihak-pihak keagamaan termasuk Konferensi Wali Gereja Filipina (CBCP) yang berpendapat bahwa kegagalan perkawinan bukan alasan untuk bercerai. Ini sebagai bukti bahwa hanya orang dewasa yang bisa melangsungkan pernikahan.

Presiden CBCP Lingayen Dagupan Uskup Agung Socrates Villegas mengatakan, perceraian akan mengorbankan anak. ”Masyarakat harus memegang teguh janji yang tidak dapat dibatalkan, seperti janji seorang dokter untuk melayani kehidupan, janji pejabat publik untuk melayani dan membela konstitusi, dan janji pasangan untuk setia satu sama lain,” ujarnya dikutip Rappler.com.

Hingga ini RUU untuk melegalkan perceraian kini terus digulirkan dan sudah memasuki tahun kedelapan. Ana dan ratusan perempuan lain di Filipina yang ”menderita” karena pernikahannya berharap bisa menemukan kebahagiaan setelah berpisah dengan pasangannya, nantinya ketika perceraian dilegalkan.

ANANDA NARARYA
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7018 seconds (0.1#10.140)