Kasus Umar Patek Jadi Inspirasi Pembinaan
A
A
A
JAKARTA - Keberhasilan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam melakukan proses deradikalisasi pada narapidana tindak pidana terorisme seperti Umar Patek menjadi titik tolak meningkatkan kualitas petugas lembaga pemasyarakatan (lapas).
Karena itu BNPT merasa perlu menyusun modul identifikasi sebagai bagian dari pembinaan mereka dengan bersinergi dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Menkumham. Dengan adanya modul itu, proses pembinaan yang dilakukan BNPT terhadap Umar Patek bisa dilakukan di tingkat petugas lapas.
”Kami melakukan dengan pendekatan dan pembinaan dengan pendekatan hati. Umar Patek misalnya susah mendekati dia karena dia tokoh hebat di lingkungannya. Tapi kita yakin dia seorang muslim yang taat, punya hati dan pikiran, dan pasti bisa diajak kerja sama,” kata Ketua Bidang Resosialisasi dan Rehabilitasi (Resoshab) BNPT Werijon di sela-sela rapat kerja teknis (rakornis) penyempurnaan modul instrumen identifikasi WBP tindak pidana terorisme 2015 dalam rilisnya kemarin.
Pendekatan terhadap narapidana tindak pidana terorisme memang memerlukan kesabaran dan trik khusus. ”Dia cukup lama mempelajari apakah BNPT benar-benar datang untuk membina atau hanya sekadar pura-pura. Akhirnya mau bercerita tentang bagaimana kehidupan dia. Bahkan untuk mendekati dia, kami ikhlas dia memegang kepala dan telinga, bahkan mengajak saya foto selfie yang selama ini tidak pernah dilakukan,” ungkap Werijon.
Pembuatan modul identifikasi itu dipimpin langsung oleh guru besar psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk. ”Ibarat orang sakit, ini semacam general check up. Dengan adanya instrumen identifikasi itu kita akan tahu penyakitnya itu apa dan bagaimana cara penyembuhannya para narapidana tindak pidana terorisme,” ujarnya.
Dia menjabarkan, instrumen identifikasi ini akan mengungkap dari yang paling awal yaitu motif mereka masuk kelompok radikalisme, aspirasi politik mereka, sikap dia terhadap negara, masyarakat, demokrasi, toleransi. Juga sikap mereka tentang umat islam yang diperlakukan tidak adil, dipencilkan, dimarginalisasi.
”Karena itu yang biasanya mendorong mereka untuk melakukan jihad. Kita ukur bagaimana pemahaman tentang jihad, khususnya jihad qital (jihad perang),” kata dia. ?
Alfian faizal
Karena itu BNPT merasa perlu menyusun modul identifikasi sebagai bagian dari pembinaan mereka dengan bersinergi dengan Direktorat Jenderal (Dirjen) Pemasyarakatan Menkumham. Dengan adanya modul itu, proses pembinaan yang dilakukan BNPT terhadap Umar Patek bisa dilakukan di tingkat petugas lapas.
”Kami melakukan dengan pendekatan dan pembinaan dengan pendekatan hati. Umar Patek misalnya susah mendekati dia karena dia tokoh hebat di lingkungannya. Tapi kita yakin dia seorang muslim yang taat, punya hati dan pikiran, dan pasti bisa diajak kerja sama,” kata Ketua Bidang Resosialisasi dan Rehabilitasi (Resoshab) BNPT Werijon di sela-sela rapat kerja teknis (rakornis) penyempurnaan modul instrumen identifikasi WBP tindak pidana terorisme 2015 dalam rilisnya kemarin.
Pendekatan terhadap narapidana tindak pidana terorisme memang memerlukan kesabaran dan trik khusus. ”Dia cukup lama mempelajari apakah BNPT benar-benar datang untuk membina atau hanya sekadar pura-pura. Akhirnya mau bercerita tentang bagaimana kehidupan dia. Bahkan untuk mendekati dia, kami ikhlas dia memegang kepala dan telinga, bahkan mengajak saya foto selfie yang selama ini tidak pernah dilakukan,” ungkap Werijon.
Pembuatan modul identifikasi itu dipimpin langsung oleh guru besar psikologi Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk. ”Ibarat orang sakit, ini semacam general check up. Dengan adanya instrumen identifikasi itu kita akan tahu penyakitnya itu apa dan bagaimana cara penyembuhannya para narapidana tindak pidana terorisme,” ujarnya.
Dia menjabarkan, instrumen identifikasi ini akan mengungkap dari yang paling awal yaitu motif mereka masuk kelompok radikalisme, aspirasi politik mereka, sikap dia terhadap negara, masyarakat, demokrasi, toleransi. Juga sikap mereka tentang umat islam yang diperlakukan tidak adil, dipencilkan, dimarginalisasi.
”Karena itu yang biasanya mendorong mereka untuk melakukan jihad. Kita ukur bagaimana pemahaman tentang jihad, khususnya jihad qital (jihad perang),” kata dia. ?
Alfian faizal
(ars)