Perlu Persiapan Matang Sebelum Merger
A
A
A
Sebagian kalangan menanggapi positif rencana pemerintah melakukan penggabungan atau merger bank BUMN syariah.
Namun, aksi korporasi tersebut perlu persiapan yang matang agar target yang ingin capai bisa terwujud. Pengamat ekonomi syariah Mustafa Edwin Nasution mengatakan, perlu persiapan yang matang untuk melakukan merger antara lain dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan infrastrukturnya. ”Butuh proses learning yang panjang untuk mengambil keputusan merger,” tutur dia.
Menurut dia, meningkatkan market share bank syariah yang kurang dari 5% , tidak bisa dilakukan hanya dengan melakukan merger. Peningkatan pangsa pasar bisa digenjot dengan mendongkrak kualitas bank syariah sejajar dengan bank konvensional. ”Kalau sudah bisa seperti itu, market shareakan meningkat juga,” katanya.
Pengamat syariah dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Edy Suandi Hamid menuturkan, wacana merger bank syariah diperlukan untuk mempercepat perkembangan bank syariah. Penerapan sistem bank syariah di Indonesia sudah ketinggalan dari negara lainnya seperti yang dilakukan Malaysia dan beberapa negara non-Islam. Namun, untuk melakukan merger bank syariah tidaklah mudah.
Menurut Edy, perlu ada persiapan dari sisi SDM, sarana dan prasarana, serta kultur kerja yang harus disamakan. Dengan kondisi ini, masing-masing bank BUMN syariah belum siap melakukan merger. Edy mengungkapkan, belum siapnya bank-bank itu mungkin disebabkan oleh masing-masing bank masih ingin memperbaiki kondisi internal.
”Sehingga persiapannya juga harus matang agar ketika dilakukan merger tidak memunculkan masalah di belakang. Justru dapat menciptakan sinergi yang baik,” kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) itu. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu menambahkan, merger harus bersifat sukarela dan bukan kawin paksa.
Jika ada keterpaksaan, dapat menimbulkan pertentangan di lain waktu. Meski begitu, dia menilai banyak hal positif yang dapat terjadi jika merger bank syariah dilaksanakan. Hal ini tidak hanya memberikan kekuatan yang besar dan kuat, namun juga membantu bank-bank syariah dapat bermain di level lokal hingga global. ”Kelebihan dari merger, mereka dapat mensinergikan kelebihan masingmasing bank. Mereka dapat profesional dan lebih kompetitif,” ungkapnya.
Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo) Riawan Amin menilai, apabila merger tetap dilakukan, tidak dapat dipastikan bank syariah akan terus berkembang. Akses infrastruktur dan permodalan bagi bank syariah bahkan akan menjadi kendala besar.
”Spin off telah mengebiri akses perbankan syariah kepada bank induknya yang mengakibatkan pricing mahal. Dengan ada merger, apakah bank syariah tidak semakin disulitkan?” ucapnya. Dia menambahkan, risiko merger dapat dirasakan pada tiga tahun ke depan. Kondisi kesibukan merger justru dapat memperkecil market share.
Risiko lainnya adalah infrastruktur akan semakin lemah. Bank syariah akan mengembangkan jaringan sendiri dan tidak dapat didukung oleh induknya. ”Namun, apabila bank merger langsung di bawah pemerintah, dia dapat menjadi bank syariah independen dari bank-bank konvensional induknya,” tuturnya.
Selain itu, Riawan mengatakan, jika merger dilakukan, akan membutuhkan leaderbank. Menurutnya, menjadi leader bank harus memiliki minimal tiga syarat. Pertama, sudah membuktikan bisa bersinergi baik dengan bank induknya. Kedua, membuktikan bahwa sustainability yang dimiliki sudah bagus dengan memiliki fokus pada segmen dan strategi jelas.
Ketiga, siapa yang bisa menunjukkan kalau dirinya yang benar-benar menerapkan konsep syariah minimal dalam bentuk produk, proses, dan people-nya. ”Sehingga, tidak ada salah memilih pemimpin yang ditakutkan justru tidak mendukung syariah,” ungkapnya.
Dina angelina
Namun, aksi korporasi tersebut perlu persiapan yang matang agar target yang ingin capai bisa terwujud. Pengamat ekonomi syariah Mustafa Edwin Nasution mengatakan, perlu persiapan yang matang untuk melakukan merger antara lain dari sisi sumber daya manusia (SDM) dan infrastrukturnya. ”Butuh proses learning yang panjang untuk mengambil keputusan merger,” tutur dia.
Menurut dia, meningkatkan market share bank syariah yang kurang dari 5% , tidak bisa dilakukan hanya dengan melakukan merger. Peningkatan pangsa pasar bisa digenjot dengan mendongkrak kualitas bank syariah sejajar dengan bank konvensional. ”Kalau sudah bisa seperti itu, market shareakan meningkat juga,” katanya.
Pengamat syariah dari Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Edy Suandi Hamid menuturkan, wacana merger bank syariah diperlukan untuk mempercepat perkembangan bank syariah. Penerapan sistem bank syariah di Indonesia sudah ketinggalan dari negara lainnya seperti yang dilakukan Malaysia dan beberapa negara non-Islam. Namun, untuk melakukan merger bank syariah tidaklah mudah.
Menurut Edy, perlu ada persiapan dari sisi SDM, sarana dan prasarana, serta kultur kerja yang harus disamakan. Dengan kondisi ini, masing-masing bank BUMN syariah belum siap melakukan merger. Edy mengungkapkan, belum siapnya bank-bank itu mungkin disebabkan oleh masing-masing bank masih ingin memperbaiki kondisi internal.
”Sehingga persiapannya juga harus matang agar ketika dilakukan merger tidak memunculkan masalah di belakang. Justru dapat menciptakan sinergi yang baik,” kata Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) itu. Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) itu menambahkan, merger harus bersifat sukarela dan bukan kawin paksa.
Jika ada keterpaksaan, dapat menimbulkan pertentangan di lain waktu. Meski begitu, dia menilai banyak hal positif yang dapat terjadi jika merger bank syariah dilaksanakan. Hal ini tidak hanya memberikan kekuatan yang besar dan kuat, namun juga membantu bank-bank syariah dapat bermain di level lokal hingga global. ”Kelebihan dari merger, mereka dapat mensinergikan kelebihan masingmasing bank. Mereka dapat profesional dan lebih kompetitif,” ungkapnya.
Ketua Dewan Kehormatan Asosiasi Bank Syariah Seluruh Indonesia (Asbisindo) Riawan Amin menilai, apabila merger tetap dilakukan, tidak dapat dipastikan bank syariah akan terus berkembang. Akses infrastruktur dan permodalan bagi bank syariah bahkan akan menjadi kendala besar.
”Spin off telah mengebiri akses perbankan syariah kepada bank induknya yang mengakibatkan pricing mahal. Dengan ada merger, apakah bank syariah tidak semakin disulitkan?” ucapnya. Dia menambahkan, risiko merger dapat dirasakan pada tiga tahun ke depan. Kondisi kesibukan merger justru dapat memperkecil market share.
Risiko lainnya adalah infrastruktur akan semakin lemah. Bank syariah akan mengembangkan jaringan sendiri dan tidak dapat didukung oleh induknya. ”Namun, apabila bank merger langsung di bawah pemerintah, dia dapat menjadi bank syariah independen dari bank-bank konvensional induknya,” tuturnya.
Selain itu, Riawan mengatakan, jika merger dilakukan, akan membutuhkan leaderbank. Menurutnya, menjadi leader bank harus memiliki minimal tiga syarat. Pertama, sudah membuktikan bisa bersinergi baik dengan bank induknya. Kedua, membuktikan bahwa sustainability yang dimiliki sudah bagus dengan memiliki fokus pada segmen dan strategi jelas.
Ketiga, siapa yang bisa menunjukkan kalau dirinya yang benar-benar menerapkan konsep syariah minimal dalam bentuk produk, proses, dan people-nya. ”Sehingga, tidak ada salah memilih pemimpin yang ditakutkan justru tidak mendukung syariah,” ungkapnya.
Dina angelina
(ftr)