Metode Ahlul Halli wal Aqdi Diprotes

Kamis, 18 Juni 2015 - 09:29 WIB
Metode Ahlul Halli wal Aqdi Diprotes
Metode Ahlul Halli wal Aqdi Diprotes
A A A
JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) diprotes sejumlah pimpinan daerah lantaran dianggap memaksakan memutuskan metode pemilihan Rais Am (pemimpin tertinggi NU) dalam Muktamar pada 1–5 Agustus 2015.

Lagi pula, forum yang dipakai untuk memutuskan, yaitu Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama, dianggap bertentangan dengan peraturan dasar organisasi. Pengurus Besar NU, melalui Munas itu, memutuskan menerapkan metode ahlul halli wal aqdi (ahwa) atau musyawarah mufakat para kiai senior untuk memilih Rais Am dalam muktamar nanti.

Artinya, Rais Am tak lagi dipilih oleh para peserta muktamar yang merupakan utusan pengurus daerah tingkat provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Menurut Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Nusa Tenggara Timur, Abd Kadir Makarim, munas yang diselenggarakan pada 1–5 Agustus 2015 itu sedikit aneh alias tak lazim dan berdekatan dengan waktu MUKTAMAR. Padahal sudah dilaksanakan Munas dan konferensi besar (konbes) pada 1–2 November 2014, meski tanpa menghasilkan keputusan.

Munas pada 1–5 Agustus 2015 itu pun tanpa forum konbes, sebagaimana diamanatkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART NU). Lazimnya, kata Makarim, sebagaimana tercantum dalam Pasal 74/75 ART, munas selalu dibarengi konbes. Munas adalah forum yang terdiri dari para syuriah pengurus wilayah (setingkat provinsi) dengan materi permasalahan keagamaan. Sedangkan Konbes diikuti para pengurus tanfidziyah untuk membahas persoalan organisasi dan kelembagaan.

”Yang terjadi pada munas yang dipaksakan itu adalah munas tanpa konbes dengan materi tunggal membahas sistem pemilihan Rais Am melalui ahwa. Barangkali ini baru pertama kali dilakukan munas oleh PB NU tanpa adanya konbes,” kata Makarim melalui keterangan tertulis kemarin. Metode ahwa sudah didiskusikan dalam beberapa forum pra-muktamar di Lombok, Makassar, dan Medan. Sebagian besar pengurus wilayah dan pengurus cabang menolak metode itu.

”Bahkan, para pengurus wilayah yang hadir waktu itu mempertanyakan ungkapan PB NU yang selalu mengatasnamakan ahwa telah disepakati di munas dan konbes,” kata Makarim. ”Pengurus wilayah yang juga menghadiri munas dan konbes, sebelumnya tidak merasa dan tidak mengakui munas dan konbes dinyatakan memutuskan ahwa, karena yang terjadi pada munas dan konbes justru perdebatan soal alasan ahwa dan tidak terjadi kesepakatan,” ujar dia.

Rais Syuriah Pengurus Wilayah NU Sulawesi Tengah Dr KH Jamaluddin Mariajang menilai pengurus besar NU telah melanggar AD/ART. Sebelum muktamar, pengurus besar NU sudah memprovokasi dan memaksakan sistem ahwa. ”PBNU telah melanggar organisasi dan melecehkan AD/ART, sebab hingga sekarang kita masih pakai AD/ART hasil muktamar yang lalu. Munas tidak bisa menggantikan muktamar,” kata Jamaluddin.

Jamaluddin mengingatkan agar PB NU tidak menganggap enteng PW NU dan PC NU. ”Kita di daerah semua tahu apa maunya PB NU. Jangan anggap orang-orang daerah tak mengerti organisasi,” ujarnya dengan lantang. Hal senada diungkapkan Rais Syuriah PW NU Lampung, KH Ngaliman. Menurutnya, keputusan munas tentang ahwa itu harus dicabut karena tidak dihasilkan dari proses yang benar.

Soalnya forum munas itu terkesan dipaksakan dan peserta tidak diberikan kesempatan yang cukup untuk menyampaikan pendapat.”Kami yang hadir di situ (munas) tidak dihargai, dan kalau cara-cara ini diteruskan kami akan melakukan sesuatu,” katanya.

Afian faizal
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3090 seconds (0.1#10.140)