Komikus Lokal, Karya Global

Minggu, 14 Juni 2015 - 09:22 WIB
Komikus Lokal, Karya Global
Komikus Lokal, Karya Global
A A A
Nama Christiawan Lie atau Chris Lie sangat populer sebagai komikus Indonesia yang berhasil menjadi komikus dunia. Karyanya yang dipasarkan ke seluruh dunia juga sudah tidak terhitung jumlahnya.

Sebuah contoh komik yang pernah dibuat Chris bersama kreator Mark Power adalah komik serial berjudul Drafted One Hundred Days, yang pada salah satu episodenya menceritakan sosok Barack Obama muncul dengan kostum cokelat sambil memegang sekop serta berlatar belakang reruntuhan bangunan sisa perang.

Komik edisi khusus Presiden Amerika Serikat ini dipasarkan di seluruh dunia. Bahkan, Jakarta pun sempat menjadi salah satu lokasi dalam cerita tersebut. Seperti apa kiprah Chris? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan pria kelahiran Solo, 5 September 1974 ini.

Sejak kapan Anda tertarik menjadi komikus?

Sebenarnya sejak kecil saya sudah suka dengan gambar. Kemudian sejak SMP-SMA saya suka membuat komik sendiri untuk teman-teman di kelas, tapi waktu itu belum saya seriusi, sekadar hobi. Pada saat kuliah, saya awalnya ingin mengambil jurusan seni lukis, namun orangtua melarang. Akhirnya saya memilih jurusan yang ada menggambarnya. Jadi saya mengambil jurusan arsitektur. Lalu, saya sempat berhenti membuat komik selama 3-4 tahun. Karena kesibukan saya kuliah arsitektur di Institut Teknologi Bandung dan hobi saya di basket, jadi hanya menggambar saja.

Tidak membuat komik dan lebih sering bermain basket. Kemudian, pada saat tingkat 4, teman-teman mengajak saya untuk membuat komik. Akhirnya saya belajar lagi, melihat mereka membuat komik. Lalu, setelah lulus kuliah saya bekerja di studio Nyoman Nuarta sebagai arsitek, dan pada malam hari membuat komik bersama temanteman dengan pemasaran serta penerbitan sendiri.

Alasan Anda menyukai komik?

Karena membuat komik adalah pekerjaan paling enak. Apapun yang diinginkan mudah dilakukan. Berbeda dengan arsitek, bisa bikin gambar belum tentu mampu membuat bangunannya. Kalau komik, apa pun yang ada di pikiran, mampu saya ciptakan. Semua enggak ada yang enggak bisa untuk komikus. Semua bisa terwujud dengan cepat dan murah. Komik membuat saya lebih fun, mampu memberikan kepuasan ketika apa yang dipikirkan bisa dihasilkan dan dinikmati oleh banyak orang. Di luar negeri komikus bisa jadi selebritas dan banyak yang menjadi miliarder seperti Stan Lee, Jim Lee, serta banyak yang lainnya.

Bagaimana Anda membagi waktu sebagai seorang arsitek dan komikus?

Sebenarnya dulu saya ingin bekerja sebagai komikus. Tapi, karena tidak ada pekerjaan sebagai komikus, jadi saya pada pagi hari bekerja sebagai arsitek, baru pada malam hari membuat komik. Lalu pada 1997 saya bersama empat rekan saya membuat studio Komik Bajing Loncat di Bandung. Produk kami pasarkan sendiri dengan menawarkan ke toko-toko buku. Pada tahun pertama saya dan teman-teman masih membuat karya sendiri.

Baru pada tahun ke-2 mulai ada pesanan proyek dari beberapa perusahaan penerbitan seperti Gramedia dan Mizan. Karena banyak pesanan pada waktu itu, kami merekrut komikus enam orang lagi, sehingga jadi berjumlah 11 orang. Sebanyak 40 komik kami kerjakan. Pada saat itu banyak pengerjaan untuk membuat ilustrasi buku dan komik, kebanyakan pendidikan dan agama.

Salah satunya Mizan, yang meminta kami mengerjakan ilustrasi kisah-kisah nabi. Setelah tiga tahun ternyata kami hanya bisa menggaji karyawan tapi tidak mampu menggaji kami sendiri. Akhirnya kami jalan masing-masing. Teman saya berubah haluan di website , sementara saya tetap ingin di dunia komik.

Setelah memisahkan diri, apa yang Anda lakukan?

Setelah itu saya memutuskan mengadu nasib di Jakarta, bekerja secara serabutan seperti di periklanan, desain grafis, dan sebagainya. Di Jakarta saya memenangkan ajang Jakarta International Art Festival pada 2001 dan mendapatkan hadiah berupa tiket penerbangan ke Singapura. Kemudian, saya minta uang saku ke orangtua dan bekerja di Singapura sebagai exhibition designer karena tidak ada pekerjaan sebagai komikus.

Tetapi, untuk komik, saya tetap mengikuti perlombaan komik dan berhasil memenangkan beberapa perlombaan tingkat Asia Tenggara. Pada 2003 saya mendapatkan beasiswa fulbright scholar untuk melanjutkan program master di Savannah College of Art and Design, Georgia, Amerika Serikat. Keinginan untuk kuliah di sana sudah ada sejak lama. Tapi, karena belum ada biaya, teman saya menganjurkan untuk mengambil beasiswa di sekolah seni dan desain.

Bagaimana awal Anda bisa mengerjakan banyak proyek komik di luar negeri?

Ketika kuliah di Savannah College of Art and Design saya sempat magang dan bekerja. Saya magang di Devils Due Publishing, Chicago, sebuah perusahaan penerbitan ternama yang memegang lisensi komik GI Joe. Kemudian, Hasbro -perusahaan mainan raksasa pemegang lisensi pusat GI Joesedang ingin membuat seri mainan GI Joe terbaru dan karyawan satu kantor diminta untuk membuat sketsanya.

Karya saya ternyata terpilih sebagai pemenang karena dianggap berbeda dari yang lain. Buatan saya memiliki style Asia. Itulah awal karier saya bekerja untuk Hasbro. Saya mulai mengerjakan properti GI Joe, mulai mainan, komik, desain action figure, ilustrasi untuk cover DVD, kemasan, dan alat promosi lain yang berkaitan dengan komik.

Bagaimana akhirnya Anda memutuskan untuk pulang dan membangun perusahaan sendiri di Indonesia?

Saya rasa pengalaman ketika berada di Amerika bisa menjadi portofolio serta modal saya untuk kembali ke Indonesia, lalu membangkitkan industri komik di dalam negeri. Pada 2007 saya kembali ke Indonesia, kemudian mendirikan Caravan Studio. Pada Januari 2008 resmi berdiri Caravan Studio. Waktu itu menggunakan modal Rp150 juta, hasil saya bekerja di luar negeri.

Bagaimana Anda membangun Caravan Studio?

Bisnis kami adalah studio konsep desain, komik, dan ilustrasi yang mengonsentrasikan diri untuk menggarap bagian kreatif dari sebuah proyek. Yaitu tahap pencarian dan pengembangan ide, desain (karakter, lokasi, transportasi), art direction, dan hasilnya berupa digital image yang pendistribusiannya bisa dalam bentuk digital, cetak, online, ataupun mainan. Proses kreatif dipilih oleh saya, sebagai strategi yang dilakukan oleh Caravan, karena biasanya studio-studio lain di negara berkembang lebih memilih mengerjakan bagian labor works dari negara maju.

Klien-klien yang ditangani Caravan Studio berdatangan dari dunia internasional seperti Devils Due Publishing Inc, Marvel, Hasbro, Archie Comic Publication Inc, Tokyopop Inc. Dengan berbekal penguasaan bahasa asing dan kualitas yang berstandar internasional, menjadi nilai lebih bagi Caravan Studio. Sehingga kami yakin untuk memilih pangsa pasar internasional dan sering dijadikan tempat pelatihan hands-on berstandar internasional.

Apa kendala atau tantangan yang Anda alami untuk menjadi komikus?

Banyak sekali tantangannya. Apalagi tidak ada pekerjaan secara khusus untuk menjadi komikus. Saya pernah tinggal di Jakarta tanpa ada penghasilan. Pernah mengerjakan komik, tapi pada saat itu, plafon kontrakan rubuh sehingga bocor dan karya-karya saya luntur gara-gara ketetesan air hujan. Selain itu, komik lokal juga kurang mendapat apresiasi dari masyarakat di Indonesia. Padahal banyak karya dari komikus Indonesia yang secara isi dan kualitas bisa bersaing dengan komik Jepang yang memiliki harga lebih mahal daripada komik lokal. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya yang ingin menghidupkan kembali komik-komik karya anak bangsa.

Apa target Anda ke depan?

Saya punya mimpi memiliki studio komik yang mendunia, yang mampu bersaing dengan perusahaan besar seperti Marvel dan lain-lain. Diharapkan, tidak ada lagi seseorang yang bisa membuat komik malah beralih profesi karena tidak ada pekerjaan untuk mereka. Saya juga ingin bisa menyejahterakan komikus di Indonesia dan komik kita dibuat menjadi film.

Robi ardianto
(ars)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6186 seconds (0.1#10.140)