Supervisi Pilkada, KPU Butuh Rp50 M
A
A
A
JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) menganggarkan Rp50 miliar untuk membiayai monitoring dan supervisi pelaksanaan pilkada serentak di 269 daerah pada tahun ini.
Anggaran ini khusus dialokasikan untuk KPU pusat dan beberapa KPU provinsi yang di daerahnya terdapat kabupaten/ kota yang menggelar pilkada. Anggaran untuk KPU pusat ini tidak termasuk Rp6,7 triliun yang dibebankan kepada APBD pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota yang menyelenggarakan pilkada. Anggaran ini sedang menunggu pencairan dari Kementerian Keuangan.
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan, berdasarkan undang-undang KPU merupakan penanggung jawab akhir pilkada sehingga pengawasan sangat penting dilakukan. ”KPU berdasarkan undang-undang memang diminta untuk ikut mengawasi, juga diminta melakukan supervisi,” ujarnya di Jakarta kemarin. Menurut Arief pengajuan penambahan anggaran ini telah disampaikan ke DPR saat pembahasan UU Nomor 8/ 2015 tentang Pilkada.
Saat berlangsung pembahasandrafperaturanKPU (PKPU) di Komisi II DPR, Dewan akhirnya menyetujui penambahan anggaran tersebut. Arief mengatakan, KPU provinsi juga diberi anggaran pengawasan ini karena menjadi bagian yang ikut bertanggung jawab terhadap suksesnya pilkada. Provinsi yang menyelenggarakan pilkada serentak pada gelombang I tahun 2015 ini sebanyak sembilan daerah.
Adapun provinsi lainnya akan menggelar pilkada pada gelombang II tahun 2017 dan gelombang III tahun 2018. Mengenai perkembangan pencairan anggaran untuk KPU di daerah, terdapat 14 kabupaten/ kota yang masih dalam tahap proses. Daerah ini tersebar di sembilan provinsi. Kepastian pencairan anggaran akan diperoleh paling lambat pekan ini.
Setelah seluruh daerah mendapatkan kepastian pencairan anggaran, kata Arief, terjadi perubahan jumlah dana pilkada dari yang sebelumnya diajukan sebesar Rp7 triliun. ”Kemungkinan di bawah angka itu karena tidak semua usulan KPU disepakati dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) dengan pemda,” ujarnya.
Catatan KPU, total anggaran pilkada yang sudah dicairkan hingga saat ini mencapai Rp5,67 triliun. Jumlah ini masih bisa berubah karena pencairan dana pilkada di beberapa daerah ada yang dilakukan secara bertahap. ”Yang pasti total yang disetujui di bawah Rp7 triliun,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memaklumi pengajuan tambahan anggaran oleh KPU tersebut karena lembaga memang ini tidak bisa membebankan kebutuhannya ke APBD. ”Karena nomenklaturnya berbeda. Pilkada biayanya bersumber dari APBD sementara kebutuhan KPU sumberdananya adalah APBN,” ucapnya.
Titi menilai jumlah Rp50 miliar itu masih cukup relevan mengingat jumlah peserta pilkada yang harus diawasi dan disupervisi cukup besar. Meski demikian dia tidak sepakat apabila KPU dengan anggaran yang ada kemudian mendatangi seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan alasan supervisi dan pengawasan.
Menurutnya, dengan adanya perpanjangan tangan KPU di daerah maka cukup jajaran di bawahnya yakni KPU provinsi yang menjalankannya. ”KPU bisa memilih daerahdaerah prioritas pengawasan, misalnya berdasarkan titik rawan penyelenggaraan. Jangan karena dalih pengawasan dan supervisi akhirnya KPU pusat lebih banyak roadshow dan menghabiskan waktu di daerah,” katanya.
Dian ramdhani
Anggaran ini khusus dialokasikan untuk KPU pusat dan beberapa KPU provinsi yang di daerahnya terdapat kabupaten/ kota yang menggelar pilkada. Anggaran untuk KPU pusat ini tidak termasuk Rp6,7 triliun yang dibebankan kepada APBD pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota yang menyelenggarakan pilkada. Anggaran ini sedang menunggu pencairan dari Kementerian Keuangan.
Komisioner KPU Arief Budiman mengatakan, berdasarkan undang-undang KPU merupakan penanggung jawab akhir pilkada sehingga pengawasan sangat penting dilakukan. ”KPU berdasarkan undang-undang memang diminta untuk ikut mengawasi, juga diminta melakukan supervisi,” ujarnya di Jakarta kemarin. Menurut Arief pengajuan penambahan anggaran ini telah disampaikan ke DPR saat pembahasan UU Nomor 8/ 2015 tentang Pilkada.
Saat berlangsung pembahasandrafperaturanKPU (PKPU) di Komisi II DPR, Dewan akhirnya menyetujui penambahan anggaran tersebut. Arief mengatakan, KPU provinsi juga diberi anggaran pengawasan ini karena menjadi bagian yang ikut bertanggung jawab terhadap suksesnya pilkada. Provinsi yang menyelenggarakan pilkada serentak pada gelombang I tahun 2015 ini sebanyak sembilan daerah.
Adapun provinsi lainnya akan menggelar pilkada pada gelombang II tahun 2017 dan gelombang III tahun 2018. Mengenai perkembangan pencairan anggaran untuk KPU di daerah, terdapat 14 kabupaten/ kota yang masih dalam tahap proses. Daerah ini tersebar di sembilan provinsi. Kepastian pencairan anggaran akan diperoleh paling lambat pekan ini.
Setelah seluruh daerah mendapatkan kepastian pencairan anggaran, kata Arief, terjadi perubahan jumlah dana pilkada dari yang sebelumnya diajukan sebesar Rp7 triliun. ”Kemungkinan di bawah angka itu karena tidak semua usulan KPU disepakati dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) dengan pemda,” ujarnya.
Catatan KPU, total anggaran pilkada yang sudah dicairkan hingga saat ini mencapai Rp5,67 triliun. Jumlah ini masih bisa berubah karena pencairan dana pilkada di beberapa daerah ada yang dilakukan secara bertahap. ”Yang pasti total yang disetujui di bawah Rp7 triliun,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini memaklumi pengajuan tambahan anggaran oleh KPU tersebut karena lembaga memang ini tidak bisa membebankan kebutuhannya ke APBD. ”Karena nomenklaturnya berbeda. Pilkada biayanya bersumber dari APBD sementara kebutuhan KPU sumberdananya adalah APBN,” ucapnya.
Titi menilai jumlah Rp50 miliar itu masih cukup relevan mengingat jumlah peserta pilkada yang harus diawasi dan disupervisi cukup besar. Meski demikian dia tidak sepakat apabila KPU dengan anggaran yang ada kemudian mendatangi seluruh daerah yang menyelenggarakan pilkada dengan alasan supervisi dan pengawasan.
Menurutnya, dengan adanya perpanjangan tangan KPU di daerah maka cukup jajaran di bawahnya yakni KPU provinsi yang menjalankannya. ”KPU bisa memilih daerahdaerah prioritas pengawasan, misalnya berdasarkan titik rawan penyelenggaraan. Jangan karena dalih pengawasan dan supervisi akhirnya KPU pusat lebih banyak roadshow dan menghabiskan waktu di daerah,” katanya.
Dian ramdhani
(bbg)