Prostitusi di Apartemen Sulit Ditertibkan

Jum'at, 19 Juni 2015 - 10:23 WIB
Prostitusi di Apartemen...
Prostitusi di Apartemen Sulit Ditertibkan
A A A
JAKARTA - Praktik prostitusi di sebuah apartemen yang berada di Kalibata, Jakarta Selatan sulit ditertibkan. Ini disebabkan belum terbentuknya RT dan RW serta banyaknya tower yang harus diawasi oleh petugas.

Sebelumnya, polisi menangkap seorang mucikari dan lima pekerja seks komersial (PSK) yang tengah beroperasi di apartemen ini. Si mucikari menjajakan para PSK, di antaranya masih di bawah umur melalui website yang dikelolanya. Setelah deal harga, kencan antara PSK dan pria hidung belang dilakukan di sebuah kamar di Apartemen Kalibata. Maraknya transaksi seks di apartemen ini membuat Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Selatan tidak berdaya.

”Apalagi ada 18 tower yang tentunya membuat sedikit kendala, karena ribuan orang menetap di sana,” ujar Wali Kota Jakarta Selatan Syamsuddin Noor kemarin. Dengan satu lantai yang terdapat 50 kamar atau 900 kamar per unit tower, membuat petugas kewalahan. Karena itu, Pemkot Jakarta Selatan terus mendorong agar pembentukan RT dan RW di Apartemen Kalibata.

”Kalau sudah terbentuk gampang pengawasannya, sebab setiap unit ada pengawasnya,” katanya. Pengawasan juga dilakukan dengan sweeping oleh Suku Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Jakarta Selatan. ”Kita sudah razia. Banyak tower-nya dan pengawasan terus berlanjut,” ucapnya. Menurut Syamsuddin, sulitnya menertibkan praktik prostitusi di apartemen karena sanksi yang tidak bisa tegas, karena penghuni apartemen berbeda dengan penghuni rumah susun sewa sederhana (rusunawa).

Apartemen adalah milik warga atau pribadi, sedangkan rusunawa kepunyaan Pemprov DKI Jakarta, sehingga ada perlakuan khusus karena warga secara resmi membeli unit apartemen. Sanksinya hanyalah Peraturan Daerah (Perda) No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, di mana gedung atau bangunan tidak digunakan atau di luar peruntukan bisa dikenakan sanksi tegas. Sudah bukan hal baru kalau unit apartemen Kalibata dapat disewakan dalam jangka waktu tertentu atau bisa digunakan per jam.

”Biasanya di situlah terjadi praktik prostitusi di apartemen,” katanya. Warga Apartemen di Kalibata, Tedjo, 50, mengaku sangat gerah dengan praktik prostitusi di sini. Transaksi atau penggunaan narkoba juga kerap terjadi. ”Soalnya baru pendataan, polisi juga sudah menangkap jaringan prostitusi di apartemen Kalibata,” ujarnya. Dia berharap terbentuknya kepengurusan RT/RW segala praktik maksiat bisa diminimalisasi. Pasalnya, sejak 2011 warga yang ingin membentuk RT/RW dihalangi oleh pengelola.

”Kami berharap semuanya bisa berjalan dengan baik dan tidak ada lagi praktik prostitusi dan narkoba yang menjelekkan nama apartemen,” katanya. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Depok juga akan mendata penghuni apartemen, rumah kos dan kontrakan untuk mencegah praktik prostitusi, karena kurangnya pengawasan bisa menyebabkan praktik ini terjadi secara masif.

Pihaknya akan mengirimkan surat kepada seluruh pemilik kos dan pengelola apartemen untuk melakukan pendataan secara internal kepada penghuninya. Setelah data terkumpul, Disdukcapil akan meminta kelurahan mengecek seluruh data. ”Kita tidak ingin melihat ada data palsu yang dilampirkan. Semua harus data asli,” kata Kepala Disdukcapil Kota Depok Mumun Misbahul Munir.

Kabid Kependudukan Disdukcapil Kota Depok Zainah menambahkan, tugas kelurahan adalah mengecek kevalidan data yang diberikan pemilik kos dengan cara mendatangi langsung ke rumah. Dengan demikian, data yang diberikan sesuai kenyataan di lapangan. Penghuni kos atau apartemen yang bukan warga Depok wajib memiliki surat keterangan tempat tinggal (SKTT), sehingga jika ada pemeriksaan mereka dapat menunjukkan bukti sebagai warga yang taat peraturan.

”Adanya data tempat kos dan penghuni sangat memudahkan kami jika ingin melakukan razia KTP. Artinya penduduk yang bermukim di Depok sadar hukum,” ujarnya. Sementara itu, menurut pengamat sosial budaya Universitas Indonesia Devie Rahmawati, prostitusi bisa terjadi di mana saja.

Tidak menutup kemungkinan terjadi juga di rumah kos yang diduga sudah sejak lama berjalan. Artinya, praktik itu tidak hanya terjadi dalam waktu baru-baru ini saja. Terlebih sistem tata sosial di rumah kos dan apartemen relatif lebih kecil sehingga seharusnya pengelola lebih mudah menangkap sinyalemen dari praktik tersebut.

”Saya menduga ada praktik pembiaran secara tidak langsung. Tata sosial masyarakat modern adalah tata sosial yang lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada sosial. Jadi urusannya masingmasing dan ini dimanfaatkan segelintir orang untuk berbuat negatif,” ungkapnya.

Helmi syarif/ r ratna purnama
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1012 seconds (0.1#10.140)