MPR Dorong Regulasi tentang Janji Pemimpin
A
A
A
JAKARTA - MPR mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa setiap pemimpin wajib menepati janji-janji kampanyenya.
Selama ini banyak pemimpin di tingkat nasional ataupun daerah yang dinilai lupa akan apa yang pernah dijanjikannya kepada rakyat. Untuk menindaklanjuti fatwa tersebut dinilai perlu sebuah regulasi, termasuk yang mengatur pemberlakuan sanksi bagi pelanggarnya. ”Regulasi itu penting agar pemimpin mau menepati janji-janjinya dan mereka tidak mudah untuk berjanji,” kata Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR Zainut Tauhid dalam diskusi yang bertema ”Mewujudkan Janji Pemimpin yang Sesuai Konstitusi” di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Zainut menilai persoalan sumpah atau janji ini menjadi persoalan yang serius, apalagi sanksi terhadap pelanggar janji ini belum pernah ada. Dia mencontohkan ketika pemimpin melanggar sumpah jabatan atau kampanye politik, sanksi paling ringan adalah dia tidak dipilih kembali lima tahun mendatang. Menurutnya, janji pemimpin itu ibarat kontrak politik. Khusus janji seorang presiden, kata dia, itu hampir sama dengan Garis Beras Haluan Negara (GBHN) yang sebelum era reformasi dibuat oleh MPR sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden.
Saat itu presiden bisa dimakzulkan oleh MPR jika tidak menjalankan GBHN karena dianggap melanggar haluan negara. ”Tapi MPR sekarang fungsinya beda, tidak lagi memilih presiden. Sekarang kewenangan MPR membuat tap MPR (ketetapan MPR) tidak lagi memilikidayadoronguntukmengatur keluar, hanya mengatur ke dirinya sendiri (MPR),” ujar Sekretaris Fraksi PPP di MPR itu.
Namun demikian, lanjutnya, saat ini kontrak politik presiden yang memuat tentang visi, misi, dan janji presiden dibuat dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Jika RPJMN 2015- 2019 ditetapkan menjadi sebuah regulasi dalam peraturan presiden, sangat terbuka kemungkinan pelanggaran terhadap RPJMN dapat berimplikasi pidana bagi presiden.
Wakil Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin mengatakan, diadakannya Ijtima Ulama V lantaran banyak pertanyaan dan usulan mengenai banyaknya pemimpin yang tidak memenuhi janjinya. Setelah perdebatan yang cukup seru diputuskanlah bahwa janji pemimpin itu adalah wajib untuk ditepati. ”Ketika apa yang dia (pemimpin) inginkan tercapai itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Kalau itu dilanggar, itu menjadi dosa,” kata Maruf di kesempatan sama.
Namun, lanjut Ma’ruf, fatwa MUI bersifat rekomendasi spiritual yang tidak dapat memaksa, karena agama hanya mengatur sampai persoalan apakah perbuatan itu berimplikasi dosa atau tidak. Dia juga menilai perlu adanya regulasi dan aturan tentang konsekuensi terlanggarnya janji seorang pemimpin ini. ”Jadi harus dibuat peraturan agar sifatnya memaksa,” tegasnya.
Kiswondari
Selama ini banyak pemimpin di tingkat nasional ataupun daerah yang dinilai lupa akan apa yang pernah dijanjikannya kepada rakyat. Untuk menindaklanjuti fatwa tersebut dinilai perlu sebuah regulasi, termasuk yang mengatur pemberlakuan sanksi bagi pelanggarnya. ”Regulasi itu penting agar pemimpin mau menepati janji-janjinya dan mereka tidak mudah untuk berjanji,” kata Wakil Ketua Badan Sosialisasi MPR Zainut Tauhid dalam diskusi yang bertema ”Mewujudkan Janji Pemimpin yang Sesuai Konstitusi” di Gedung MPR, Senayan, Jakarta, kemarin.
Zainut menilai persoalan sumpah atau janji ini menjadi persoalan yang serius, apalagi sanksi terhadap pelanggar janji ini belum pernah ada. Dia mencontohkan ketika pemimpin melanggar sumpah jabatan atau kampanye politik, sanksi paling ringan adalah dia tidak dipilih kembali lima tahun mendatang. Menurutnya, janji pemimpin itu ibarat kontrak politik. Khusus janji seorang presiden, kata dia, itu hampir sama dengan Garis Beras Haluan Negara (GBHN) yang sebelum era reformasi dibuat oleh MPR sebagai lembaga tertinggi yang memilih presiden.
Saat itu presiden bisa dimakzulkan oleh MPR jika tidak menjalankan GBHN karena dianggap melanggar haluan negara. ”Tapi MPR sekarang fungsinya beda, tidak lagi memilih presiden. Sekarang kewenangan MPR membuat tap MPR (ketetapan MPR) tidak lagi memilikidayadoronguntukmengatur keluar, hanya mengatur ke dirinya sendiri (MPR),” ujar Sekretaris Fraksi PPP di MPR itu.
Namun demikian, lanjutnya, saat ini kontrak politik presiden yang memuat tentang visi, misi, dan janji presiden dibuat dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Jika RPJMN 2015- 2019 ditetapkan menjadi sebuah regulasi dalam peraturan presiden, sangat terbuka kemungkinan pelanggaran terhadap RPJMN dapat berimplikasi pidana bagi presiden.
Wakil Ketua MUI Pusat Ma’ruf Amin mengatakan, diadakannya Ijtima Ulama V lantaran banyak pertanyaan dan usulan mengenai banyaknya pemimpin yang tidak memenuhi janjinya. Setelah perdebatan yang cukup seru diputuskanlah bahwa janji pemimpin itu adalah wajib untuk ditepati. ”Ketika apa yang dia (pemimpin) inginkan tercapai itu menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan. Kalau itu dilanggar, itu menjadi dosa,” kata Maruf di kesempatan sama.
Namun, lanjut Ma’ruf, fatwa MUI bersifat rekomendasi spiritual yang tidak dapat memaksa, karena agama hanya mengatur sampai persoalan apakah perbuatan itu berimplikasi dosa atau tidak. Dia juga menilai perlu adanya regulasi dan aturan tentang konsekuensi terlanggarnya janji seorang pemimpin ini. ”Jadi harus dibuat peraturan agar sifatnya memaksa,” tegasnya.
Kiswondari
(ars)