Kala Silat-Wayang Berkolaborasi

Minggu, 14 Juni 2015 - 09:24 WIB
Kala Silat-Wayang Berkolaborasi
Kala Silat-Wayang Berkolaborasi
A A A
Kebanyakan orang mengetahui bahwa biasanya silat, meski ada unsur seni di dalamnya, hanya ditampilkan pada suatu ajang, misalnya turnamen atau upacara ritual masyarakat tertentu.

Kali ini, seni bela diri asli Nusantara ini dapat disaksikan pada pergelaran wayang urban. Dua bentuk kesenian yang berbeda namun berkolaborasi dalam satu pergelaran dengan tujuan yang sama, menjaga tradisi.

Pada pementasan wayang bertajuk Sumantri Sukrasana di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM), Rabu (10/6), dalang Nanang Hape menggandeng kelompok silat besutan Pesilat Yayan Ruhian. Hasilnya memukau penonton. Kolaborasi apik antara silat dan wayang pun seolah membangkitkan spirit untuk menjaga warisan budaya mahakarya Indonesia. Memasukan seni silat dalam wayang, sejatinya bukan hal yang asing.

Pasalnya, silat yang merupakan bagian dari sebuah kesenian, merupakan salah satu dari sekian banyak unsur wayang urban untuk terus beradaptasi dengan zaman. Karena sifat wayang urban yang memadukan wayang dengan disiplin seni panggung lainnya seperti teater, musik, dan tari agar dikemas ringan dan menghibur, namun tak serta merta melupakan isi seputar masalah-masalah terkini sebagai bentuk kritis terhadap masalah sosial.

Maka, silat dalam wayang urban merupakan inovasi yang coba dihadirkan Nanang untuk menggali jiwa Indonesia dari sebuah seni. ”Masyarakat terus berubah, kehadiran wayang urban adalah sebuah bentuk adaptasi dengan perubahan tersebut. Kolaborasi wayang urban dengan silat, meski terbilang baru, sejalan dengan semangat seni wayang urban,” ujarnya.

Menurut Nanang, menjadi pelaku seni yakni sebagai seorang dalang adalah cara yang dipilihnya untuk merawat kesenian dan kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang. Perubahan zaman dan masyarakat tiap harinya adalah sebuah inspirasi untuk membuat karya yang berisi dalam wayang urban. Ia juga menilai, sebuah kesenian (dalam hal ini kesenian wayang), bisa terus bertahan karena adanya inovasi dari zaman ke zaman.

Maka kehadiran wayang urban yang dinamis tersebut, dapat lahir dan diterima dengan baik dan mendapatkan tempat di kalangan masyarakat Indonesia. Kesenian wayang urban sejatinya adalah membarukan yang lama untuk merawat akar peradaban di Indonesia. Hal senada juga disampaikan oleh Sejarawan J.J Rizal. Menurutnya, kesenian wayang sejatinya adalah produk urban.

Karena wayang sejatinya adalah sebuah organ yang hidup, yang responsif terhadap perkembangan zaman. Lalu bagaimana kemudian wayang selalu berbeda dan beradaptasi pada tiap zamannya tanpa menghilangkan pakem atau disiplin yang berlaku dalam seni wayang adalah sebuah respons dari perubahan zaman. Ia mengambil contoh, wayang di Jawa yang membawa asal kebudayaan India, tak selalu sama.

Tokoh Srikandi dalam kisah pewayangan di India adalah seorang laki-laki, namun hal itu berubah menjadi perempuan dalam pewayangan Jawa. Hal tersebut tentunya merupakan bagian adaptasi sebuah kesenian wayang yang local genius . ”Pada dasarnya, kesenian wayang adalah hidup. Ia (wayang) dinamis mengikuti perkembangan zaman. Maka, kesenian wayang pada dasarnya adalah produk masyarakat urban,” ujarnya.

Ia pun mengomentari perihal peran sentral seorang dalang dalam kesenian wayang. Menurutnya, kesenian wayang dapat hidup karena adanya dalang yang membangun inovasiinovasi baru. Semakin kreatif seorang dalang, maka kesenian wayang akan terus diterima oleh para penikmatnya. Dalam pagelaran wayang bertema Sumantri Sukrasana di Jiwa Indonesia Ragamu Bermula, Rizal menanggapi peran seorang Nanang Hape yang memadukan silat ke dalam kesenian wayang urban.

Meski fokus ke dalam kesenian wayang urban, pada dasarnya seorang Nanang Hape berlatar belakang kesenian wayang konvensional. Maka, pakem-pakem dalam pewayangan sangat dikuasai Nanang. ”Nanang adalah pegiat kesenian wayang dan ia berlatar wayang konvensional. Ia paham sekali pakem-pakem itu (wayang). Maka ini menjadi catatan bahwa tidak ada sistem kebut semalam untuk menjadi dalang, sekalipun membawa konsep baru semisal wayang urban,” ujarnya.

Silat Adalah Kelembutan

Pesilat Yayan Ruhian mengaku cukup terkejut saat ditawarkan mengolaborasikan silat dengan kesenian wayang. Namun, setelah menjalani proses latihan selama dua hari bersama wayang urban besutan Nanang, Yayan merasakan ada sebuah kesamaan dari kesenian silat dan wayang.

Kesamaan itu adalah berupa kesamaan misi, yakni merawat kebudayaan dan kesenian Indonesia yang banyak dilupakan oleh generasi penerus. Nilai-nilai yang terkandung dalam kesenian wayang dan silat pun sama-sama mengusung nilai kemanusiaan. ”Silat dengan wayang samasama memiliki kesamaan, baik secara misi maupun secara nilai yang diusung,” ujarnya. Untuk mengusung misi tersebut, Yayan yang bergelut di dunia pencak silat, mencoba terus menanamkan pakem-pakem yang tidak boleh dilanggar oleh para pesilat.

Misalnya, empat unsur dalam pencak silat seperti olahraga, seni, bela diri, dan mental spiritual harus dikuasai oleh para pesilat. Satu dari empat unsur tersebut hilang, maka hal tersebut tidak dapat dinamakan sebuah silat. Karena mengandung unsur seni, maka sudah pasti pencak silat mengusung nilai-nilai moral yang luhur.

Yayan menceritakan, bagaimana seorang pesilat yang tangguh bukan saja dinilai dari seberapa kuat ia menjatuhkan lawan, tapi bagaimana ia dapat menjunjung tinggi moral untuk membela diri dari hadangan lawan. Ada kelembutan yang tersembunyi dari pencak silat, bagaimana seorang pesilat sejati harus menahan emosi ketika lawan sudah ada di dalam cengkramannya.

Sebesar apapun ego menikam ketika itu, pesilat sejati akan memperlakukan lawannya dengan baik. Itulah kelembutan di dalam raga seni bela diri silat.

Imas damayanti
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0905 seconds (0.1#10.140)