Ramadan dalam Aura Islam Nusantara

Senin, 22 Juni 2015 - 09:36 WIB
Ramadan dalam Aura Islam Nusantara
Ramadan dalam Aura Islam Nusantara
A A A
Ramadan adalah momentum universal namun pemaknaan dan penjabarannya dapat searah dengan lokalitas di mana Islam itu menyejarah.

Di Indonesia, Ramadan memiliki kaitan kuat dengan tradisi dan pola hidup Islam Nusantara yang begitu khas, unik, toleran, dan berdimensi tasawuf. Di negeri ini, Islam Nusantara hadir dengan wajah ramah. Sebabnya, kedatangan Islam ke Nusantara hadir melalui jalur sipil dan bukan militer. Artinya, masuknya Islam ke Nusantara bukan karena jasa pasukan penakluk.

Dakwah Islam disebarkan dengan metode kebudayaan dan sufi. Prinsip tauhid yang begitu fundamental dan berbeda dengan ketuhanan lokal yang tak portable diinisiasi dalam bahasa anak negeri yang membumi. Maka, prinsip Tauhid dan kemasyarakatan islam seperti Fatruk Illallah, Simarud Dunya, Qarin dan Bagha seperti ajaran Sayyidina Ali diformat dalam bentuk punakawan yang humoris, Petruk, Semar, Gareng dan Bagong. Islam langit tibatiba berubah menjadi Islam yang tersenyum.

Di Indonesia, Ramadan menyatukan persepsi tentang toleransi, pluralitas dan moderatisme. Berbagai praktik ibadah di negeri ini justru menjadi unsur pemersatu antaranak bangsa. Ibadah puasa di negeri ini menjadi berkah bukan hanya bagi komunitas muslim, namun juga komunitas nonmuslim. Mal-mal, industri televisi, bisnis kuliner, dan aksesori yang digerakkan komunitas Tionghoa, misalnya, ikut memperoleh finansial berlebih selama Ramadan. Ramadan juga menghadirkan keharuan tradisi Islam Nusantara yang dialogis.

Kembang api dan petasan yang asalnya dari Tiongkok menjadi riuh selama Ramadan. Islam Nusantara yang berwajah ramah juga terlihat bahkan dalam ritualisme masyarakat. Salat tarawih dengan aneka versinya menjadi keragaman yang dinamis. Hanya di Nusantara kita temukan ada salat tarawih delapan rakaat, namun tetap dengan menyebutkan Taraddi dan Qunut salat Witir. Model salat tarawih seperti itu secara tak langsung telah melunturkan dikotomi Islam modernis dan Islam tradisionalis.

Pada gilirannya, ibadah Ramadan di Indonesia secara tak langsung menjabarkan tentang cara berpikir kebangsaan (Manhajul fikr Wathaniyah) yaitu trilogi ukhuwah. Ukhuwah Islamiyah tercermin dari sikap tasamuhkita terhadap perbedaan ritual selama Ramadan semisal beda jumlah rakaat tarawih, hisab rukyah dalam penentuan satu Ramadan dan satu Syawal serta qunut Salat Witir. Ukhuwah Wathaniyah tercermin dari bersatunya segenap elemen masyarakat entah dia nasionalis atau islamis dalam mewarnai Ramadan.

Ukhuwah Basyariyah tecermin dari munculnya toleransi kaum muslim terhadap nonmuslim di negeri ini. Semua warga negara mengambil peran sama dalam Ramadan.

A Halim Iskandar
Ketua DPRD Jawa Timur dan Ketua DPW PKB Jawa Timur
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6072 seconds (0.1#10.140)