Hadapi MEA, RI Terancam Jadi Penonton
A
A
A
JAKARTA - Genderang persaingan telah ditabuh. Indonesia segera akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Ada berbagai perjanjian yang telah disepakati, meliputi perdagangan barang dan jasa serta investasi.
Masalahnya, tidak semua tantangan siap dihadapi Indonesia. Bila tidak segera mengatasi ketertinggalan, Indonesia hanya akan jadi penonton asing yang berjaya di Indonesia. ”Lebih dari 70% masyarakat kita masih pada tahapan belum maju. Pasti mereka sulit bersaing dengan pihak-pihak luar negeri yang lebih mapan,” kata Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) saat menjadi pembicara pada Silaturahmi Nasional (Silatnas) IV Forum Komunikasi Alumni (Fokal) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Jakarta kemarin.
HT menambahkan, saat ini tingkat pendidikan Indonesia masih rendah. Mayoritas penduduk berpendidikan SMA ke bawah. Mengutip data Badan Pusat Statistik, per Februari 2015 tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi pendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 54,61 juta orang atau 45,19%. Tingkat menengah pertama 21,47 juta orang atau sebesar 17,77%.
Menengah atas 19,81 juta orang, kejuruan 11,80 juta. Adapun yang berpendidikan diploma dan universitas masing-masing sebesar 3,14 juta dan 10,02 juta orang. Sebagai informasi, kapabilitas penduduk yang rendah tecermin dari tingkat pendidikan penduduk. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2014 menyebutkan, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 7,5 tahun. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.
Ratarata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun. Masuknya era pasar bebas ASEAN ini, kata HT, akan membawa konsekuensi, yakni Indonesia menjadi pasar terbuka bagi kawasan Asia Tenggara. Potensi aktivitas ekonomi pada perdagangan bebas ini pun akan lebih banyak di Indonesia.
”Sebanyak 40% ekonomi ASEAN ada di Indonesia. Rasio penduduknya 40% juga ada di kita. Jadi, lebih banyak asing yang nanti mengambil kesempatan yang ada di Indonesia,” kata CEO MNC Group itu. HT lalu mengambil contoh tentang kebijakan open sky policy. Pemberlakuan kebijakan angkutan udara yang bebas beroperasi di kawasan ASEAN ini tinggal menghitung hari.
Dengan kebijakan itu berarti maskapai asing bisa beroperasi alias terbang domestik di wilayah udara Indonesia. Masalahnya, menurut HT, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berbagai rute penerbangan domestik, tak sebanding dengan negara seperti Singapura yang tak punya penerbangan domestik. Artinya dalam hal ini Indonesia dalam posisi tak diuntungkan.
Untuk itu, dalam menghadapi MEA ini, HT mengatakan masyarakat bawah harus terus didorong untuk maju. Kemajuan yang dicapai nantinya akan memperkuat perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dia lalu menunjukkan fakta betapa jauh tertinggalnya masyarakat bawah saat ini. Itu terlihat dari rasio gini yang telah mencapai 0,43%. Semakin besar angkanya, kata dia, semakin tinggi kesenjangan sosial.
Angka ini disebut yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Untuk mendorong masyarakat bawah mencapai kemajuannya, HT menekankan perlunya kebijakan produktif seperti memberi kemudahan akses modal dan bunga pendanaan yang murah, baik untuk UMKM, petani, nelayan maupun buruh. Dengankebijakanituusahayang mereka geluti bisa maju dan berkembang.
Sebagai gambaran, saat ini bunga pinjaman untuk usaha mikro berkisar 20-40%. Itu lebih tinggi dibandingkan pinjaman untuk perusahaan yang bisa didapatkan di 12-13%. Jika kebijakan prorakyat itu diterapkan, lanjt HT, pertumbuhan bisa lebih dirasakan semua lapisan masyarakat, kaum marginal bisa lebih sejahtera, dan Indonesia bisa lebih cepat menjadi negara maju.
Kesenjangan antara kalangan menengah atas dan kalangan menengah ke bawah pun bisa lebih dipersempit jaraknya. ”Sehingga kita pada akhirnya bisa lebih bersaing dengan negara lain,” kata HT. Dalam mengatasi ketertinggalan, faktor pendidikan juga sangat penting karena itu akan meningkatkan daya saing masyarakat. HT mengatakan saat ini tingkat pendidikan Indonesia masih rendah.
Mayoritas penduduk Indonesia, yakni sekitar 91%, berpendidikan SMA ke bawah. Artinya, hanya 9% penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, sekitar 50% pekerja Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Karenanya, dia berharap kaum intelektual yang jumlahnya 9% itu bergerak untuk memajukan Indonesia. ”Harapannya para intelektual berjuang agar Indonesia bisa tumbuh lebih pesat lagi.
Kita harus berjuang bersamasama agar Indonesia betulbetul jadi negara maju. Saat ini Indonesia dalam posisi memprihatinkan,” katanya. Pada kesempatan itu, HT juga berharap agar IMM bisa menjadi organisasi yang besar dan alumninya terorganisasi dengan baik sehingga bisa berkontribusi bagi kemajuan Indonesia.
”Kalau dikoordinasikan dengan baik, alumni IMM yang merupakan para intelektual akan menjadi suatu kekuatan yang luar bisa dalam membangun Indonesia,” tutur HT. Sementara itu, Ketua Umum DPP IMM Beni Pramula mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia memang belum siap menghadapi MEA.
”Mayoritas pemuda dan masyarakat Indonesia belum siap. Kalau saya main ke desa-desa, jangankan untuk mempersiapkan ekonomi ASEAN, untuk wacana saja mereka nggak tahu. Jadi kalau mau jujur, kita belum siap,” kata Beni. Dia menambahkan, seharusnya ada beberapa hal yang diperkuat pemerintah menyambut pasar bebas ASEAN ini, di antaranya membuat regulasi, memacu pertumbuhan ekonomi, dan menggenjot sumber daya kreatif masyarakat.
”Selagi belum kuat, ya, rakyat kitalah yang akan terjajah, rakyat kita yang akan menjadi penonton,” ungkapnya. Beni mengungkapkan, HT merupakan satu dari segelintir pengusaha yang punya kepedulian besar terhadap kondisi Indonesia. Dia mengapresiasi langkah HT dalam memperjuangkan kemajuan Indonesia dan kesejahteraan rakyat melalui Partai Perindo.
Dia juga memuji pemikiran dan langkah yang ditawarkan HT untuk mengatasi persoalan bangsa. ”Sangat jarang pengusaha yang kemudian mau menghibahkan dirinya secara total untuk berpolitik membangun bangsa. Dengan alat perjuangannya, Perindo, mudah-mudahan ini merupakan jawaban atas problematika bangsa kita,” kata Beni.
Dian ramdhani/ erika octaviana
Masalahnya, tidak semua tantangan siap dihadapi Indonesia. Bila tidak segera mengatasi ketertinggalan, Indonesia hanya akan jadi penonton asing yang berjaya di Indonesia. ”Lebih dari 70% masyarakat kita masih pada tahapan belum maju. Pasti mereka sulit bersaing dengan pihak-pihak luar negeri yang lebih mapan,” kata Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo (HT) saat menjadi pembicara pada Silaturahmi Nasional (Silatnas) IV Forum Komunikasi Alumni (Fokal) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Jakarta kemarin.
HT menambahkan, saat ini tingkat pendidikan Indonesia masih rendah. Mayoritas penduduk berpendidikan SMA ke bawah. Mengutip data Badan Pusat Statistik, per Februari 2015 tingkat pendidikan tenaga kerja Indonesia masih didominasi pendidikan SD ke bawah, yakni sebesar 54,61 juta orang atau 45,19%. Tingkat menengah pertama 21,47 juta orang atau sebesar 17,77%.
Menengah atas 19,81 juta orang, kejuruan 11,80 juta. Adapun yang berpendidikan diploma dan universitas masing-masing sebesar 3,14 juta dan 10,02 juta orang. Sebagai informasi, kapabilitas penduduk yang rendah tecermin dari tingkat pendidikan penduduk. Laporan United Nations Development Programme (UNDP) pada 2014 menyebutkan, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya 7,5 tahun. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.
Ratarata lama sekolah di Singapura 10,2 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, dan Brunei Darussalam 8,7 tahun. Masuknya era pasar bebas ASEAN ini, kata HT, akan membawa konsekuensi, yakni Indonesia menjadi pasar terbuka bagi kawasan Asia Tenggara. Potensi aktivitas ekonomi pada perdagangan bebas ini pun akan lebih banyak di Indonesia.
”Sebanyak 40% ekonomi ASEAN ada di Indonesia. Rasio penduduknya 40% juga ada di kita. Jadi, lebih banyak asing yang nanti mengambil kesempatan yang ada di Indonesia,” kata CEO MNC Group itu. HT lalu mengambil contoh tentang kebijakan open sky policy. Pemberlakuan kebijakan angkutan udara yang bebas beroperasi di kawasan ASEAN ini tinggal menghitung hari.
Dengan kebijakan itu berarti maskapai asing bisa beroperasi alias terbang domestik di wilayah udara Indonesia. Masalahnya, menurut HT, Indonesia merupakan negara kepulauan dengan berbagai rute penerbangan domestik, tak sebanding dengan negara seperti Singapura yang tak punya penerbangan domestik. Artinya dalam hal ini Indonesia dalam posisi tak diuntungkan.
Untuk itu, dalam menghadapi MEA ini, HT mengatakan masyarakat bawah harus terus didorong untuk maju. Kemajuan yang dicapai nantinya akan memperkuat perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Dia lalu menunjukkan fakta betapa jauh tertinggalnya masyarakat bawah saat ini. Itu terlihat dari rasio gini yang telah mencapai 0,43%. Semakin besar angkanya, kata dia, semakin tinggi kesenjangan sosial.
Angka ini disebut yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Untuk mendorong masyarakat bawah mencapai kemajuannya, HT menekankan perlunya kebijakan produktif seperti memberi kemudahan akses modal dan bunga pendanaan yang murah, baik untuk UMKM, petani, nelayan maupun buruh. Dengankebijakanituusahayang mereka geluti bisa maju dan berkembang.
Sebagai gambaran, saat ini bunga pinjaman untuk usaha mikro berkisar 20-40%. Itu lebih tinggi dibandingkan pinjaman untuk perusahaan yang bisa didapatkan di 12-13%. Jika kebijakan prorakyat itu diterapkan, lanjt HT, pertumbuhan bisa lebih dirasakan semua lapisan masyarakat, kaum marginal bisa lebih sejahtera, dan Indonesia bisa lebih cepat menjadi negara maju.
Kesenjangan antara kalangan menengah atas dan kalangan menengah ke bawah pun bisa lebih dipersempit jaraknya. ”Sehingga kita pada akhirnya bisa lebih bersaing dengan negara lain,” kata HT. Dalam mengatasi ketertinggalan, faktor pendidikan juga sangat penting karena itu akan meningkatkan daya saing masyarakat. HT mengatakan saat ini tingkat pendidikan Indonesia masih rendah.
Mayoritas penduduk Indonesia, yakni sekitar 91%, berpendidikan SMA ke bawah. Artinya, hanya 9% penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi. Selain itu, sekitar 50% pekerja Indonesia berpendidikan SD ke bawah. Karenanya, dia berharap kaum intelektual yang jumlahnya 9% itu bergerak untuk memajukan Indonesia. ”Harapannya para intelektual berjuang agar Indonesia bisa tumbuh lebih pesat lagi.
Kita harus berjuang bersamasama agar Indonesia betulbetul jadi negara maju. Saat ini Indonesia dalam posisi memprihatinkan,” katanya. Pada kesempatan itu, HT juga berharap agar IMM bisa menjadi organisasi yang besar dan alumninya terorganisasi dengan baik sehingga bisa berkontribusi bagi kemajuan Indonesia.
”Kalau dikoordinasikan dengan baik, alumni IMM yang merupakan para intelektual akan menjadi suatu kekuatan yang luar bisa dalam membangun Indonesia,” tutur HT. Sementara itu, Ketua Umum DPP IMM Beni Pramula mengatakan, mayoritas masyarakat Indonesia memang belum siap menghadapi MEA.
”Mayoritas pemuda dan masyarakat Indonesia belum siap. Kalau saya main ke desa-desa, jangankan untuk mempersiapkan ekonomi ASEAN, untuk wacana saja mereka nggak tahu. Jadi kalau mau jujur, kita belum siap,” kata Beni. Dia menambahkan, seharusnya ada beberapa hal yang diperkuat pemerintah menyambut pasar bebas ASEAN ini, di antaranya membuat regulasi, memacu pertumbuhan ekonomi, dan menggenjot sumber daya kreatif masyarakat.
”Selagi belum kuat, ya, rakyat kitalah yang akan terjajah, rakyat kita yang akan menjadi penonton,” ungkapnya. Beni mengungkapkan, HT merupakan satu dari segelintir pengusaha yang punya kepedulian besar terhadap kondisi Indonesia. Dia mengapresiasi langkah HT dalam memperjuangkan kemajuan Indonesia dan kesejahteraan rakyat melalui Partai Perindo.
Dia juga memuji pemikiran dan langkah yang ditawarkan HT untuk mengatasi persoalan bangsa. ”Sangat jarang pengusaha yang kemudian mau menghibahkan dirinya secara total untuk berpolitik membangun bangsa. Dengan alat perjuangannya, Perindo, mudah-mudahan ini merupakan jawaban atas problematika bangsa kita,” kata Beni.
Dian ramdhani/ erika octaviana
(bbg)