Internal DPR Tak Kompak soal Dana Aspirasi
A
A
A
JAKARTA - Polemik mengenai usulan dana aspirasi DPR sebesar Rp20 miliar per anggota menuai pro dan kontra, bahkan di internal DPR sendiri.
Tidak hanya pro-kontra antarfraksi, di internal fraksi pun masih berbeda-beda menyikapinya. Namun bagi pimpinan DPR, masih adanya penolakan terutama oleh beberapa anggota DPR lebih disebabkan belum dipahaminya usulan tersebut secara benar.
”Pro-kontra ini karena kesalahan informasi. Ada penyesatan mengenai penyebutan program tersebut. Yang benar adalah usulan program pengembangan daerah pemilihan (UP2DP). Saya garis bawahi, ini bentuknya usulan, bentuknya usulan,” kata wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Ketua Tim UP2DP ini mengungkapkan, dalam UP2DP ini anggota DPR tak secara langsung mengelola dana sebesar Rp 20 miliar.
Anggota DPR, kata dia, hanya bisa mengusulkan penggunaan dana hingga maksimal Rp 20 miliar untuk membantu pembangunan di daerah pemilihannya. Bahkan, pencairan dana itu pun tak dilakukan langsung oleh anggota DPR, tetapi melalui APBD sehingga diwajibkan ada transparansi dan akuntabilitas.
”Jadi, program ini menjadi saluran komunikasi penyambung lidah masyarakat kepada anggota DPR. Saya mengimbau kepada para pengamat, tokoh masyarakat yang mengkritik. Kritik kita apresiasi. Tapi kalau sudah membias dan menjadi disinformasi, ini akhirnya DPR yang digebukin ,” ujarnya.
Bagi mereka yang setuju atas gagasan UP2DP, argumentasinya sama dengan yang disampaikan Taufik Kurniawan. Di tingkat pimpinan DPR misalnya, semuanya satu suara terkait usulan tersebut, seperti Ketua DPR Setya Novanto serta Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Agus Hermanto. Beberapa suara yang menyatakan tidak setuju dengan gagasan UP2DP pada umumnya dari fraksi-fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sementara dari Koalisi Merah Putih (KMP) secara umum setuju dengan usulan tersebut. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, meski beberapa elitenya di DPR menyatakan setuju dengan usulan tersebut, beberapa anggota Fraksi PDIP menolak dengan berbagai alasan dan argumentasinya. Mereka yang menolak usulan itu antara lain Budiman Sudjatmiko, TB Hasanuddin, dan Hendry Yosodiningrat.
Menurut Hasanuddin, meskipun gagasan itu sudah diatur dalam UU No 17/ 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), baginya dana aspirasi ini akan menjadi bias bila disangkutkan dengan asas, fungsi dan peran DPR. ”Aspirasi masyarakat sering kali tak hanya menyangkut bangunan fisik saja, tapi juga bisa ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Anggota DPR menampung aspirasi tersebut, kemudian menyampaikannya sesuai saluran, tak terbatas pada jumlah uang. Jadi mungkin saja ada aspirasi dan keluhan masyarakat, tapi tak melulu harus dijawab dengan uang,” katanya.
Rahmat sahid
Tidak hanya pro-kontra antarfraksi, di internal fraksi pun masih berbeda-beda menyikapinya. Namun bagi pimpinan DPR, masih adanya penolakan terutama oleh beberapa anggota DPR lebih disebabkan belum dipahaminya usulan tersebut secara benar.
”Pro-kontra ini karena kesalahan informasi. Ada penyesatan mengenai penyebutan program tersebut. Yang benar adalah usulan program pengembangan daerah pemilihan (UP2DP). Saya garis bawahi, ini bentuknya usulan, bentuknya usulan,” kata wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan di Gedung DPR, Jakarta, kemarin. Ketua Tim UP2DP ini mengungkapkan, dalam UP2DP ini anggota DPR tak secara langsung mengelola dana sebesar Rp 20 miliar.
Anggota DPR, kata dia, hanya bisa mengusulkan penggunaan dana hingga maksimal Rp 20 miliar untuk membantu pembangunan di daerah pemilihannya. Bahkan, pencairan dana itu pun tak dilakukan langsung oleh anggota DPR, tetapi melalui APBD sehingga diwajibkan ada transparansi dan akuntabilitas.
”Jadi, program ini menjadi saluran komunikasi penyambung lidah masyarakat kepada anggota DPR. Saya mengimbau kepada para pengamat, tokoh masyarakat yang mengkritik. Kritik kita apresiasi. Tapi kalau sudah membias dan menjadi disinformasi, ini akhirnya DPR yang digebukin ,” ujarnya.
Bagi mereka yang setuju atas gagasan UP2DP, argumentasinya sama dengan yang disampaikan Taufik Kurniawan. Di tingkat pimpinan DPR misalnya, semuanya satu suara terkait usulan tersebut, seperti Ketua DPR Setya Novanto serta Wakil Ketua DPR Fadli Zon dan Agus Hermanto. Beberapa suara yang menyatakan tidak setuju dengan gagasan UP2DP pada umumnya dari fraksi-fraksi Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Sementara dari Koalisi Merah Putih (KMP) secara umum setuju dengan usulan tersebut. Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) misalnya, meski beberapa elitenya di DPR menyatakan setuju dengan usulan tersebut, beberapa anggota Fraksi PDIP menolak dengan berbagai alasan dan argumentasinya. Mereka yang menolak usulan itu antara lain Budiman Sudjatmiko, TB Hasanuddin, dan Hendry Yosodiningrat.
Menurut Hasanuddin, meskipun gagasan itu sudah diatur dalam UU No 17/ 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), baginya dana aspirasi ini akan menjadi bias bila disangkutkan dengan asas, fungsi dan peran DPR. ”Aspirasi masyarakat sering kali tak hanya menyangkut bangunan fisik saja, tapi juga bisa ideologi, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Anggota DPR menampung aspirasi tersebut, kemudian menyampaikannya sesuai saluran, tak terbatas pada jumlah uang. Jadi mungkin saja ada aspirasi dan keluhan masyarakat, tapi tak melulu harus dijawab dengan uang,” katanya.
Rahmat sahid
(ars)