Pilkada Tetap Suburkan Politik Uang

Senin, 08 Juni 2015 - 11:02 WIB
Pilkada Tetap Suburkan Politik Uang
Pilkada Tetap Suburkan Politik Uang
A A A
JAKARTA - Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak yang awalnya dimaksudkan untuk mengurangi politik biaya tinggi dan politik uang ternyata sulit diwujudkan.

Pembiayaan kampanye yang dibebankan anggaran pendapatan dan belanja daerah(APBD) justru memperbesar politik uang. Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, mengatakan, kandidat calon kepala daerah akan memiliki dana lebih mengingat pembiayaan kampanye menjadi tanggung jawab Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).

”Dana akan semakin berlimpah. Para calon akan mempunyai dana yang lebih untuk lakukan politik uang,” ujar Robert Endi Jaweng di Jakarta kemarin. Menurut dia, pembiayaan kampanye oleh negara merupakan langkah afirmasi untuk para kandidat yang tidak memiliki modal besar. Dengan begitu, siapa pun yang dinilai memiliki kemampuan dapat ikut berkontes dalam pilkada serentak.

”Memang tidak ada korelasi antara pembiayaan kampanye oleh negara dapat menekan money politics. Memang hal ini murni agar semua orang berhak berpartisipasi,” paparnya. Meski pembiayaan kampanye ditanggung negara, Endi menilai calon berkantong tipis tetap perlu berjuang keras agar menang.

Pasalnya, kandidat bermodal besar lebih leluasa menggunakan uangnya untuk membeli suara. Apalagi pilkada dari tahun ke tahun tidak dapat lepas dari politik uang. ”Misalnya saja serangan fajar atau beberapa jam jelang pemilihan mengeluarkan uang untuk membeli suara. Atau bisa saja dilakukan beberapa hari sebelumnya,” tambahnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi dan Pemilu (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, politik uang akan sangat mungkin terjadi. Pasalnya, dalam hal kampanye akan dioptimalkan pertemuan terbatas.”Mereka dapat memanfaatkan pertemuan terbatas, di mana politik uang dikemas sedemikan rupa dalam pertemuan terbatas tersebut,” kata Titi.

Titi berpendapat bahwa Indonesia sudah belajar dari pemilu tahun lalu dan pilkada-pilkada sebelumnya. Pola politik uang sudah tergambarkan bagaimana modus operandinya. ”Kita harus mengantisipasinya, baik dari pengawas, penegak hukum, bahkan sesama kandidat juga harus terlibat,” ujarnya.

Titi menekankan pentingnya saling mengawasi di antara kandidat. Jika tidak, sesama kandidat akan saling menyembunyikan. ”Kalau saling mengawasi tidak akan terjadi (politik uang). Pengawas juga perlu melakukan pencegahan, jangan hanya beralasan tidak ada pasal pidana,” paparnya.

Lebih lanjut Titi mengingatkan agar gerakan di tengah masyarakat untuk menolak politik uang harus digalakkan. Dia yakin masih ada kelompok masyarakat yang akan menentang politik uang. ”Meski tidak dapat dihukum secara pidana, setidaknya harus ada hukuman dari masyarakat,” tambahnya.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto memastikan partainya tidak pernah meminta uang mahar pada calon saat proses pencalonan yang bersangkutan dalam tahapan pemilu atau pilkada. ”Kami tak pernah meminta mahar dari para calon, yang ada hanya gotong-royong,” kata Hasto saat ditemui di Kantor Sekretariat Taruna Merah Putih, Jalan Teuku Cik Ditiro, Jakarta Pusat.

Gotong-royong yang dimaksud Hasto tersebut mengadakan survei potensi pemilih calon yang akan diusung, acara debat atau focus group discussion, serta menyewa para ahli kejiwaan untuk melakukan proses seleksi calon yang membutuhkan biaya tidak sedikit. ”Yang kami katakan ini, sebelum rekomendasi wajar saja partai politik menggunakan metode seleksi baru dalam menentukan calon kepala daerah yang akan diusung,” ujarnya.

Kendati demikian dia enggan hal tersebut dikategorikan pada pelanggaran dalam undang- undang dan menyalahi aturan norma di masyarakat serta etika berpolitik. ”Yang kami lakukan tersebut bagi saya bukan pelanggaran. Yang dikatakan pelanggaran adalah jual beli rekomendasi, lalu kami terima dana kampanye itu pelanggaran menurut undangundang, tapi kan kami menggunakan metode seleksi baru, jadi jangan artikan ini jual beli jabatan,” kilahnya.

Menurut Hasto, gotong-royong tersebut hanya dilakukan di beberapa daerah yang tidak memiliki sumber daya, sehingga pihak PDIP merasa perlu melakukan urunan untuk membiayai proses seleksi para calon sendiri. Dia menegaskan, PDIP melarang adanya praktik mahar untuk membeli rekomendasi partai. Hasto juga menilai pihak yang menjadikan seolah-olah urunan dalam proses seleksi calon tersebut sebagai pu-ngutan berarti telah mengerdilkan makna gotong-royong.

”PDIP sendiri telah melarang hal tersebut di dalam peraturan partai, saya melihat mereka pihak yang menjadikan pembiayaan proses seleksi seolah pungutan itu, mengerdilkan arti gotongroyong,” ujarnya.

Dita angga/ rahmat sahid
(bhr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4517 seconds (0.1#10.140)