Mengawali Karya dari London
A
A
A
Kecintaan pada dunia fashion serta keinginan yang amat besar untuk menjadi seorang desainer, membawa Rinda Salmun mengejar mimpi itu hingga ke London, Inggris.
Tidak hanya untuk menuntut ilmu, London juga menjadi tempat pertama Rinda menghasilkan karya.Dengan mengusung desain yang terinspirasi dari wayang Indonesia, Rinda mulai diterima dan mendapatkan respons baik dari publik Inggris. Hingga akhirnya ia membe-ranikan diri menciptakan brand sendiri, yaitu Rinda Salmun. Kini, bagaimana Rinda mengembangkan bisnisnya di Indonesia? Apa saja kendala yang ia hadapi? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita kelahiran Jakarta, 17 September 1985 ini.
Sejak kapan Anda tertarik menjadi desainer?
Sebenarnya sejak kecil saya sudah suka dengan industri mode. Awalnya dari menggambar baju-baju yang terinspirasi dari komik. Semakin bertambah usia, saya mulai membaca majalah fashion dan dari situ saya punya keinginan untuk menjadi desainer. Saya pikir, profesi seperti itu menyenangkan, mulai dari menggambar dan membuat baju.
Akhirnya saya memutuskan mengambil S-1 jurusan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saya pikir, dari ilmu itu saya bisa belajar tentang seni. Kemudian di waktu lain di luar kuliah, saya tetap ambil kursus fashion design seperti summer course di Inggris. Jadi, saya tetap menjalankan pendidikan formal dan tidak melupakan untuk mengeksplorasi hobi di fashion dengan ikut kursus. Setelah lulus kuliah S-1, saya melanjutkan pendidikan S-2 fashion designdi Inggris.
Bagaimana akhirnya brand Rinda Salmun berdiri?
Selama berada di Inggris kurang lebih lima tahun, setelah lulus kuliah saya juga sempat bekerja di sana. Sempat kerja setelah kuliah, jadi awal mula karier memang di London. Saya membuat koleksi pertama dengan inspirasi wayang dan respons market di Inggris cukup baik. Mereka melihat hasil karya saya cukup berbeda dan futuristik. Selain itu, agak eksperimental dari segi bahan. Melihat koleksi pertama saya cukup diterima, akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan brand Rinda Salmun.
Apa kendala yang Anda lalui ketika awal merintis karier?
Kendala mungkin justru saya rasakan ketika harus benar-benar belajar bisnis. Mengembangkan bisnis ini tidak hanya soal desain dan karya itu sendiri, namun juga perlu menjalankan manajemen bisnis. Hal itu yang tidak saya dapatkan selama kuliah, bagaimana mengelola uang dan manajemen bisnis. Jadi, banyak aspek dalam berbisnis yang harus dipelajari. Kendala lain seperti bahan. Tidak mudah mencari bahan yang sesuai keinginan di pasar Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia, bagaimana Anda melewati perubahan pasar?
Alhamdulillah ketika saya kembali, saat itu pasar fashionIndonesia sedang berkembang. Didukung lahirnya kaum middle class serta booming-nya media sosial saat ini, jadi dari segi market lumayan open minded. Hanya, market taste Inggris dan Indonesia berbeda karena faktor budaya.
Namun, dari segi desain, saya tidak harus merombak total. Ada halhal yang mungkin biasanya saya bereksperimen dengan bahan-bahan tidak lazim yang bisa dilakukan di Inggris. Contohnya seperti menggunakan bahan kawat atau selang, sekarang tidak saya gunakan di Indonesia karena market-nya tidak suka.
Apa target Anda ke depan?
Sederhana saja, saya ingin semua proses dapat berjalan lancar mulai dari produksi, marketing, hingga penjualan. Kemudian, mendapatkan target market yang sesuai, yaitu perempuan usia sekitar 25-40 tahun. Meskipun ternyata banyak juga cowok yang ikut memesan produk saya. Jadi, saya berpikir untuk membuat suatu karya yang unisex. Namun, itu masih dalam proses testing market. Selain itu, saat ini saya juga menjual produk hingga di Dubai dan Inggris. Saya melakukan kegiatan- kegiatan di luar negeri untuk testingmarketdi Taiwan dan China, ternyata mereka lumayan menerima.
Apakah ada kisah unik saat memulai usaha?
Mungkin yang tidak akan pernah saya lupakan ketika saya harus mengerjakan semuanya sendiri. Semua pasar di Jakarta saya kunjungi, bahkan pernah saya bela-belain datang ke pabrik, ternyata tidak bisa beli bahan hanya sedikit. Jadi, semua perjalanan ini saya lewati dengan suka hati, apalagi semua adalah hasil kerja keras saya sendiri. Banyak pelajaran yang saya terima. Kini, saya bekerja dibantu oleh tim saya yang berjumlah lima orang.
Siapa yang selalu memberikan dukungan?
Keluarga selalu memberikan dukungan, terutama ayah dan ibu. Mereka sangat suportif. Ayah selalu mau menemani saya melewati proses cita-cita ini. Ibu mau membantu mencari bahan. Kakak saya yang memiliki public relations (PR) firm, dia juga membantu dalam bidang PR. Belum lagi dukungan suami untuk mengatur keuangan dan pemasaran.
Siapa yang menjadi tokoh inspirasi Anda?
Saya terinspirasi oleh Viktor and Rolf, sebab karya mereka tidak ada batasan dan sangat eksperimental. Kalau di Indonesia, saya terinspirasi oleh desainer Didi Budiarjo. Namun, sosok inspirasi secara personal untuk berkarya dan melakukan bisnis adalah ayah. Sebab, almarhum juga memulai bisnis sendiri. Jadi, saya banyak melihat bagaimana sosok beliau bekerja, berkomunikasi dengan karyawan dan keluarga. Ayah adalah sosok inspiratif untuk menjalani hari-hari saya dalam hidup.
Kini, apa tujuan dan motivasi hidup Anda?
Saya termasuk family oriented. Motivasi saya adalah ingin membuat keluarga senang. Berhasil dalam karya seni atau fashion, itu hanya bonus-bonus manis yang terjadi. Namun, pada akhirnya tujuan saya hanya ingin membahagiakan keluarga.
Dina Angelina
Tidak hanya untuk menuntut ilmu, London juga menjadi tempat pertama Rinda menghasilkan karya.Dengan mengusung desain yang terinspirasi dari wayang Indonesia, Rinda mulai diterima dan mendapatkan respons baik dari publik Inggris. Hingga akhirnya ia membe-ranikan diri menciptakan brand sendiri, yaitu Rinda Salmun. Kini, bagaimana Rinda mengembangkan bisnisnya di Indonesia? Apa saja kendala yang ia hadapi? Berikut kutipan wawancara KORAN SINDO dengan wanita kelahiran Jakarta, 17 September 1985 ini.
Sejak kapan Anda tertarik menjadi desainer?
Sebenarnya sejak kecil saya sudah suka dengan industri mode. Awalnya dari menggambar baju-baju yang terinspirasi dari komik. Semakin bertambah usia, saya mulai membaca majalah fashion dan dari situ saya punya keinginan untuk menjadi desainer. Saya pikir, profesi seperti itu menyenangkan, mulai dari menggambar dan membuat baju.
Akhirnya saya memutuskan mengambil S-1 jurusan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB). Saya pikir, dari ilmu itu saya bisa belajar tentang seni. Kemudian di waktu lain di luar kuliah, saya tetap ambil kursus fashion design seperti summer course di Inggris. Jadi, saya tetap menjalankan pendidikan formal dan tidak melupakan untuk mengeksplorasi hobi di fashion dengan ikut kursus. Setelah lulus kuliah S-1, saya melanjutkan pendidikan S-2 fashion designdi Inggris.
Bagaimana akhirnya brand Rinda Salmun berdiri?
Selama berada di Inggris kurang lebih lima tahun, setelah lulus kuliah saya juga sempat bekerja di sana. Sempat kerja setelah kuliah, jadi awal mula karier memang di London. Saya membuat koleksi pertama dengan inspirasi wayang dan respons market di Inggris cukup baik. Mereka melihat hasil karya saya cukup berbeda dan futuristik. Selain itu, agak eksperimental dari segi bahan. Melihat koleksi pertama saya cukup diterima, akhirnya saya memutuskan untuk mendirikan brand Rinda Salmun.
Apa kendala yang Anda lalui ketika awal merintis karier?
Kendala mungkin justru saya rasakan ketika harus benar-benar belajar bisnis. Mengembangkan bisnis ini tidak hanya soal desain dan karya itu sendiri, namun juga perlu menjalankan manajemen bisnis. Hal itu yang tidak saya dapatkan selama kuliah, bagaimana mengelola uang dan manajemen bisnis. Jadi, banyak aspek dalam berbisnis yang harus dipelajari. Kendala lain seperti bahan. Tidak mudah mencari bahan yang sesuai keinginan di pasar Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia, bagaimana Anda melewati perubahan pasar?
Alhamdulillah ketika saya kembali, saat itu pasar fashionIndonesia sedang berkembang. Didukung lahirnya kaum middle class serta booming-nya media sosial saat ini, jadi dari segi market lumayan open minded. Hanya, market taste Inggris dan Indonesia berbeda karena faktor budaya.
Namun, dari segi desain, saya tidak harus merombak total. Ada halhal yang mungkin biasanya saya bereksperimen dengan bahan-bahan tidak lazim yang bisa dilakukan di Inggris. Contohnya seperti menggunakan bahan kawat atau selang, sekarang tidak saya gunakan di Indonesia karena market-nya tidak suka.
Apa target Anda ke depan?
Sederhana saja, saya ingin semua proses dapat berjalan lancar mulai dari produksi, marketing, hingga penjualan. Kemudian, mendapatkan target market yang sesuai, yaitu perempuan usia sekitar 25-40 tahun. Meskipun ternyata banyak juga cowok yang ikut memesan produk saya. Jadi, saya berpikir untuk membuat suatu karya yang unisex. Namun, itu masih dalam proses testing market. Selain itu, saat ini saya juga menjual produk hingga di Dubai dan Inggris. Saya melakukan kegiatan- kegiatan di luar negeri untuk testingmarketdi Taiwan dan China, ternyata mereka lumayan menerima.
Apakah ada kisah unik saat memulai usaha?
Mungkin yang tidak akan pernah saya lupakan ketika saya harus mengerjakan semuanya sendiri. Semua pasar di Jakarta saya kunjungi, bahkan pernah saya bela-belain datang ke pabrik, ternyata tidak bisa beli bahan hanya sedikit. Jadi, semua perjalanan ini saya lewati dengan suka hati, apalagi semua adalah hasil kerja keras saya sendiri. Banyak pelajaran yang saya terima. Kini, saya bekerja dibantu oleh tim saya yang berjumlah lima orang.
Siapa yang selalu memberikan dukungan?
Keluarga selalu memberikan dukungan, terutama ayah dan ibu. Mereka sangat suportif. Ayah selalu mau menemani saya melewati proses cita-cita ini. Ibu mau membantu mencari bahan. Kakak saya yang memiliki public relations (PR) firm, dia juga membantu dalam bidang PR. Belum lagi dukungan suami untuk mengatur keuangan dan pemasaran.
Siapa yang menjadi tokoh inspirasi Anda?
Saya terinspirasi oleh Viktor and Rolf, sebab karya mereka tidak ada batasan dan sangat eksperimental. Kalau di Indonesia, saya terinspirasi oleh desainer Didi Budiarjo. Namun, sosok inspirasi secara personal untuk berkarya dan melakukan bisnis adalah ayah. Sebab, almarhum juga memulai bisnis sendiri. Jadi, saya banyak melihat bagaimana sosok beliau bekerja, berkomunikasi dengan karyawan dan keluarga. Ayah adalah sosok inspiratif untuk menjalani hari-hari saya dalam hidup.
Kini, apa tujuan dan motivasi hidup Anda?
Saya termasuk family oriented. Motivasi saya adalah ingin membuat keluarga senang. Berhasil dalam karya seni atau fashion, itu hanya bonus-bonus manis yang terjadi. Namun, pada akhirnya tujuan saya hanya ingin membahagiakan keluarga.
Dina Angelina
(bbg)