Memaknai Rutinitas Ramadan
A
A
A
Ramadan, tamu agung yang rutin mendatangi kita tiap tahun, telah datang lagi.
Menyambut kedatangan Ramadan kebanyakan kaum muslimin sejak memasuki bulan Rajab, dua bulan yang lalu, telah mengelu-elukannya dengan doa, ”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan”, sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Adakah kita gembira dengan datangnya bulan Ramadan ini? Nabi SAW menyatakan, ”Barangsiapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadan Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka”.
Ada di antara kita yang biasa-biasa saja karena tidak tahu kenapa kita harus gembira dan tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan kegembiraannya itu. Ada pula yang menganggap datangnya Ramadan sebagai rutinitas belaka yang tak perlu disikapi secara istimewa. Gembira karena memperoleh nikmat dan sedih karena mendapat musibah adalah naluri setiap manusia. Dengan demikian, orang yang gembira dengan datangnya Ramadan hanyalah orang yang merasa Ramadan adalah salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya.
Pantaslah kalau orang yang memperoleh nikmat itu bersyukur kepada Allah dengan mengucap alhmadulillah rabbil alamin. Namun, hanya ucapan itu tentu tidak cukup untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap nikmat Allah. Ucapan alhamdulillah merupakan ungkapan syukur secara lisan yang harus ditindaklanjuti dengan ungkapan syukur secara sikap dan tindakan.
Untuk bisa melakukan itu, ada baiknya kita menyimak sabda Rasulullah SAW, ”Sudah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan di dalam bulan Ramadan untuk berpuasa. Pada bulan Ramadan Allah membuka pintu langit, menutup pintu neraka, dan membelenggu semua setan. Di dalam bulan Ramadan Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan kebaikan malam itu maka dia sungguh telah diharamkan (dari kebaikan)”.Coba kita muhasabatun nafsi, apakah kita sudah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan junjungan kita itu.
Apakah di bulan Ramadan tahun lalu kita sudah benarbenar berpuasa, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga? Nabi SAW menyatakan, ”Tak terhitung banyaknya di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Itu terjadi karena kita hanya memuasakan perut kita. Kita tidak memuasakan hati kita, dengan tetap memberi tempat hasud, iri dan dengki kepada sesama.
Kita tidak memuasakan nafsu kita, dengan tetap membiarkan nafsu angkara murka bersemayam. Kita tidak memuasakan mata kita, dengan tetap meleluasakan mata menjelajahi pemandangan yang tak seharusnya. Kita tidak memuasakan pendengaran kita, dengan tetap membuka diri mendengarkan hal-hal yang mungkar. Kita tidak memuasakan mulut kita, dengan tidak menahan diri berkata kotor, bohong dan sumpah palsu.
Padahal Nabi SAW mengingatkan, ”Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan memperbuatnya, maka tiada hajat sedikit pun bagi Allah terhadapnya dalam dia meninggalkan makan dan minum”. Apabila itu yang terjadi pada diri kita, pada hakikatnya kita melepaskan belenggu setan. Bukan saja untuk diri kita sendiri, melainkan juga bisa jadi untuk orang lain. Kalau itu yang terjadi maka sesungguhnya kita telah menutup pintu langit dan surga serta membuka pintu neraka untuk diri kita sendiri, bahkan mungkin bagi orang lain.
Kalau kita tidak mampu berpuasa, dalam pengertian memuasakan segala indra, hati dan jiwa kita, dipastikan kita tidak akan bisa menikmati bulan Ramadan sebagai syahrul ibadah(bulan untuk beribadah), syahrul quran(bulan diturunkannya Alquran) dan syahruttilawah(bulan untuk membaca Alquran), syahrulla’i(bulan penuh kenikmatan), syahrunnajah(bulan keberuntungan), syahrul jud (bulan kedermawanan), syahrul muwasah(bulan pertolongan sesama), dan syahrurrahmah(bulan penuh rahmat).
Karenanya, marilah kita maknai bulan Ramadan tahun ini dengan tekad bulat bahwa ”bulan Ramadan tahun ini harus lebih baik daripada bulan Ramadan tahun lalu”. Dengan demikian, semoga kita memperoleh segala hak yang dianugerahkan Allah SWT pada Ramadan ini.
HZ Arifin Junaidi
Ketua LP Maarif Nahdlatul Ulama
Menyambut kedatangan Ramadan kebanyakan kaum muslimin sejak memasuki bulan Rajab, dua bulan yang lalu, telah mengelu-elukannya dengan doa, ”Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Syaban serta pertemukanlah kami dengan bulan Ramadan”, sebagaimana diajarkan Rasulullah Muhammad SAW. Adakah kita gembira dengan datangnya bulan Ramadan ini? Nabi SAW menyatakan, ”Barangsiapa yang gembira dengan datangnya bulan Ramadan Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka”.
Ada di antara kita yang biasa-biasa saja karena tidak tahu kenapa kita harus gembira dan tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan kegembiraannya itu. Ada pula yang menganggap datangnya Ramadan sebagai rutinitas belaka yang tak perlu disikapi secara istimewa. Gembira karena memperoleh nikmat dan sedih karena mendapat musibah adalah naluri setiap manusia. Dengan demikian, orang yang gembira dengan datangnya Ramadan hanyalah orang yang merasa Ramadan adalah salah satu nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya.
Pantaslah kalau orang yang memperoleh nikmat itu bersyukur kepada Allah dengan mengucap alhmadulillah rabbil alamin. Namun, hanya ucapan itu tentu tidak cukup untuk mengungkapkan rasa syukur terhadap nikmat Allah. Ucapan alhamdulillah merupakan ungkapan syukur secara lisan yang harus ditindaklanjuti dengan ungkapan syukur secara sikap dan tindakan.
Untuk bisa melakukan itu, ada baiknya kita menyimak sabda Rasulullah SAW, ”Sudah datang kepada kalian bulan Ramadan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan di dalam bulan Ramadan untuk berpuasa. Pada bulan Ramadan Allah membuka pintu langit, menutup pintu neraka, dan membelenggu semua setan. Di dalam bulan Ramadan Allah memiliki satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa yang diharamkan kebaikan malam itu maka dia sungguh telah diharamkan (dari kebaikan)”.Coba kita muhasabatun nafsi, apakah kita sudah bersikap dan bertindak sesuai dengan tuntunan junjungan kita itu.
Apakah di bulan Ramadan tahun lalu kita sudah benarbenar berpuasa, bukan sekadar menahan lapar dan dahaga? Nabi SAW menyatakan, ”Tak terhitung banyaknya di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”. Itu terjadi karena kita hanya memuasakan perut kita. Kita tidak memuasakan hati kita, dengan tetap memberi tempat hasud, iri dan dengki kepada sesama.
Kita tidak memuasakan nafsu kita, dengan tetap membiarkan nafsu angkara murka bersemayam. Kita tidak memuasakan mata kita, dengan tetap meleluasakan mata menjelajahi pemandangan yang tak seharusnya. Kita tidak memuasakan pendengaran kita, dengan tetap membuka diri mendengarkan hal-hal yang mungkar. Kita tidak memuasakan mulut kita, dengan tidak menahan diri berkata kotor, bohong dan sumpah palsu.
Padahal Nabi SAW mengingatkan, ”Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan memperbuatnya, maka tiada hajat sedikit pun bagi Allah terhadapnya dalam dia meninggalkan makan dan minum”. Apabila itu yang terjadi pada diri kita, pada hakikatnya kita melepaskan belenggu setan. Bukan saja untuk diri kita sendiri, melainkan juga bisa jadi untuk orang lain. Kalau itu yang terjadi maka sesungguhnya kita telah menutup pintu langit dan surga serta membuka pintu neraka untuk diri kita sendiri, bahkan mungkin bagi orang lain.
Kalau kita tidak mampu berpuasa, dalam pengertian memuasakan segala indra, hati dan jiwa kita, dipastikan kita tidak akan bisa menikmati bulan Ramadan sebagai syahrul ibadah(bulan untuk beribadah), syahrul quran(bulan diturunkannya Alquran) dan syahruttilawah(bulan untuk membaca Alquran), syahrulla’i(bulan penuh kenikmatan), syahrunnajah(bulan keberuntungan), syahrul jud (bulan kedermawanan), syahrul muwasah(bulan pertolongan sesama), dan syahrurrahmah(bulan penuh rahmat).
Karenanya, marilah kita maknai bulan Ramadan tahun ini dengan tekad bulat bahwa ”bulan Ramadan tahun ini harus lebih baik daripada bulan Ramadan tahun lalu”. Dengan demikian, semoga kita memperoleh segala hak yang dianugerahkan Allah SWT pada Ramadan ini.
HZ Arifin Junaidi
Ketua LP Maarif Nahdlatul Ulama
(ars)