Islam Nusantara

Minggu, 21 Juni 2015 - 10:17 WIB
Islam Nusantara
Islam Nusantara
A A A
Saya punya kebiasaan jalan kaki santai setiap pagi di kompleks perumahan tempat tinggal saya dan kampung sekitarnya.Maka, pada hari pertama Ramadan 1436 H (18 Juni 2015) ini, saya pun tetap melakukan kebiasaan saya itu.

Tetapi, berbeda dari biasanya, pada pagi ini warung-warung makan dan pedagang kaki lima (PKL) penjual gorengan semuanya tutup. PKL tukang sayur yang biasanya ada beberapa, cuma tinggal satu. Begitu juga orang-orang yang biasa berolahraga pagi bersama saya (ada yang jogging, bersepeda, ada yang mengajak anjingnya, ada yang mengajak dua anjingnya, ada yang mengajak istrinya, bahkan ada yang mengajak dua istrinya... jangan ketawa, ini serius, loh), tiba-tiba sebagian besar menghilang.

Digantikan oleh beberapa kelompok anak-anak yang sepertinya libur sekolah dan memilih untuk tidak tidur lagi sesudah sahur, melainkan berjalan- jalan bersama temanteman. Tampak ada perubahan drastis antara hari biasa dan hari Ramadan. Seperti di Arab Saudi yang pernah saya dengar. Di Saudi selama bulan puasa orang membalikkan hari. Siang jadi malam (orang tidur saja karena dipercaya tidur pun berpahala selama Ramadan) dan malam jadi siang (kantor-kantor, perdagangan, jual-beli dilaksanakan pada malam hari).

Tetapi, yang terjadi di lingkungan rumah saya bukan Arabisasi. Warung makan dan PKL tutup karena captive market-nya hilang (tidak ada yang beli), bukan karena larangan menutup tempat makan selama Ramadan. Bapakbapak pada umumnya melanjutkan tidur dulu sesudah sahur agar nanti fresh untuk ke kantor.

Setelah lelah berjalan kaki, seperti biasa saya duduk di depan TV sambil mengobrol dengan istri saya. Kebetulan tayangan infotainment pagi itu adalah tentang artis bernama LCB yang membuka butik baju muslimah. Artis ini belum setahun berjilbab, setelah sebelumnya dia berpacaran dengan pria non-Indonesia dan nonmuslim pula, tetapi dalam tayangan infotainment pagi itu ia mendemonstrasikan cara memakai jilbab (atau sering disebut juga ”hijab”) cantik dengan menggunakan sedikit saja jarum pentol.

Ini pekerjaan yang menakjubkan karena pengalaman saya dengan anak saya, dia selalu mau pinjam jarum pentol dari ibunya, setiap kali mau memasang jilbabnya (kalau pas sedang menginap di rumah kami) dan selalu dijawab istri saya, ”Enggak ada”, padahal ada (indahnya tidak berbagi... daripada kehabisan sendiri...).

Tetapi, jujur saja pada 1980- an, makin maraknya perempuan berhijab ketika itu pernah saya cemaskan sebagai ancaman Arabisasi. Usaha perlawanan dari pemerintah lumayan keras misalnya dengan melarang siswi- siswi sekolah-sekolah negeri untuk berhijab di sekolah-sekolah negeri. Kekhawatiran saya dan saya kira pemerintah juga adalah terancamnya budaya Indonesia, termasuk merosotnya harkat wanita Indonesia, yang turun menjadi seperti wanita-wanita di Arab Saudi, yang tidak punya hak suara atau hak pilih, tidak boleh mengemudi kendaraan,

dan harus memakai gamish serbahitam dan bercadar walaupun di dalamnya dia memakai tank top atau bahkan hanya berbikini (wanita Arab berdandan hanya untuk pamer kepada sesama wanita atau suami). Memang sejak 30 tahunan yang lalu itu, sampai sekarang, makin marak perempuan Indonesia berjilbab. Tetapi, jilbab di Indonesia masih memungkinkan kita melihat kecantikan wanita Indonesia.

Wajah tidak ditutup cadar dan full make up (termasuk bulu mata palsu) masih dapat kita saksikan. Selain itu, hijab pun bisa dimodel-modelkan, dengan teknik pemakaian ataupun pemilihan warna- warninya agar sesuai dengan busana, tas, sepatu, dan aksesoris lainnya. Kalau belum puas melihat di TV, bisa masuk ke butik busana muslim dan di sana semuanya ada dan serbacantik.

Wanita-wanita Indonesia pemakai hijab pun tidak sertamerta terdegradasi harkatnya. Anak saya (yang suka pinjam jarum pentol itu) masih associate director di tempat kerjanya dan masih berenang dengan baju renang khusus muslimah yang menutup aurat dari ujung ke ujung. Bahkan sekarang Polwan, yang sudah diizinkan berjilbab, bisa mengatur lalu lintas dengan full jilbab. Alhamdullilah, naluri budaya lokal masih kuat dan melawan dengan cerdik tekanan Arabisasi dalam tradisi berbusana.

Beberapa hari yang lalu, dalam rangka Munas NU di Masjid Istiqlal, Jakarta, Presiden Jokowi melontarkan istilah ”Islam Nusantara”. Maksudnya adalah Islam di Indonesia punya model sendiri yang tidak usah meniruniru Arab. Islam Nusantara adalah Islam yang dipraktikkan di Indonesia yang bersifat toleran, moderat, damai, inklusif, dan membaur dengan budaya lokal.

Istilah ini langsung menimbulkan protes. Alasannya adalah di Alquran tidak ada kata Islam Nusantara. Islam Nusantara juga tidak diperlukan karena Islam ya Islam, tidak perlu dikasih embel-embel apa pun, karena Islam itu universal. Pertanyaannya sekarang, adakah Islam universal itu? Walaupun agama datang dari langit, dari Allah, tetapi ketika dipraktikkan oleh manusia di bumi, mau atau tidak mesti berangkulan dengan budaya.

Karena itulah, di Sumatera Barat ada Islam yang matriakhal, di Jawa ada Islam yang percaya pada Nyai Loro Kidul, menara Masjid Kudus berbentuk seperti pura Hindu, pancuran tempat umat berwudu berornamen kepala arca (dan tidak satu pun umat yang kemudian memuja arca itu), dan lainnya. Tetapi, Islam Nusantara memang tidak bisa dipaksakan di Afghanistan atau Pakistan atau Arab Saudi sendiri. Tetapi juga tidak bisa Islamnya Arab dipaksakan di Indonesia.

Indonesia mengenal Islam melalui jalur damai dengan gaya dakwah Wali Songo, padahal universalisasi atau Arabisasi Islam selalu dengan kekerasan (sweeping, teror, dan sebagainya). Karena itulah, Islam Nusantara (termasuk mengaji dengan langgam Jawa) secara refleks menolak universalisasi Islam melalui caranya artis LCB mempromosikan teknik berhijab-minimum jarum pentol.

SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0710 seconds (0.1#10.140)