Struktur Angkatan Kerja Indonesia Rendah
A
A
A
JAKARTA - Kualifikasi angkatan kerja yang didominasi lulusan sekolah dasar dinilai akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Bahkan struktur angkatan kerja Indonesia lebih rendah daripada Malaysia.
Rektor Institut Teknologi dan Sains Bandung (ITSB) Ari Darmawan Pasek mengatakan, struktur angkatan kerja Indonesia terdiri atas 7,20 % lulusan perguruan tinggi, 22,40 % lulusan sekolah menengah, dan 70,40 % adalah lulusan sekolah dasar. Menurut dia, tantangan utamadalam sustainabledevelopment di Indonesia adalah pendidikan. Namun dengan struktur angkatan kerja yang seperti ini saat ini, sangat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang merata.
”Kalau struktur angkatan kerja seperti ini kita hanya akan jadi buruh saja, sedangkan semua peluang akan diambil oleh pekerja asing,” katanya di Jakarta kemarin. Ari menjelaskan, buruknya angkatan kerja ini telah dia sampaikan dan dibahas di International Student Energy Summit (ISES) yang diadakan di Bali 10- 13 Juni lalu.
Ari menyampaikan, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang mempunyai struktur angkatan kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak 20,30%, menengah 56,3%, dan sekolah dasar 24,30%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Organization for Economic and Co-operation Development (OECD) Indonesia lebih parah lagi. Lulusan perguruan tinggi di OECD sebanyak 40,30%, menengah 39,30%, dan dasar 20,40%.
Ari menuturkan, untuk mengatasi struktur angkatan kerja yang rendah ini pemerintah perlu mendirikan perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Perguruan tinggi itu diisi dengan program studi yang lulusannya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri nasional maupun internasional. Misalnya saja pihaknya bekerja sama dengan suatu perusahaan dalam membuka prodi teknologi kelapa sawit dan pulp dan kertas. Beasiswa juga disediakan untuk prodi kelapa sawit dengan perusahaan tersebut sehingga setelah lulus langsung bisa bekerja dengan ikatan kerja sesuai dengan bidangnya.
Dia menuturkan, dibuka juga prodi pemanfaatan crude palm oil (CPO) dan limbah biomassa untuk biofuel agar bisa diteliti dan dikembangkan. Solusi lain adalah dengan memperbanyak akademi komunitas, sebab akademi komunitas bisa memperbanyak lulusan diploma 1 dan 2 yang siap bekerja karena sudah mempunyai keahlian di bidangnya. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengakui, salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah sebagian besar angkatan kerja Indonesia didominasi lulusan SD.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu perhatian khusus terhadap lulusan SD agar dapat ditingkatkan kompetensi dan keterampilan kerja sesuai kebutuhan pasar kerja dan industri. Dia mengungkapkan, persaingan tenaga kerja di kawasan ASEAN akan semakin terbuka. Pendidikan pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja merupakan bagian penting dari investasi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Hanif menyatakan, dengan ketersediaan tenaga kerja yang berkompeten dan berdaya saing tinggi, pekerja lokal tidak akan kalah bersaing dengan pekerja yang berasal dari negara-negara ASEAN lain. Maka dari itu pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan secara sistematis melalui jalur pendidikan formal, pelatihan kerja, dan jalur pengembangan karier.
”Salah satu faktor penentu yang harus kita lakukan adalah memberdayakan seluruh lembaga pendidikan formal dan lembaga pelatihan kerja untuk mencetak tenaga kerja yang kompeten dan profesional,” terangnya. Dijelaskan Hanif, dalam menghadapi persaingan AEC 2015, pemerintah beserta semua stakeholder terkait perlu melakukan peningkatan jumlah dan rasio tenaga kerja Indonesia yang kompeten dan profesional dengan mengacu pada regulasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi.
Neneng zubaidah
Rektor Institut Teknologi dan Sains Bandung (ITSB) Ari Darmawan Pasek mengatakan, struktur angkatan kerja Indonesia terdiri atas 7,20 % lulusan perguruan tinggi, 22,40 % lulusan sekolah menengah, dan 70,40 % adalah lulusan sekolah dasar. Menurut dia, tantangan utamadalam sustainabledevelopment di Indonesia adalah pendidikan. Namun dengan struktur angkatan kerja yang seperti ini saat ini, sangat menghambat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang merata.
”Kalau struktur angkatan kerja seperti ini kita hanya akan jadi buruh saja, sedangkan semua peluang akan diambil oleh pekerja asing,” katanya di Jakarta kemarin. Ari menjelaskan, buruknya angkatan kerja ini telah dia sampaikan dan dibahas di International Student Energy Summit (ISES) yang diadakan di Bali 10- 13 Juni lalu.
Ari menyampaikan, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang mempunyai struktur angkatan kerja lulusan perguruan tinggi sebanyak 20,30%, menengah 56,3%, dan sekolah dasar 24,30%. Bahkan jika dibandingkan dengan negara-negara Organization for Economic and Co-operation Development (OECD) Indonesia lebih parah lagi. Lulusan perguruan tinggi di OECD sebanyak 40,30%, menengah 39,30%, dan dasar 20,40%.
Ari menuturkan, untuk mengatasi struktur angkatan kerja yang rendah ini pemerintah perlu mendirikan perguruan tinggi yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Perguruan tinggi itu diisi dengan program studi yang lulusannya memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri nasional maupun internasional. Misalnya saja pihaknya bekerja sama dengan suatu perusahaan dalam membuka prodi teknologi kelapa sawit dan pulp dan kertas. Beasiswa juga disediakan untuk prodi kelapa sawit dengan perusahaan tersebut sehingga setelah lulus langsung bisa bekerja dengan ikatan kerja sesuai dengan bidangnya.
Dia menuturkan, dibuka juga prodi pemanfaatan crude palm oil (CPO) dan limbah biomassa untuk biofuel agar bisa diteliti dan dikembangkan. Solusi lain adalah dengan memperbanyak akademi komunitas, sebab akademi komunitas bisa memperbanyak lulusan diploma 1 dan 2 yang siap bekerja karena sudah mempunyai keahlian di bidangnya. Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengakui, salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah sebagian besar angkatan kerja Indonesia didominasi lulusan SD.
Oleh karena itu, menurutnya, perlu perhatian khusus terhadap lulusan SD agar dapat ditingkatkan kompetensi dan keterampilan kerja sesuai kebutuhan pasar kerja dan industri. Dia mengungkapkan, persaingan tenaga kerja di kawasan ASEAN akan semakin terbuka. Pendidikan pelatihan kerja dan sertifikasi kompetensi kerja merupakan bagian penting dari investasi sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas.
Hanif menyatakan, dengan ketersediaan tenaga kerja yang berkompeten dan berdaya saing tinggi, pekerja lokal tidak akan kalah bersaing dengan pekerja yang berasal dari negara-negara ASEAN lain. Maka dari itu pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan secara sistematis melalui jalur pendidikan formal, pelatihan kerja, dan jalur pengembangan karier.
”Salah satu faktor penentu yang harus kita lakukan adalah memberdayakan seluruh lembaga pendidikan formal dan lembaga pelatihan kerja untuk mencetak tenaga kerja yang kompeten dan profesional,” terangnya. Dijelaskan Hanif, dalam menghadapi persaingan AEC 2015, pemerintah beserta semua stakeholder terkait perlu melakukan peningkatan jumlah dan rasio tenaga kerja Indonesia yang kompeten dan profesional dengan mengacu pada regulasi standardisasi dan sertifikasi kompetensi.
Neneng zubaidah
(ars)